Kerajaan Medang (atau sering juga
disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) adalah nama sebuah
kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah
ke Jawa Timur
pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah
berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah
dan Jawa Timur,
serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha.
Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11.
Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta
dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang
diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan
dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti
Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah Mataram
kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan,
meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana. Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah
mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur
sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan
prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain,
- Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
- Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
- Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
- Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
- Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
- Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
- Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Menurut
perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta
sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu,
Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang
disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang.
Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang
terletak di daerah Madiun
Kerajaan Medang pada Periode Jawa Tengah dan Jawa Timur
.
Awal berdirinya kerajaan
Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung
menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta
rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sanjaya
sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut
dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang
memerintah pulau Jawa
sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna,
negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan
ibunya, yaitu Sannaha, saudara perempuan Sanna.
Sanna,
juga dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa",
merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M).
Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora
(saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan diri ke
Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang
merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara
pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan
Galuh) adalah sahabat baik Sanna. Persahabatan ini pula yang
mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha
saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora.
Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat
Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas
nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan
Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima
mangkat). Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari
orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian
kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh
menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung
diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Kisah
hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang baru ditulis
ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16.
Dinasti yang berkuasa
Pada
umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di
Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa
Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana
pada periode Jawa Timur. Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama
Medang, yaitu Sanjaya.
Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai
Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas
Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.
Mulai
saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa,
bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra.
Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan
berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra.
Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke
Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa
Sanjaya.
Candi
Prambanan dari abad ke-9, terletak di Prambanan,
Yogyakarta,
dibangun antara masa pemerintahan Rakai Pikatan
dan Dyah Balitung dari dinasti sanjaya.
Menurut
teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota
Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet
Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja
yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya. Contoh yang diajukan
Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya.
Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai
Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka).
Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai
Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.
Menurut
teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai
Panangkaran sampai dengan Rakai Garung
adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru
dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung. Istilah Rakai
pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit,
yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan
“Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu
Dyah Pancapana.
Slamet
Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai
Panunggalan sampai Rakai Garung
dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra
ataupun Samaratungga.
yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi
Prasasti Mantyasih. Sementara
itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana
yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok
yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam
prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah
kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.
Daftar raja-raja Medang
Apabila
teori Slamet Muljana benar, maka daftar raja-raja
Medang sejak masih berpusat di Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat
disusun secara lengkap sebagai berikut:
- Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang
- Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Syailendra
- Rakai Panunggalan alias Dharanindra
- Rakai Warak alias Samaragrawira
- Rakai Garung alias Samaratungga
- Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
- Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
- Rakai Watuhumalang
- Rakai Watukura Dyah Balitung
- Mpu Daksa
- Rakai Layang Dyah Tulodong
- Rakai Sumba Dyah Wawa
- Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
- Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
- Makuthawangsawardhana
- Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir
Pada
daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan
raja-raja sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja.
Candi
Borobudurdari abad ke-9,
terletak di Kecamatan Borobudur, sekitar 3 Km dari Kota Mungkid (ibukota Kabupaten Magelang, Jawa Tengah).dibangun ada masa raja samaratungga.
Kerajaan
Medang Periode Jawa Timur
Medang, periode Jawa Timur pada tahun 929-1006
Masehi. Kerajaan ini merupakan kelanjutan Wangsa Sanjaya (Kerajaan Mataram Kuno), yang
memindahkan pusat kerajaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Mpu Sindok adalah
pendiri kerajaan ini, sekaligus pendiri Wangsa Isyana, yang menurunkan
raja-raja Medang. Diduga akibat letusan Gunung Merapi, Raja Mataram Kuno Mpu Sindok
pada tahun 929 memindahkan pusat Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa
Timur. Menurut catatan sejarah, tempat baru tersebut adalah Watugaluh, yang
terletak di tepi Sungai Brantas, sekarang kira-kira adalah wilayah Kabupaten
Jombang (Jawa Timur). Kerajaan baru ini tidak lagi disebut Mataram, namun
Medang, Namun beberapa literatur masih menyebut Mataram.
Ada sumber sejarah lain yang menyebutkan latar
belakang mengapa pusat kerajaan pindah ke timur. Singkatnya, sejak Rakai
Pikatan menyebabkan Balaputeradewa hijrah ke Sriwijaya, terjadi permusuhan yang
mendalam dan berlangsung berabad abad, antara Kerajaan Jawa (Mataram Hindu)
dengan Kerajaan Melayu (Sriwijaya). Raja terakhir Kerajaan Mataram Hindu, Raja WAWA,
memberikan mandat
dan kekuasaan penuh pada menantunya, Mpu Sendok, untuk memimpin Kerajaan
Mataram Hindu dalam keadaan darurat perang untuk melawan Kerajaan Sriwijaya.
Maka di sekitar Tahun 929 M di Desa Candirejo
Kec. Loceret Kab. Nganjuk, Mpu Sendok memimpin perang gerilya dan terjadi
pertempuran hebat antara prajurit Empu Sendok melawan Bala Tentara kerajaan
Melayu (Sriwijaya). Empu Sendok memperoleh kemenangan gilang gemilang. Kemudian
Empu Sendok dinobatkan menjadi raja bergelar SRI MAHARAJA MPU SENDOK SRI ISHANA
WIKRAMA DHARMA TUNGGA DEWA. Untuk menghindari serangan Sriwijaya berikutnya,
Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan lebih ke timur.
Untuk mengenang kemenangan ini ditandai dengan
sebuah tugu bernama JAYA STAMBA dan SEBUAH CANDI atau Jaya Merta. Terhadap
masyarakat desa karena jasa-jasanya dalam membantu pertempuran, oleh Empu
Sendok diberi hadiah sebagai desa perdikan atau desa bebas pajak dengan status
Anjuk Ladang pada tanggal 10 April 937 M. Kerajaan Melayu (Sriwijaya) sejak abad ke 8
selalu berusaha menjadikan kerajaan-kerajaan di pulau jawa sebagai daerah
taklukannya. Usaha tersebut terus berlangsung hingga Raja Medang terakhir,
Dharmawangsa. Aliansi Kerajaan Melayu (Sriwijaya) di pulau jawa pada saat itu
adalah Raja Sri Jayabupati dan Raja Wurawuri.
Raja-raja Medang
Mpu Sindok (929-947)
Sri Isyana Tunggawijaya (947-9xx)
Sri Makutawangsawardhana (9xx-985)
Dharmawangsa Teguh (985-1006)
Raja Makutawangsawardhana dikenal dengan julukan
Matahari Wangsa Isyana. Puterinya, Mahendradatta, menikah dengan Udayana, raja
Kerajaan Bali (Wangsa Warmadewa), yang kemudian memiliki putera bernama
Airlangga. Selama beberapa periode, Bali mendapat pengaruh kuat atas Jawa. Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh
(985-1006).
Dharmawangsa dikenal sebagai patron penerjemahan Kitab Mahabharata
ke dalam Bahasa Jawa Kuno. Pada masa ini pula, Carita Parahyangan ditulis dalam
Bahasa Sunda, yang menceritakan kerajaan Sunda dan Galuh. Dharmawangsa
mengadakan sejumlah penaklukan, termasuk Bali dan mendirikan koloni di Kalimantan Barat. Tahun
990, Dharmawangsa mengadakan serangan ke Sriwijaya dan mencoba merebut
Palembang, namun gagal.
Runtuhnya Medang
Pada tahun 1006, Sriwijaya melakukan pembalasan, yakni menyerang dan
menghancurkan istana Watugaluh. Dharmawangsa terbunuh, dan beberapa
pemberontakan mengikutinya dalam beberapa tahun ke depan. Airlangga, putera
Mahendradatta yang masih berusia 16 tahun, berhasil melarikan diri dan kelak
akan menjadi raja pertama Kerajaan Kahuripan, suksesor Mataram Kuno dan Medang.
- Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
- Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
- Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
- Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
- Soedjipto Abimayu. 2013. Babad Tanah Jawi; Terlengkap dan Terasli. (laksana. Yogayakarta)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !