TRADISI SELAMATAN KEHAMILAN 4 BULAN DAN 7 BULAN - JIHAD ILMIAH
Headlines News :
Home » » TRADISI SELAMATAN KEHAMILAN 4 BULAN DAN 7 BULAN

TRADISI SELAMATAN KEHAMILAN 4 BULAN DAN 7 BULAN

Written By Guruku Kyai Bukan Mbah Google on Senin, 20 Maret 2017 | 01.11



Sudah menjadi hal yang lumrah, bila kehadiran buah hati adalah sesuatu yang sangat diharapkan oleh pasangan suami istri, sehingga ketika sang istri tercinta hamil mereka mengadakan acara-acara tertentu demi kebaikan sang buah hati. Acara tersebut sering disebut "ngapati" atau "mitoni".

Ngapati atau Ngupati adalah upacara selamatan ketika kehamilan menginjak pada usia 4 bulan. Sedangkan mitoni atau tingkepan adalah upacara selamatan ketika kandungan berusia 7 bulan. Upacara selamatan tersebut dilakukan dengan tujuan agar janin yang ada dalam kandungan nantinya lahir dalam keadaan sehat, wal afiyat serta menjadi anak yang saleh.

Penentuan bulan ke 4 tersebut adalah berdasarkan hadis Rasulullah saw, mengingat pada saat itu merupakan waktu ditiupnya ruh oleh Malaikat kepada si janin di dalam kandungan. Rasulullah SAW bersabda :

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُوْنُ فِى ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحُ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ

“Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara kalian dihimpun di dalam perut ibunya selama 40 hari berupa air mani (sperma), lalu 40 hari kemudian berwujud menjadi segumpal darah, kemudian menjadi segumpal daging selama 40 hari. Setelah itu, malaikat diutus untuk meniupkan ruh ke dalamnya (setelah usia kandungan 120 hari), dan diperintahkan untuk mencatat empat perkara: mencatat rezekinya, ajalnya, perbuatannya, dan celaka ataukah bahagianya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Proses di atas apabila dihitung berdasarkan bulan (30 hari) sama dengan 4 bulan atau 120 hari. Dan pada bulan ke-4 seperti itu Allah swt mengutus malaikat guna meniupkan ruh ke dalam janin yang terdapat di dalam perut ibunya. Dan momen ini seringkali diperingati oleh masyarakat Islam dengan sebutan 4 bulanan.

Sedangkan penetapan bulan ke 7 sebagai selamatan kedua, adalah berdasarkan pernyataan ulama Madzhab Syafi'i,

أقل الحمل ستة أشهر وأكثره أربع سنين وغالبه تسعة أشهر

"Masa minimal kehamilan adalah 6 bulan dan masa maksimal kehamilan yaitu 4 tahun, sedangkan umumnya masa kehamilan itu adalah 9 bulan."

Oleh karena itu, pada masa 6 bulan itulah si janin telah memasuki masa-masa siap untuk dilahirkan. Di sinilah pentingnya kita berdoa ketika janin telah memasuki masa-masa memberatkan kepada seorang ibu. Dalam al-Qur’an Allah swt berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

"Dialah Yang menciptakan kalian dari seorang (Adam), dan dari padanya Dia menciptakan istrinya (Hawa), agar dia merasa senang bersamanya. Maka setelah disetubuhi, maka sang istri mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasakan kandungannya mulai berat, keduanya (Adam dan Hawa) memohon kepada Allah, Tuhan mereka, seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur". (QS al-A’raf : 189).

Selain itu, Al-Qur’an juga menganjurkan kita agar selalu mendoakan anak cucu kita, kendatipun mereka belum lahir. Dalam al-Qur’an dikisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang mendoakan anak cucunya yang masih belum lahir:

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ. (البقرة: ١٢٨

“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.” (QS. al-Baqarah : 128).

Al-Qur’an juga menganjurkan kita agar selalu berdoa:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا. (الفرقان: ٧٤

“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Furqan : 74).

Di sisi lain, Rasulullah saw juga mendoakan janin sebagian sahabat beliau. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih berikut ini:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ ابْنٌ  لِأَبِي طَلْحَةَ يَشْتَكِي فَخَرَجَ أَبُو طَلْحَةَ فَقُبِضَ الصَّبِيُّ فَلَمَّا رَجَعَ أَبُو طَلْحَةَ قَالَ مَا فَعَلَ ابْنِي قَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ هُوَ أَسْكَنُ مَا كَانَ فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ الْعَشَاءَ فَتَعَشَّى ثُمَّ أَصَابَ مِنْهَا فَلَمَّا فَرَغَ قَالَتْ وَارُوا الصَّبِيَّ فَلَمَّا أَصْبَحَ أَبُو طَلْحَةَ أَتَى رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ أَعْرَسْتُمْ اللَّيْلَةَ قَالَ نَعَمْ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا فَوَلَدَتْ غُلَامًا. (رواه البخاري ومسلم

“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Abu Tholhah memiliki seorang anak laki-laki yang sedang sakit. Kemudian ia pergi meninggalkan keluarganya. Kemudian anak kecil itu meninggal dunia. Setelah Abu Tholhah pulang, beliau bertanya kepada isterinya, Ummu Sulaim, “Bagaimana keadaan anak kita?” Ummu Sulaim menjawab, “Dia sekarang dalam kondisi tenang sekali.” Kemudian Ummu Sulaim menyiapkan makanan malam, sehingga Abu Tholhah pun makan malam. Selesai makan malam, keduanya melakukan hubungan layaknya suami isteri. Setelah selesai, Ummu Sulaim menyuruh orang-orang agar mengubur anak laki-lakinya itu. Pagi harinya, Abu Tholhah mendatangi Rasulullah saw dan menceritakan kejadian malam harinya. Nabi saw bertanya, “Tadi malam kalian tidur bersama?” Abu Tholhah menjawab, “Ya.” Lalu Nabi saw berdoa, “Ya Allah, berkahilah keduanya.” Lalu Ummu Sulaim melahirkan anak laki-laki.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Di sisi lain, ketika seseorang di antara kita memiliki bayi dalam kandungan, tentu kita mendambakan agar buah hati kita lahir ke dunia dalam keadaan sempurna, selamat, sehat wal afiyat dan menjadi anak yang saleh sesuai dengan harapan keluarga dan agama. Para ulama menganjurkan agar kita selalu bersedekah ketika mempunyai hajat yang kita inginkan tercapai. Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi –seorang ulama ahli hadits dan fiqih madzhab al-Syafi’i-, berkata:

يُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِشَيْءٍ أَمَامَ الْحَاجَاتِ مُطْلَقًا. (المجموع شرح المهذب ٤/٢٦٩). وَقَالَ أَصْحَابُنَا: يُسْتَحَبُّ اْلإِكْثَارُ مِنَ الصَّدَقَةِ عِنْدَ اْلأُمُوْرِ الْمُهِمَّةِ. (المجموع شرح المهذب ٦/٢٣٣

“Disunnahkan bersedekah sekedarnya ketika mempunyai hajat apapun. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 4, hal. 269). Para ulama kami berkata, “Disunnahkan memperbanyak sedekah ketika menghadapi urusan-urusan yang penting.” (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 6, hal. 233).

Bersedekah pada masa-masa kehamilan, juga dilakukan oleh keluarga al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab al-Hanbali, yang diikuti oleh Syaikh Ibn Taimiyah dan menjadi madzhab resmi kaum Wahhabi di Saudi Arabia. Al-Imam al-Hafizh Ibn al-Jauzi al-Hanbali menyampaikan dalam kitabnya, Manaqib al-Imam Ahmad bin Hanbal, riwayat berikut ini:

“Imam al-Khallal berkata, “Kami menerima kabar dari Muhammad bin Ali bin Bahar, berkata, “Aku mendengar Husnu, Ibu yang melahirkan anak-anak al-Imam Ahmad bin Hanbal, berkata, “Aku berkata kepada tuanku (Ahmad bin Hanbal), “Tuanku, bagaimana kalau gelang kaki satu-satunya milikku ini aku sedekahkan?” Ahmad menjawab, “Kamu rela melepasnya?” Aku menjawab, “Ya.” Ahmad berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberimu pertolongan untuk melakukannya.” Husnu berkata, “Lalu gelang kaki itu aku serahkan kepada Abu al-Hasan bin Shalih dan dijualnya seharga 8 dinar setengah. Lalu uang itu ia bagi-bagikan kepada orang-orang pada saat kehamilanku. Setelah aku melahirkan Hasan, tuanku memberi hadiah uang 1 Dirham kepada Karramah, wanita tua yang menjadi pelayan kami.” (al-Imam Ibn al-Jauzi, Manaqib al-Imam Ahmad bin Hanbal, hal. 406-407).

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa secara khusus memang tidak ditemukan dasar secara langsung dalam syariat yang berkaitan dengan acara ngapati maupun mitoni. Hanya saja, dalam fikih disampaikan bahwa apabila dalam kegiatan tersebut tidak terdapat hal-hal yang dilarang agama bahkan merupakan kebajikan seperti sodaqoh, qiro'atul Qur'an dan sholawat kepada Nabi serta tidak meyakini bahwa penentuan waktu itu adalah sunnah, maka hukumnya diperbolehkan.

Dinukil dari berbagai sumber dan disimpulkan oleh Abdul Aziz Musaehi Ridwan.
Share this article :

2 komentar:

  1. Maaf gan tolong dong harokatnya di perjelas. Kalo gak dikasih latin indonesianya.. biar mudah di pelajari

    BalasHapus
  2. Maaf gan tolong dong harokatnya di perjelas. Kalo gak dikasih latin indonesianya.. biar mudah di pelajari

    BalasHapus

Kenalin Saya

Foto saya
GURUKU KYAI BUKAN MBAH GOOGLE Belajarlah agama kepada guru yang sanad keilmuannya sampai kepada Rasulullah. Belajar langsung dengan bertatap muka kepada guru fadhilahnya sangat agung. Dikatakan bahwa duduk di majelis ilmu sesaat lebih utama daripada shalat 1000 rakaat. Namun jika hal itu tidak memungkinkan karena kesibukan yang lain, maka jangan pernah biarkan waktu luang tanpa belajar agama, untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun tetap harus di bawah pantauan atau bimbingan orang yang ahli. HATI-HATI DENGAN GOOGLE Jika anda suka bertanya hukum kepada mbah google, pesan kami, hati-hati karena sudah banyak orang yang tersesat akibat tidak bisa membedakan antara yang salaf dengan yang salafi. Oleh karena itu untuk membantu mereka kaum awam, kami meluncurkan situs www.islamuna.info sebagai pengganti dari google dalam mencari informasi Islam. Mulai sekarang jika akan bertanya hukum atau info keislamna, tinggalkan google, beralihlah kepada Islamuna.info Googlenya Aswaja.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. JIHAD ILMIAH - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template