Oleh: Abdul Aziz Musaehi Maulana Maki*
Salah satu isu penting dalam spektrum nasional serta melibatkan politisi dari berbagai tingkatan, baik dalam lingkup kabupaten atau kota maupun provinsi adalah pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung. Berbagai ulasan banyak mengedepankan keterlibatan bakal calon, mekanisme, dan biaya yang menggunung.
Tetapi bagaimana peran pemilih dalam suatu proses pendidikan politik pada peristiwa penting ini, tidak banyak disinggung. Seolah-olah pemilih hanya menerima proses sebagaimana adanya dalam posisi sebagai objek. Pemilih hanya menerima nasib dimobilisasi oleh tim kampanye para calon, diajak ke sana-kemari dan dicukupi kebutuhannya sesaat selama proses pilkada berlangsung.
Padahal sebenarnya ada substansi cukup mendasar, yaitu bagaimana masyarakat pemilih mampu meningkatkan peran serta menjatuhkan pilihannya sendiri kepada calon yang dinilai tepat tanpa ada tekanan seperti mobilisasi partai politik ataupun tim sukses masingmasing calon. Kondisi yang demikian ini cukup ideal dan diyakini dapat memperkuat keberanian pemilih, bahkan mencerdaskan bangsa.
Proses ini menempatkan pilkada tidak hanya untuk mencapai tujuan pokok, tetapi bagaimana mencapai tujuan tersebut melalui proses pendidikan politik yang mendasar. Yaitu mendidik para pemilih untuk mampu menentukan pilihannya sesuai dengan keinginan yang mempertimbangkan rasionalitas, tanpa intervensi siapa pun dan dalam bentuk apa pun.
Berpikir Tradisional
Esensi demokrasi adalah keberadaan individu yang mampu memerankan dirinya dengan kemampuan menentukan pilihan secara rasional. Kondisi ini diawali dengan proses rumit pada diri pemilih. Sebelum menentukan pilihannya dia berpikir, sehingga timbul kecerdasan untuk menentukan pilihan yang tepat. Semua didasarkan pada rasionalitas, menyangkut program yang ditawarkan, kapabilitas calon serta parameter lainnya. Sikap seperti inilah yang dibutuhkan untuk menumbuhkan bangunan demokrasi yang baik dan sehat, sehingga mendapatkan calon yang benar-benar berkualitas.
Sementara ini, sebagian besar pemilih dalam menentukan pilihannya masih melihat siapa yang mengajak, siapa yang memobilisasi, dan siapa yang pernah berjasa kepada pemilih. Di samping itu juga pertimbangan siapa yang dikenal pemilih, bahkan siapa yang bisa memberi sesuatu lebih besar.
Rasionalitas dengan proses berpikir sehingga menjadi keputusan politik untuk memilih calon tertentu belum bisa berlaku pada pemilih pada level akar rumput (grass roots). Masih banyak yang mengedepankan emosi dalam menentukan pilihan. Penulis berkeyakinan, pola pikir dan sikap seperti inilah yang kebanyakan masih akan menuansai pelaksanaan pilkada, seperti yang akan berlangsung pada pilkada mendatang di tiga kabupaten DIY.
Pertanyaannya, salahkah apabila seorang calon memobilisasi, menggunakan tokoh panutan, menggunakan simbol-simbol penarik emosi massa pemilih, sebagai bagian dari strategi untuk memenangkan calon atau dirinya? Memang tidak salah apabila itu dilihat dari sisi tujuan, bahkan tujuan dari masing-masing kandidat. Di sini elite memanfaatkan peluang, yakni proses berpikir tradisional dengan menggugah kaitan emosionalnya.
Tetapi bagaimana menjawab pertanyaan mendasar bahwa demokrasi merupakan sarana untuk pendidikan politik guna mencerdaskan bangsa dan meningkatkan daya saing? Bukankah esensi demokrasi itu tidak hanya dilihat dari hasilnya, tetapi lebih penting dari itu adalah proses yang berkaitan dengan pendidikan politik? Yang terjadi selama ini masih cenderung mengedepankan emosi, sehingga belum menjadi budaya politik yang cerdas dengan pilihan rasional dan mandiri.
Perlu Perubahan Paradigma
Menjadikan pemilih mampu menentukan pilihan, dengan menggunakan kesempatan dan kelemahan budaya pemilih yang paternalistik dan emosional untuk kemenangan calon kepala daerah, memang merupakan langkah cerdas dari sisi elite politik, tetapi langkah mundur dari sisi pemilih. Alasan bahwa pemilih sebagian besar masih berpikiran sederhana, dengan tingkat pendidikan rata-rata yang masih rendah, dengan ekonomi di bawah standar, bukanlah langkah yang baik untuk kepentingan jangka panjang. Meskipun diakui pemilihan langsung kepala daerah merupakan loncatan demokrasi yang besar, tetapi mengapa sekaligus tidak kita sempurnakan menjadi lebih baik lagi?
Perubahan pemikiran harus dimulai, dari paradigma memanfaatkan sisi tertentu dari pemilih. Misalnya budaya paternalistik menjadi budaya pemberdayaan, yang pada gilirannya mencerdaskan pemilih, sehingga mampu menentukan pilihannya dengan baik. Sikap rasional ini diharapkan bisa menghindari konflik dan perpecahan, atau yang lebih fatal lagi benturan fisik perseorangan atau massa karena pilihannya dituntun oleh elite politik.
Dalam esensi demokrasi, rakyat atau pemilih menentukan pilihannya untuk memberikan mandat kepada kepala daerah untuk memimpin rakyat (pemilih) itu sendiri. Dengan demikian, dukungan atau pilihan terjadi dengan sadar dan rasional, sehingga terpilih yang terbaik dari para calon.
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pilkada mestinya tidak hanya terfokus pada sebagian proses pencalonan dan pemilihannya saja. Tetapi idealnya ada beberapa aspek yang dicermati, yaitu pertama, KPUD dengan gencar dan sistematis menyelenggarakan kampanye tentang para calon. Kedua, para calon diberi kesempatan kampanye program, dengan penyelenggara KPUD beserta perangkatnya dibantu lembaga independen dan diawasi oleh Panwas. Ketiga, semua alat atau sarana peraga disediakan oleh KPUD dan digunakan dalam bentuk bersama-sama dalam jumlah yang memadai. Keempat, mengedepankan bentuk kampanye cerdas seperti dialog, diskusi, atau debat antar kandidat.
Perubahan paradigma itulah yang diharapkan, sehingga pilkada sekaligus merupakan ajang pendidikan politik riil. Pemilih harus didorong seoptimal mungkin untuk lebih mandiri, mampu menentukan pilihannya dengan cerdas.
*) Sekjen Renaisant Institute Yogyakarta
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !