Selepas kekuasaan Tarumanegara, wilayah kekuasaan terpecah menjadi dua:
Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Sungai Citarum menjadi pembatas dua kerajaan
yang sesungguhnya masih bersaudara itu. Berdasarkan peninggalan sejarah
(prasasti dan naskah kuno), ibu kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang
sekarang menjadi kota Bogor, sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah yang sekarang
menjadi kota Ciamis, tepatnya di kota Kawali, Jawa Barat.
Seperti sudah diulas, Kerajaan Tarumanegara
terdiri dari beberapa kerajaan daerah. Jumlahnya lebih dari 48. Penerus
terakhir Kerajaan Tarumanegara bernama RajaTarusbawa berasal dari Kerajaan
Sunda Sambawa. Pada
tahun 669 ia menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Pada tahun 670
ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Di sisi lain, ada juga Kerajaan Galuh. Raja Wretikandayun (masih
kerabat dari keluarga Kerajaan Tarumanagara) melihat hal itu sebagai kesempatan
untuk memisahkan diri. Ia tidak ingin Kerajaan Galuh tunduk dalam kekuasaan
Kerajaan Sunda di bawah pimpinan Raja Tarusbawa. Raja Wretikandayun menuntut kepada
Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Permintaan itu cukup keras,
karena di belakang kekuatan Kerajaan Galuh, ada kekuatan dari Kerajaan Kalingga di Jawa
Tengah.
Hubungan antara Galuh dan Kalingga sangat erat.
Karena putra bungsu Wretikandayun bernama Pangeran Mandiminyak menikah dengan
puteri dari Maharani Kerajaan Kalingga, Ratu Shima. Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota
kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan. Ia memerintah hingga
tahun 723. Sebelum wafat, karena putera penerus tahtanya meninggal, ia
mengangkat suami dari cucunya.
Sanjaya dan Dua Kerajaa
Putri Tejakancana – nama sang cucu – bersuamikan
Rakeyan Jamri. Rakeyan Jamri pun meneruskan tahta. Sebagai raja ia dikenal
sebagai Prabu Sanjaya Harisdarma. Di kemudian hari, raja yang juga keturunan
dari Raja Galuh Wretikandayun itu terkenal karena mendirikan Dinasti Sanjaya dan pendiri Kerajaan Mataram kuno. Selain menjadi raja di Kerajaan Sunda, Sanjaya
juga harus meneruskan tahta di Kalingga Utara (Bhumi Mataram) mengingat ia berada dalam garis keturunan
ratu Kalingga. Itu sebabnya, Sanjaya kemudian menyerahkan Kerajaan Sunda di
bawah kekuasaan anaknya Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban.
Selain menikah dengan Tejakancana, Sanjaya
dikabarkan memiliki istri lain. Ia menikah dengan Putri Sudiwara, anak dari
Dewasinga, Raja Kalingga Selatan (Bhumi Sambara). Dari Sudiwara ini ia
memperoleh putra bernama Rakai Panangkaran. Riwayat Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
kemudian dipenuhi dengan perang saudara. Saling serang karena perebutan kekuasaan beberapa
kali terjadi. Dua kerajaan itu sempat disatukan pada tahun 723 – 739 di bawah
kekuasaan Tamperan Barmawijaya, tetapi pecah kembali.
Perang besar keturunan Raja Wretikandayun itu
akhirnya diselesaikan oleh Raja Resi Demunawan yang berkuasa atas Kerajaan
Galunggung dan Kuningan. Dalam perundingan di Kraton Galuh dicapai kesepakatan:
Kerajaan Galuh diserahkan kepada Manarah dan Kerajaan Sunda kepada Rakeyan
Banga.
Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Kerajaan Galuh dalam Sejarah
Kerajaan Galuh pertama kali didirikan oleh
Wrettikandayun pada abad ke-6 Masehi, Pada masa Wrettikandayun, Kerajaan Galuh
berbatasan dengan Kerajaan Sunda di Citarum. Setelah 90 tahun memerintah,
Wrettikandayun mengundurkan diri dari jabatannya kemudian ia menjadi Raja Resi
di Mendala Menir, oleh sebab itu ia mendapat julukan Rahiangtarimenir.
Setelah Wrettikandayun wafat, tahta kerajaan tidak diteruskan oleh putra
sulungnya karena putra sulung tersebut memiliki cacat tubuh yaitu giginya
tanggal, oleh karena itu maka dinamai Sempak Waja. Disamping memiliki cacat tubuh,
Sempakjaya memiliki wajah yang kurang bagus, kemudian ia di jodohkan dengan
Pwah Rababu yang berasal dari daerah Kendan. Dalam perkawinannya pun Sempak
Waja memiliki cacat, atau tidak memiliki jalan mulus, sebab terjadi peristiwa
yang memalukan yakni, adanya hubungan gelap antara istrinya dengan adiknya
sendiri yang bernama Mandiminyak. Hubungan gelap itu bermula dari adanya acara
perjamuan makan di Galuh yang di sebut utsawakarma.
Putra kedua Wrettikandayun yang
bernama Jantaka, juga tidak memenuhi syarat untuk menjadi raja, sebab ia pun
memiliki cacat tubuh yaitu kemir. Tidak diperoleh keterangan dengan siapa
Jantaka menikah, tetapi ia mempunyai keturunan bernama Bimaraksa atau terkenal
dengan sebutan Balangantrang. Putra ketiga dari Wrettikandayun merupakan orang
yang dianggap memenuhi syarat untuk dijadikan raja, sebab tidak memiliki cacat
tubuh. Ia adalah Mandiminyak.
Kerajaan Galuh Pada Masa
Mandiminyak
Mandiminyak atau disebut juga Amara, memerintah di Galuh
dari tahun 702 – 709 masehi. Ia memerintah dalam usia 78 tahun. Mandiminyak
dijodohkan dengan putri Maharani Sima seorang penguasa dari Kalingga. Dari
perkawinannya dengan Dewi Parwati, Mandiminyak dikaruniai seorang anak
perempuan yang diberi nama putri Sannaha.
Dengan demikian Mandiminyak telah
mempunyai dua orang anak. Anak pertama bernama Bratsenawa sebagai hasil
hubungan gelap dengan Pwah Rababu yang telah diperistri oleh kakaknya yaitu
Sempakjaya. Kedua kakak beradik yang berbeda ibu tersebut, kemudian dijodohkan
karena pada waktu itu adat
mereka membolehkannya. Perkawinan itu terkenal dengan sebutanPerkawinan Manu,
yaitu menikah dengan saudara sendiri. Mandiminyak bersama istrinya menjadi
penguasa Kalingga Utara sejak tahun 674-702 Masehi.
Kerajaan Galuh Pada Masa
Bratasenawa
Ranghiangtang Bratasenawa atau
Sang Sena memerintah di Kerajaan Galuh dari tahun 709-716 Masehi. Dari
perkawinannya dengan Dewi Sannaha ia dikaruniai seorang anak yang diberi nama
Sanjaya. Sang Sena terlahir dari hubungan terlarang antara Mandiminyak dan Pwah
Rababu, oleh sebab itui kedudukannya di Galuh kurang disukai oleh kalangan
pembesar Galuh. Sang Sena pun menyadari kalau kedudukannya kurang disukai
karena latar belakang dirinya dari keadaan yang hitam, tetapi ia tetap duduk
dalam kekuasaannya.
Pada tahun 716 Masehi terjadilah
perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Purbasora. Dalam perebutan kekuasaan
itu, Purbasora dibantu oleh kerajaan-kerajaan yang berpihak kepadanya seperti
kerajaan Indraprahasta yang dipimpin oleh Wirata. Dalam perebutan kekuasaan itu
pasukan Galuh terpecah menjadi dua bagian, pertama sebagai pendukung Bratasena
dan kedua sebagai pendukung Purbasora. Akan tetapi pasukan yang memihak kepada
Bratasena atau Sang Sena tidaklah sekuat pasukan yang memihak kepada Purbasora
sehingga pasukan Sang Sena dapat segera dikalahkan.
Kerajaan Galuh Pada Masa
Purbasora
Rahyang Purbasora menjadi penguasa di Galuh dari tahun 716-723 Masehi, ia naik tahta dalam usia 74 tahun. Dari perkawinannnya dengan Citra Kirana Putri Padma Hadiwangsa Raja Indraprahasta ke-13, ia dikaruniai anak bernama Wijaya Kusuma yang menjadi Patih di Saung Galah.
Rahiang tidak lama memerintah di Galuh, setelah 7 tahun memegang pemerintahan maka terjadilah perebutan kekuasan, ini dilakukan oleh Sanjaya. Sa njaya adalah anak dari Bratasenawa atau Sang Sena. Penyerbuan dilakukan pada malam hari dengan markasnya di Gunung Sawal. Pada penyerbuan itu ia berhasil membunuh Purbasora serta membunuh seluruh penghuni Keraton Galuh.
Kerajaan Galuh Pada Masa Sanjaya
Sanjaya atau Rakaian Jamri atau
disebut juga Harisdharama Bhimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajisatru
Yudhapurna Jaya anak dari perkawinan antara Bratasenawa dan Dewi Sannaha. Ia
menikah dengan Teja Kancana Hayupurnawangi cucu Prabu Tarusbawa pendiri
Kerajaan sunda. Perkawinan kedua dengan putri sudiwara putra dari Narayana atau
Prabu Iswara penguasa Kalingga Selatan.
Sanjaya berkuasa di Galuh dari
tahun 723-724 Masehi. Setelah merebut Galuh, Sanjaya segera menumpas para
pendukung Purbasora ketika merebut kekuasaan dari tangan ayahnya. Setelah
melakukan penyerbuan ke Indraprahasta kemudian Sanjaya menyerang Kerajaan
Kuningan. Tetapi penyerangan ini mengalami kegagalan sampai akhirnya Sanjaya
kembali ke Galuh bersama pasukannya.
Setelah melakukan penyerbuan itu
Sanjaya menemui Sempak Waja di Galunggung. Sanjaya meminta agar Galuh dipegang
oleh Demunawan adik Purbasora, tetapi Demunawan menolak permintaan itu, hal ini
terjadi mungkin karena Demunawan tidak rela kalau Kerajaan Galuh menjadi
bawahan Kerajaan Sunda. Dalam menanggapi pihak Galunggung, Sanjaya tidak berani
bersikap keras, karena ia telah mendapat tekanan keras dari ayahnya sendiri,
Sang Sena, yang telah berkali-kali mengingatkan agar Sanjaya tetap bersikap
hormat kepada Sempak Waja dan Demunawan.
Ketika Sanjaya telah berhasil
menundukkan raja-raja di pulau Jawa Swarna bumi dan Cina, ia kembali ke Galuh
untuk mengadakan perundingan. Perundingan itu dihadiri oleh Sanjaya, Demunawan,
Sang Iswara dan para pembesar kerajaan serta para pembesar kerajaan serta Duta
Prabu Sena dan para Duta dari Swarna Bumi. Pada saat itu Sempak Waja telah
meninggal dunia.
Kerajaan Galuh Pada Masa
Adimulya Permanadikusuma
Nama Adimulya Permanadikusuma
atau disebut juga Bagawat Sajala-jala atau Ajar sukaresi, telah dikenal cukup
akrab di telinga masyarakat yang ada
di Kabupaten Ciamis terutama yang tinggal di daerah Bojong Galuh Karangkamulyan
sekarang ini, karena tempat ini diduga sebagai bekas peninggalan Kerajaan Galuh
pada masa pemerintahan Adimulya Permanadikusuma. Menurut sejarahnya, Adimulya
Permanadikusumah adalah putra Wijaya Kusuma yang menjadi patih di Saung Galah
(Kuningan), ketika Demunawan memegang pemerintahan.
Ratu Adimulya Permanadilusuma
lahir pada tahun 683 Masehi. Ia seumur dengan Sanjaya putra Bratasena. Sanjaya
mengangkat Adimulya Permanadikusuma menjadi raja di Galuh dengan maksud untuk
menghilangkan ketidaksimpatian para tokoh Galuh terhadap dirinya terutama
keturunan Batara Sempak Waja dan Resi guru Jantaka.
Untuk memperkuat kedudukannya,
Sanjaya membuat suatu strategi dengan cara menjodohkan Adimulya Permanadikusuma
dengan putri Patih Anggada dari Kerajaan Sunda bernama Pangrenyep, masih
saudara sepupu istri Sanjaya. Saat anak pertamanya yang bernama Ciung Wanara
baru berumur lima tahun, ia melakukan tapa, karena merasa bingung dalam
memerintah sebab Kerajaan Galuh harus tunduk kepada Kerajaan Sunda.
Pada waktu Adimulya
Permanadikusuma bertapa, pemerintahan di Galuh sementara dipegang oleh Tamperan
yang jabatannya sebagai patih galuh. Akan tetapi Tamperan berbuat tidak baik,
ia menghianati Prabu Adimulya Permanadikusuma, dengan cara berbuat
skandal/tidak senonoh dengan Pangrenyep, yang menjadi istri kedua Prabu
Adimulya Permanadikusuma. Hubungan Tamperan dan Pangrenyep semakin hari semakin
akrab, sampai akhirnya dari hubungan gelap itulah lahirlah seorang anak
laki-laki yang diberi nama Rahiang Banga atau disebut juga Kamarasa. Tamperan
membuat siasat licik dengan cara menyuruh orang untuk membunuh Prabu Adimulya
Permanadikusumah yang sedang bertapa di Gunung Padang. Maka terbunuhlah Prabu
Adimulya Permanadikusuma oleh orang suruhan Tamperan.
Kerajaan Galuh Pada Masa
Tamperan
Tamperan menikah dengan
Pangrenyep ketika sedang mengandung sembilan bulan. Namun tidak lama kemudian,
ia menikahi Naganingrum yang statusnya sebagai istri kedua.
Sementara itu Ciung Wanara, putra dari Prabu Adimulya Permanadikusuma dan Dewi
Naganingrum setelah ibunya menikah kembali, ia melarikan diri ke Geger Sunten
untuk menemui Balangantrang. Ia menetap di Geger Sunten sampai usianya dewasa.
Ciung Wanara mengetahui rahasia negara, karena diberitahu oleh Balangantrang.
Ia dipersiapkan oleh Balangantrang untuk merebut kembali Kerajaan Galuh yang
menjadi haknya dan menuntut balas pati atas kematian ayahnya.
Ketika Ciung Wanara berusia 22
tahun, tepatnya tahun 739 Masehi, Ciung Wanara bersama pasukannya dari Geger
Sunten, ditambah dengan pasukan yang masih setia kepada Prabu Adimulya
Permanadikusuma, menyerang kerajaan Galuh. Penyerangan itu dilakukan ketika
sedang berlangsung pesta penyabungan ayam. Ketika itu Ciung Wanara ikut serta
menyabungkan ayamnya.
Dalam penyerangan itu Tamperan
dan Pangrenyep berhasil ditangkap, akan tetapi Banga yang pada waktu itu
dibiarkan, berhasil meloloskan kedua orang tuanya sehingga kedua tawanan itu
melarikan diri. Pelarian itu menuju ke arah Barat. Ciung Wanara sangat gusar
ketika mendengar tawanannya melarikan diri. Kemudian ia menyerang Rahyang
Banga, maka terjadilah perkelahian di antara keduanya.
Sementara itu pasukan pengejar
kedua tawanan takut kemalaman , dan takut kehilangan buruannya, kemudian mereka
menghujani hutan dengan Panah. Panah-panah mereka akhirnya menewaskan Tamperan
dan Pangrenyep. Berita binasanya Temperan dan Pangrenyep, akhirnya sampai
kepada Sanjaya, maka sanjaya mambawa pasukan yang sangat besar, akan tetapi hal
ini telah diperhitungkan oleh Balangantrang. Melihat sengitnya pertempuran itu,
akhirnya tokoh tua Demunawan turun tangan dan berhasil melerai pertempuran itu.
Kemudian kedua belah pihak diajaknya berunding. Dari perundingan itu, dicapai
kesepakatan bahwa wilayah bekas Tamperan dibagi menjadi dua yaitu, kerajaan
Sunda di serahkan kepada Rahyang Banga, sedangkan Kerajaan Galuh diserahkan
kepada Ciung Wanara atau Manarah.
Kerajaan Galuh Pada Masa Ciung
Wanara
Sang Manarah yang disebut juga
Ciung Wanara atau Prabu Suratama Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana
memeritah di Galuh dari tahun 739-783 Masehi. Ciung Wanara dijodohkan dengan
cicit Demunawan yang bernama Kancana Wangi. Dari perkawinan ini dikaruniai anak
bernama purbasari yang kelak menikah dengan Sang Manistri atau Lutung Kasarung. Ciung Wanara memerintah selama
kurang lebih 44 tahun, dengan wilayah pemerintahannya antara daerah Banyumas
sampai ke Citarum, setelah cukup lama memerintah, Ciung Wanara mengundurkan
diri dari pemerintahan, pemerintahan selanjutnya diteruskan oleh menantunya
yaitu Sang Manistri atau Lutung Kasarung, suami dari Purbasari.
Pada tahun 783, Manarah melakukan
manurajasuniya yakni mengakhiri hidupnya dengan bertapa. Kisah Prabu Adimulya
dan Ciung Wanara atau Sang Manarah serta tempat yang disebut Bojong Galuh
Karangkamulyan yang sekarang terletak di Kecamatan Cijeungjing, telah menjadi
penuturan yang turun temurun serta tidak asing lagi bagi masyarakat yang berada
di Kabupaten Ciamis yang dulunya bernama Kabupaten Galuh.
669-723 Maharaja Tarusbawa
723-732 Sanjaya Harisdarma
732-739 Tamperan Barmawijaya
739-766 Rakeyan Banga
766-783 Rakeyan Medang Prabu Hulukujang
783-795 Prabu Gilingwesi
795-819 Pucukbumi Darmeswara
819-891 Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus
891-895 Prabu Darmaraksa
895-913 Windusakti Prabu Dewageng
913-916 Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi
916-942 Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa
942-954 Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa
954-964 Limbur Kancana
964-973 Prabu Munding Ganawirya
973-989 Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung
989-1012 Prabu Brajawisesa
1012-1019 Prabu Dewa Sanghyang
1019-1030 Prabu Sanghyang Ageng
1030-1042 Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati
1042-1065 Darmaraja
1065-1155 Langlangbumi
1155-1157 Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur
1157-1175 Darmakusuma
1175-1297 Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu
1297-1303 Ragasuci
1303-1311 Citraganda
1311-1333 Prabu Linggadewata
1333-1340 Prabu Ajiguna Linggawisesa
1340-1350 Prabu Ragamulya Luhurprabawa
1350-1357 Prabu Maharaja Linggabuanawisesa
1357-1371 Prabu Bunisora
1371-1475 Prabu Niskala Wastu Kancana
1475-1482 Prabu Susuktunggal
Sumber:
- Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
- Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta.
- Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
- Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.
- Richadiana Kartakusuma (1991), Anekaragam Bahasa Prasastidi Jawa Barat Pada Abad Ke-5 Masehi sampai Ke-16 Masehi: Suatu Kajian Tentang Munculnya Bahasa Sunda. Tesis (yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Arkeologi). Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !