Sejarah Kerajaan Sunda-Galuh - JIHAD ILMIAH
Headlines News :
Home » » Sejarah Kerajaan Sunda-Galuh

Sejarah Kerajaan Sunda-Galuh

Written By Guruku Kyai Bukan Mbah Google on Sabtu, 04 Januari 2014 | 16.00


Selepas kekuasaan Tarumanegara, wilayah kekuasaan terpecah menjadi dua: Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Sungai Citarum menjadi pembatas dua kerajaan yang sesungguhnya masih bersaudara itu. Berdasarkan peninggalan sejarah (prasasti dan naskah kuno), ibu kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang sekarang menjadi kota Bogor, sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah yang sekarang menjadi kota Ciamis, tepatnya di kota Kawali, Jawa Barat.

Seperti sudah diulas, Kerajaan Tarumanegara terdiri dari beberapa kerajaan daerah. Jumlahnya lebih dari 48. Penerus terakhir Kerajaan Tarumanegara bernama RajaTarusbawa berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa. Pada tahun 669 ia menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Pada tahun 670 ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. 

Di sisi lain, ada juga Kerajaan Galuh. Raja Wretikandayun (masih kerabat dari keluarga Kerajaan Tarumanagara) melihat hal itu sebagai kesempatan untuk memisahkan diri. Ia tidak ingin Kerajaan Galuh tunduk dalam kekuasaan Kerajaan Sunda di bawah pimpinan Raja Tarusbawa. Raja Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Permintaan itu cukup keras, karena di belakang kekuatan Kerajaan Galuh, ada kekuatan dari Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah

Hubungan antara Galuh dan Kalingga sangat erat. Karena putra bungsu Wretikandayun bernama Pangeran Mandiminyak menikah dengan puteri dari Maharani Kerajaan Kalingga, Ratu Shima. Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan. Ia memerintah hingga tahun 723. Sebelum wafat, karena putera penerus tahtanya meninggal, ia mengangkat suami dari cucunya.

Sanjaya dan Dua Kerajaa 

Putri Tejakancana – nama sang cucu – bersuamikan Rakeyan Jamri. Rakeyan Jamri pun meneruskan tahta. Sebagai raja ia dikenal sebagai Prabu Sanjaya Harisdarma. Di kemudian hari, raja yang juga keturunan dari Raja Galuh Wretikandayun itu terkenal karena mendirikan Dinasti Sanjaya dan pendiri Kerajaan Mataram kuno. Selain menjadi raja di Kerajaan Sunda, Sanjaya juga harus meneruskan tahta di Kalingga Utara (Bhumi Mataram) mengingat ia berada dalam garis keturunan ratu Kalingga. Itu sebabnya, Sanjaya kemudian menyerahkan Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan anaknya Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. 

Selain menikah dengan Tejakancana, Sanjaya dikabarkan memiliki istri lain. Ia menikah dengan Putri Sudiwara, anak dari Dewasinga, Raja Kalingga Selatan (Bhumi Sambara). Dari Sudiwara ini ia memperoleh putra bernama Rakai Panangkaran. Riwayat Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh kemudian dipenuhi dengan perang saudara. Saling serang karena perebutan kekuasaan beberapa kali terjadi. Dua kerajaan itu sempat disatukan pada tahun 723 – 739 di bawah kekuasaan Tamperan Barmawijaya, tetapi pecah kembali.
Perang besar keturunan Raja Wretikandayun itu akhirnya diselesaikan oleh Raja Resi Demunawan yang berkuasa atas Kerajaan Galunggung dan Kuningan. Dalam perundingan di Kraton Galuh dicapai kesepakatan: Kerajaan Galuh diserahkan kepada Manarah dan Kerajaan Sunda kepada Rakeyan Banga. 


Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.


Kerajaan Galuh dalam Sejarah

Kerajaan Galuh pertama kali didirikan oleh Wrettikandayun pada abad ke-6 Masehi, Pada masa Wrettikandayun, Kerajaan Galuh berbatasan dengan Kerajaan Sunda di Citarum. Setelah 90 tahun memerintah, Wrettikandayun mengundurkan diri dari jabatannya kemudian ia menjadi Raja Resi di Mendala Menir, oleh sebab itu ia mendapat julukan Rahiangtarimenir. 

Setelah Wrettikandayun wafat, tahta kerajaan tidak diteruskan oleh putra sulungnya karena putra sulung tersebut memiliki cacat tubuh yaitu giginya tanggal, oleh karena itu maka dinamai Sempak Waja. Disamping memiliki cacat tubuh, Sempakjaya memiliki wajah yang kurang bagus, kemudian ia di jodohkan dengan Pwah Rababu yang berasal dari daerah Kendan. Dalam perkawinannya pun Sempak Waja memiliki cacat, atau tidak memiliki jalan mulus, sebab terjadi peristiwa yang memalukan yakni, adanya hubungan gelap antara istrinya dengan adiknya sendiri yang bernama Mandiminyak. Hubungan gelap itu bermula dari adanya acara perjamuan makan di Galuh yang di sebut utsawakarma.

Putra kedua Wrettikandayun yang bernama Jantaka, juga tidak memenuhi syarat untuk menjadi raja, sebab ia pun memiliki cacat tubuh yaitu kemir. Tidak diperoleh keterangan dengan siapa Jantaka menikah, tetapi ia mempunyai keturunan bernama Bimaraksa atau terkenal dengan sebutan Balangantrang. Putra ketiga dari Wrettikandayun merupakan orang yang dianggap memenuhi syarat untuk dijadikan raja, sebab tidak memiliki cacat tubuh. Ia adalah Mandiminyak.

Kerajaan Galuh Pada Masa Mandiminyak

Mandiminyak atau disebut juga Amara, memerintah di Galuh dari tahun 702 – 709 masehi. Ia memerintah dalam usia 78 tahun. Mandiminyak dijodohkan dengan putri Maharani Sima seorang penguasa dari Kalingga. Dari perkawinannya dengan Dewi Parwati, Mandiminyak dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama putri Sannaha. 

Dengan demikian Mandiminyak telah mempunyai dua orang anak. Anak pertama bernama Bratsenawa sebagai hasil hubungan gelap dengan Pwah Rababu yang telah diperistri oleh kakaknya yaitu Sempakjaya. Kedua kakak beradik yang berbeda ibu tersebut, kemudian dijodohkan karena pada waktu itu adat mereka membolehkannya. Perkawinan itu terkenal dengan sebutanPerkawinan Manu, yaitu menikah dengan saudara sendiri. Mandiminyak bersama istrinya menjadi penguasa Kalingga Utara sejak tahun 674-702 Masehi.

Kerajaan Galuh Pada Masa Bratasenawa

Ranghiangtang Bratasenawa atau Sang Sena memerintah di Kerajaan Galuh dari tahun 709-716 Masehi. Dari perkawinannya dengan Dewi Sannaha ia dikaruniai seorang anak yang diberi nama Sanjaya. Sang Sena terlahir dari hubungan terlarang antara Mandiminyak dan Pwah Rababu, oleh sebab itui kedudukannya di Galuh kurang disukai oleh kalangan pembesar Galuh. Sang Sena pun menyadari kalau kedudukannya kurang disukai karena latar belakang dirinya dari keadaan yang hitam, tetapi ia tetap duduk dalam kekuasaannya.

Pada tahun 716 Masehi terjadilah perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Purbasora. Dalam perebutan kekuasaan itu, Purbasora dibantu oleh kerajaan-kerajaan yang berpihak kepadanya seperti kerajaan Indraprahasta yang dipimpin oleh Wirata. Dalam perebutan kekuasaan itu pasukan Galuh terpecah menjadi dua bagian, pertama sebagai pendukung Bratasena dan kedua sebagai pendukung Purbasora. Akan tetapi pasukan yang memihak kepada Bratasena atau Sang Sena tidaklah sekuat pasukan yang memihak kepada Purbasora sehingga pasukan Sang Sena dapat segera dikalahkan.

Kerajaan Galuh Pada Masa Purbasora

Rahyang Purbasora menjadi penguasa di Galuh dari tahun 716-723 Masehi, ia naik tahta dalam usia 74 tahun. Dari perkawinannnya dengan Citra Kirana Putri Padma Hadiwangsa Raja Indraprahasta ke-13, ia dikaruniai anak bernama Wijaya Kusuma yang menjadi Patih di Saung Galah.

Rahiang tidak lama memerintah di Galuh, setelah 7 tahun memegang pemerintahan maka terjadilah perebutan kekuasan, ini dilakukan oleh Sanjaya. Sa njaya adalah anak dari Bratasenawa atau Sang Sena. Penyerbuan dilakukan pada malam hari dengan markasnya di Gunung Sawal. Pada penyerbuan itu ia berhasil membunuh Purbasora serta membunuh seluruh penghuni Keraton Galuh.

Kerajaan Galuh Pada Masa Sanjaya

Sanjaya atau Rakaian Jamri atau disebut juga Harisdharama Bhimaparakrama Prabu Maheswara Sarwajisatru Yudhapurna Jaya anak dari perkawinan antara Bratasenawa dan Dewi Sannaha. Ia menikah dengan Teja Kancana Hayupurnawangi cucu Prabu Tarusbawa pendiri Kerajaan sunda. Perkawinan kedua dengan putri sudiwara putra dari Narayana atau Prabu Iswara penguasa Kalingga Selatan.

Sanjaya berkuasa di Galuh dari tahun 723-724 Masehi. Setelah merebut Galuh, Sanjaya segera menumpas para pendukung Purbasora ketika merebut kekuasaan dari tangan ayahnya. Setelah melakukan penyerbuan ke Indraprahasta kemudian Sanjaya menyerang Kerajaan Kuningan. Tetapi penyerangan ini mengalami kegagalan sampai akhirnya Sanjaya kembali ke Galuh bersama pasukannya.

Setelah melakukan penyerbuan itu Sanjaya menemui Sempak Waja di Galunggung. Sanjaya meminta agar Galuh dipegang oleh Demunawan adik Purbasora, tetapi Demunawan menolak permintaan itu, hal ini terjadi mungkin karena Demunawan tidak rela kalau Kerajaan Galuh menjadi bawahan Kerajaan Sunda. Dalam menanggapi pihak Galunggung, Sanjaya tidak berani bersikap keras, karena ia telah mendapat tekanan keras dari ayahnya sendiri, Sang Sena, yang telah berkali-kali mengingatkan agar Sanjaya tetap bersikap hormat kepada Sempak Waja dan Demunawan.

Ketika Sanjaya telah berhasil menundukkan raja-raja di pulau Jawa Swarna bumi dan Cina, ia kembali ke Galuh untuk mengadakan perundingan. Perundingan itu dihadiri oleh Sanjaya, Demunawan, Sang Iswara dan para pembesar kerajaan serta para pembesar kerajaan serta Duta Prabu Sena dan para Duta dari Swarna Bumi. Pada saat itu Sempak Waja telah meninggal dunia.

Kerajaan Galuh Pada Masa Adimulya Permanadikusuma

Nama Adimulya Permanadikusuma atau disebut juga Bagawat Sajala-jala atau Ajar sukaresi, telah dikenal cukup akrab di telinga masyarakat yang ada di Kabupaten Ciamis terutama yang tinggal di daerah Bojong Galuh Karangkamulyan sekarang ini, karena tempat ini diduga sebagai bekas peninggalan Kerajaan Galuh pada masa pemerintahan Adimulya Permanadikusuma. Menurut sejarahnya, Adimulya Permanadikusumah adalah putra Wijaya Kusuma yang menjadi patih di Saung Galah (Kuningan), ketika Demunawan memegang pemerintahan.

Ratu Adimulya Permanadilusuma lahir pada tahun 683 Masehi. Ia seumur dengan Sanjaya putra Bratasena. Sanjaya mengangkat Adimulya Permanadikusuma menjadi raja di Galuh dengan maksud untuk menghilangkan ketidaksimpatian para tokoh Galuh terhadap dirinya terutama keturunan Batara Sempak Waja dan Resi guru Jantaka.

Untuk memperkuat kedudukannya, Sanjaya membuat suatu strategi dengan cara menjodohkan Adimulya Permanadikusuma dengan putri Patih Anggada dari Kerajaan Sunda bernama Pangrenyep, masih saudara sepupu istri Sanjaya. Saat anak pertamanya yang bernama Ciung Wanara baru berumur lima tahun, ia melakukan tapa, karena merasa bingung dalam memerintah sebab Kerajaan Galuh harus tunduk kepada Kerajaan Sunda.

Pada waktu Adimulya Permanadikusuma bertapa, pemerintahan di Galuh sementara dipegang oleh Tamperan yang jabatannya sebagai patih galuh. Akan tetapi Tamperan berbuat tidak baik, ia menghianati Prabu Adimulya Permanadikusuma, dengan cara berbuat skandal/tidak senonoh dengan Pangrenyep, yang menjadi istri kedua Prabu Adimulya Permanadikusuma. Hubungan Tamperan dan Pangrenyep semakin hari semakin akrab, sampai akhirnya dari hubungan gelap itulah lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Rahiang Banga atau disebut juga Kamarasa. Tamperan membuat siasat licik dengan cara menyuruh orang untuk membunuh Prabu Adimulya Permanadikusumah yang sedang bertapa di Gunung Padang. Maka terbunuhlah Prabu Adimulya Permanadikusuma oleh orang suruhan Tamperan.

Kerajaan Galuh Pada Masa Tamperan

Tamperan menikah dengan Pangrenyep ketika sedang mengandung sembilan bulan. Namun tidak lama kemudian, ia menikahi Naganingrum yang statusnya sebagai istri kedua. Sementara itu Ciung Wanara, putra dari Prabu Adimulya Permanadikusuma dan Dewi Naganingrum setelah ibunya menikah kembali, ia melarikan diri ke Geger Sunten untuk menemui Balangantrang. Ia menetap di Geger Sunten sampai usianya dewasa. Ciung Wanara mengetahui rahasia negara, karena diberitahu oleh Balangantrang. Ia dipersiapkan oleh Balangantrang untuk merebut kembali Kerajaan Galuh yang menjadi haknya dan menuntut balas pati atas kematian ayahnya.

Ketika Ciung Wanara berusia 22 tahun, tepatnya tahun 739 Masehi, Ciung Wanara bersama pasukannya dari Geger Sunten, ditambah dengan pasukan yang masih setia kepada Prabu Adimulya Permanadikusuma, menyerang kerajaan Galuh. Penyerangan itu dilakukan ketika sedang berlangsung pesta penyabungan ayam. Ketika itu Ciung Wanara ikut serta menyabungkan ayamnya.

Dalam penyerangan itu Tamperan dan Pangrenyep berhasil ditangkap, akan tetapi Banga yang pada waktu itu dibiarkan, berhasil meloloskan kedua orang tuanya sehingga kedua tawanan itu melarikan diri. Pelarian itu menuju ke arah Barat. Ciung Wanara sangat gusar ketika mendengar tawanannya melarikan diri. Kemudian ia menyerang Rahyang Banga, maka terjadilah perkelahian di antara keduanya. 

Sementara itu pasukan pengejar kedua tawanan takut kemalaman , dan takut kehilangan buruannya, kemudian mereka menghujani hutan dengan Panah. Panah-panah mereka akhirnya menewaskan Tamperan dan Pangrenyep. Berita binasanya Temperan dan Pangrenyep, akhirnya sampai kepada Sanjaya, maka sanjaya mambawa pasukan yang sangat besar, akan tetapi hal ini telah diperhitungkan oleh Balangantrang. Melihat sengitnya pertempuran itu, akhirnya tokoh tua Demunawan turun tangan dan berhasil melerai pertempuran itu. Kemudian kedua belah pihak diajaknya berunding. Dari perundingan itu, dicapai kesepakatan bahwa wilayah bekas Tamperan dibagi menjadi dua yaitu, kerajaan Sunda di serahkan kepada Rahyang Banga, sedangkan Kerajaan Galuh diserahkan kepada Ciung Wanara atau Manarah.

Kerajaan Galuh Pada Masa Ciung Wanara

Sang Manarah yang disebut juga Ciung Wanara atau Prabu Suratama Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memeritah di Galuh dari tahun 739-783 Masehi. Ciung Wanara dijodohkan dengan cicit Demunawan yang bernama Kancana Wangi. Dari perkawinan ini dikaruniai anak bernama purbasari yang kelak menikah dengan Sang Manistri atau Lutung Kasarung. Ciung Wanara memerintah selama kurang lebih 44 tahun, dengan wilayah pemerintahannya antara daerah Banyumas sampai ke Citarum, setelah cukup lama memerintah, Ciung Wanara mengundurkan diri dari pemerintahan, pemerintahan selanjutnya diteruskan oleh menantunya yaitu Sang Manistri atau Lutung Kasarung, suami dari Purbasari.

Pada tahun 783, Manarah melakukan manurajasuniya yakni mengakhiri hidupnya dengan bertapa. Kisah Prabu Adimulya dan Ciung Wanara atau Sang Manarah serta tempat yang disebut Bojong Galuh Karangkamulyan yang sekarang terletak di Kecamatan Cijeungjing, telah menjadi penuturan yang turun temurun serta tidak asing lagi bagi masyarakat yang berada di Kabupaten Ciamis yang dulunya bernama Kabupaten Galuh.

Raja-raja di Kerajaan Sunda-Galuh
 
669-723 Maharaja Tarusbawa
723-732 Sanjaya Harisdarma
732-739 Tamperan Barmawijaya
739-766 Rakeyan Banga
766-783 Rakeyan Medang Prabu Hulukujang
783-795 Prabu Gilingwesi
795-819 Pucukbumi Darmeswara
819-891 Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus
891-895 Prabu Darmaraksa
895-913 Windusakti Prabu Dewageng
913-916 Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi
916-942 Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa
942-954 Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa
954-964 Limbur Kancana
964-973 Prabu Munding Ganawirya
973-989 Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung
989-1012 Prabu Brajawisesa
1012-1019 Prabu Dewa Sanghyang
1019-1030 Prabu Sanghyang Ageng
1030-1042 Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati
1042-1065 Darmaraja
1065-1155 Langlangbumi
1155-1157 Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur
1157-1175 Darmakusuma
1175-1297 Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu
1297-1303 Ragasuci
1303-1311 Citraganda
1311-1333 Prabu Linggadewata
1333-1340 Prabu Ajiguna Linggawisesa
1340-1350 Prabu Ragamulya Luhurprabawa
1350-1357 Prabu Maharaja Linggabuanawisesa
1357-1371 Prabu Bunisora
1371-1475 Prabu Niskala Wastu Kancana
1475-1482 Prabu Susuktunggal


Sumber:
  • Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
  • Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta.
  • Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
  • Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.
  • Richadiana Kartakusuma (1991), Anekaragam Bahasa Prasastidi Jawa Barat Pada Abad Ke-5 Masehi sampai Ke-16 Masehi: Suatu Kajian Tentang Munculnya Bahasa Sunda. Tesis (yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Arkeologi). Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Kenalin Saya

Foto saya
GURUKU KYAI BUKAN MBAH GOOGLE Belajarlah agama kepada guru yang sanad keilmuannya sampai kepada Rasulullah. Belajar langsung dengan bertatap muka kepada guru fadhilahnya sangat agung. Dikatakan bahwa duduk di majelis ilmu sesaat lebih utama daripada shalat 1000 rakaat. Namun jika hal itu tidak memungkinkan karena kesibukan yang lain, maka jangan pernah biarkan waktu luang tanpa belajar agama, untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun tetap harus di bawah pantauan atau bimbingan orang yang ahli. HATI-HATI DENGAN GOOGLE Jika anda suka bertanya hukum kepada mbah google, pesan kami, hati-hati karena sudah banyak orang yang tersesat akibat tidak bisa membedakan antara yang salaf dengan yang salafi. Oleh karena itu untuk membantu mereka kaum awam, kami meluncurkan situs www.islamuna.info sebagai pengganti dari google dalam mencari informasi Islam. Mulai sekarang jika akan bertanya hukum atau info keislamna, tinggalkan google, beralihlah kepada Islamuna.info Googlenya Aswaja.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. JIHAD ILMIAH - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template