Artikel ini telah dimuat di media cetak Koran seputarindonesia pada hari selasa 15 Juni 2010.
Oleh: Abdul Aziz MMM*
Keinginan anggota DPR, khususnya dari Partai Golkar, menjadi-jadi. Setelah menumbangkan Sri Mulyani Indrawati dari Kementerian Keuangan, kini giliran memanfaatkan peluang tersebut dengan mengusulkan dana aspirasi rata-rata Rp 15 miliar untuk setiap anggota DPR pada anggaran 2011. Alasan usulan tersebut seolah-olah masuk akal, yakni lambatnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi alasan inipun dengan cepat dapat dipatahkan karena proses pengalokasaian anggaran sesungguhnya juga melibatkan DPR.
Selain menyalahi logika dan menimbulkan kerancuan dalam sistem ketatanegaraan, ada banyak argumentasi mengapa usulan itu harus ditolak. Pertama; tidak ada ukuran kinerja yang jelas. Spirit dan prinsip dasar UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah performance base budgeting, yakni setiap mata anggaran harus jelas target output-nya, kegiatan yang dibiayai terkait langsung dengan output yang akan dicapai dan terukur biayanya (Pasal 18).
Kedua; dana tersebut rawan dikorupsi. Konsekuensi dari ketidakjelasan ukuran kinerja akan menciptakan peluang korupsi yang makin besar. Korupsi ini akan dilakukan melalui penciptaan kegiatan yang tidak terukur output-nya atau biayanya tidak mengikuti standar yang berlaku dan melalui harga mark-up. Dana aspirasi ini sesungguhnya keinginan lama yang muncul kembali, yang sebelum sistem keuangan negara kita menggunakan prinsip kinerja, DPR masih sangat mungkin ‘’menitipkan’’ dana yang mereka inginkan melalui
kegiatan yang akan dibiayai oleh APBN atau APBD.
kegiatan yang akan dibiayai oleh APBN atau APBD.
Ketiga; untuk melanggengkan kekuasaaan. Alokasi dana aspirasi untuk DPR adalah upaya mereka untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara tidak fair. Untuk tetap menjaga peluang keterpilihan lagi pada pemilu berikutnya, anggota DPR akan menjadi sinterklas di mata calon pemilihnya. Karena dana ini bisa diberikan langsung tanpa prosedur perencanaan sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 2004, dana aspirisasi ini bisa menjadi bentuk lain dari money politics. Di samping itu, partai-partai besar akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk selalu melanggengkan kekuasaan, karena mereka yang akan mendapat jumlah dana apirasi paling banyak.
Keempat; akan mendorong DPRD melakukan hal yang sama. Seandainya dana aspirasi disetujui, pasti akan menginspirasi dan sekaligus dijadikan preseden DPRD provinsi dan kabupaten/ kota untuk melakukan hal yang sama. Kalau pengandaian ini benar terjadi, coba berapa triliun rupiah uang negara yang harus dialokasikan untuk dana aspirasi yang rawan dikorupsi tersebut. Untuk anggota DPR sudah 500 orang kali Rp 15 miliar, ditambah jumlah anggota DPRD provinsi sebanyak 33 provinsi kali rata-rata 100 orang dikalikan dana aspirasi per anggota, ditambah lagi jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang saat ini ada 486 kabupaten/kota kali jumlah anggota DPRD rata-rata 50 orang dikalikan dana aspirasi per anggota. Jumlah ini akan menjadi jumlah besar yang legal untuk dimanipulasi.
Kelima; bertentangan dengan prinsip pemerataan spatial. Lahirannya UU Otda dan UU Perimbangan Keuangan dilatarbelakangi oleh semangat melakukan pemerataan spatial. Dengan mendasarkan fakta bahwa sebagaian besar anggota DPR dan DPRD ada di Jawa dan Sumatra, maka dana representasi akan mengalir ke Jawa dan Sumatra. Ini merupakan bentuk kesenjangan spatial yang sengaja diciptakan. Tentu ada hikmah positif dari usulan Golkar yang aneh tersebut. Kalau mau jujur, baik pemerintah maupun DPR harus mengakui bahwa proses pengalokasian anggaran, khususnya anggaran langsung, lebih banyak didasarkan pada keinginan elite daripada aspirasi masyarakat.
*) Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
*) Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !