Suasana di kediaman Rais Aam Syuriah PBNU Almaghfurlah KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh hingga Jumat sore (24/1) kian ramai saja dengan kedatangan para pelayat dari berbagai kota.
Mereka baru tiba di kompleks Pesantren Maslakul Huda Kajen-Margoyoso-Pati, Jawa Tengah, setelah berjuang melawan banjir. Ya, banjir sejak kemarin mengepung empat wilayah kabupaten: Kudus, Jepara, Pati, dan Rembang (24/1), Jumat sore.
KH Umar Faruq, salah seorang alumnus MA Matholi’ul Falah Kajen tahun 1992, bercerita ketika dirinya dua hari sebelum wafatnya Mbah Sahal justru melawan banjir dari Kajen menuju Rembang. Hal itu dilakukannya pergi-pulang karena ada acara takhtiman Alquran.
Kiai muda asal Rembang yang juga berkhidmah di Sekolah Tinggi Agama Islam Matholi’ul Falah (STAIMAFA) Kajen ini mengatakan, Mbah Sahal merupakan prototipe ulama yang tidak suka publisitas, apalagi pencitraan. Bagi Umar, Mbah Sahal adalah sosok yang menjadi “payung” bagi semua.
“Mbah Sahal itu menaungi semua golongan. Suatu ketika, beliau dikunjungi beberapa ulama asal Madura. Mereka ingin bertanya soal Sunni-Syi’ah. Namun, dengan arif dan bijaksana beliau memberi nasihat kepada para tamu tersebut agar tidak menanyakan isu tersebut,” ujar Pengasuh Ma’had Aliy STAIMAFA ini.
Alumnus Matholi’ul Falah tahun 1992 ini menambahkan, agaknya Mbah Sahal memahami jika pernyataannya tentang Syiah akan dijadikan senjata bagi mereka.
“Sekali Mbah Sahal bilang Syiah itu sesat, pasti habis mereka. Dengan teduh, Mbah Sahal menyatakan bahwa beliau itu menjadi payung bagi semua. Jangan asal menyalahkan, tapi coba introspeksi diri. Kita juga ada salahnya kok,” ujar Umar menirukan pesan Mbah Sahal.
Bagi kiai yang hafal Alquran 30 juz ini, memahami sosok Mbah Sahal tidak bisa sekonyong-konyong. Mesti pelan-pelan sembari dirasakan betapa dalam dan detil pemikirannya. “Mbah Sahal itu sosok kiai yang tidak suka rame-rame. Jadi, khas Kajen memang begitu. Bahkan, kedatangan para tokoh nasional di sini saja dirahasiakan. Kalau bisa tidak sampai bocor. Kata beliau, nanti bisa mengganggu kenyamanan kita sendiri,” ujarnya.
Mereka baru tiba di kompleks Pesantren Maslakul Huda Kajen-Margoyoso-Pati, Jawa Tengah, setelah berjuang melawan banjir. Ya, banjir sejak kemarin mengepung empat wilayah kabupaten: Kudus, Jepara, Pati, dan Rembang (24/1), Jumat sore.
KH Umar Faruq, salah seorang alumnus MA Matholi’ul Falah Kajen tahun 1992, bercerita ketika dirinya dua hari sebelum wafatnya Mbah Sahal justru melawan banjir dari Kajen menuju Rembang. Hal itu dilakukannya pergi-pulang karena ada acara takhtiman Alquran.
Kiai muda asal Rembang yang juga berkhidmah di Sekolah Tinggi Agama Islam Matholi’ul Falah (STAIMAFA) Kajen ini mengatakan, Mbah Sahal merupakan prototipe ulama yang tidak suka publisitas, apalagi pencitraan. Bagi Umar, Mbah Sahal adalah sosok yang menjadi “payung” bagi semua.
“Mbah Sahal itu menaungi semua golongan. Suatu ketika, beliau dikunjungi beberapa ulama asal Madura. Mereka ingin bertanya soal Sunni-Syi’ah. Namun, dengan arif dan bijaksana beliau memberi nasihat kepada para tamu tersebut agar tidak menanyakan isu tersebut,” ujar Pengasuh Ma’had Aliy STAIMAFA ini.
Alumnus Matholi’ul Falah tahun 1992 ini menambahkan, agaknya Mbah Sahal memahami jika pernyataannya tentang Syiah akan dijadikan senjata bagi mereka.
“Sekali Mbah Sahal bilang Syiah itu sesat, pasti habis mereka. Dengan teduh, Mbah Sahal menyatakan bahwa beliau itu menjadi payung bagi semua. Jangan asal menyalahkan, tapi coba introspeksi diri. Kita juga ada salahnya kok,” ujar Umar menirukan pesan Mbah Sahal.
Bagi kiai yang hafal Alquran 30 juz ini, memahami sosok Mbah Sahal tidak bisa sekonyong-konyong. Mesti pelan-pelan sembari dirasakan betapa dalam dan detil pemikirannya. “Mbah Sahal itu sosok kiai yang tidak suka rame-rame. Jadi, khas Kajen memang begitu. Bahkan, kedatangan para tokoh nasional di sini saja dirahasiakan. Kalau bisa tidak sampai bocor. Kata beliau, nanti bisa mengganggu kenyamanan kita sendiri,” ujarnya.
Sumber :
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !