Tulisan ini telah dimuat di Koran HARIAN JOGJA rubrik Suara Mahasiswa pada tanggal 12 April 2010.
Oleh: Abdul Aziz Musaihi Maulana Maki *
Tepat pada tanggal 31 Maret 2010 Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk membatalkan beberapa pasal dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Keputusan itu didasarkan atas asumsi bahwa UU BHP tidak sesuai dengan tujuan UUD 1945 dalam melaksanakan kegiatan pendidikan. Lahirnya keputusan pembatalan ini, sedikit banyak memberikan angin segar bagi kehidupan pendidikan Indonesia saat ini, yang terus didera kebijakan-kebijakan tidak menguntungkan.
Setidaknya ada beberapa hal penting yang menjadi asumsi MK untuk membatalkan UU BHP. Pertama, UU BHP mempunyai banyak kelemahan baik secara yuridis, kejelasan maksud, dan keselarasan dengan UU lain. Kedua, UU BHP mempunyai asumsi penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai kemampuan sama. Akan tetapi, realitasnya kesamaan perguruan tinggi negeri (PTN) tak berarti semua PTN mempunyai kesamaan yang sama.
Ketiga, Pemberian otonomi kepada PTN akan berakibat beragam. Sebab, lebih banyak PTN yang tidak mampu menghimpun dana, karena terbatasnya pasar usaha di tiap daerah. Hal ini akan menyebabkan terganggunya penyelenggaraan pendidikan. Keempat, UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan kepastian hukum. UU BHP bertentangan dengan pasal 28D ayat 1, dan Pasal 31 UUD 1945. Kelima, Prinsip nirlaba tak hanya bisa diterapkan dalam BHP, tetapi juga dalam bentuk badan hukum lainnya.
Dapatlah disimpulkan bahwa UU BHP adalah muara dari berbagai persoalanpenye lenggaraan pendidikan saat ini, sebagai implikasi dari kebijakan pemerintah yang represif dan sangat tidak memihak. Dengan dalih sebagai upaya pendewasaan penyelenggaraan pendidikan, justru pemerintah terkesan lepas tangan atas nasib pendidikan Indonesia. Saat awal dikeluarkannya kebijakan UU BHP, banyak sekali nada-nada minor yang menyeruak ke permukaan, sebagai kekhawatiran yang akan ditimbulkan oleh kebijakanitu. Misalnya, pendapat dari berbagai kalangan yang menyebutkan bahwa UU BHP sangat sarat dengan komersialisasi. Artinya, pendidikan tidaklah lebih dari satu komoditas yang bebas untuk diperjualbelikan.
Setelah MK memutuskan untuk membatalkan UU BHP, ternyata masih saja ada permasalahan yang timbul pasca UU BHP yang dikhawatirkan oleh beberapa pihak, yaitu berkaitan dengan hal pendanaan perguruan tinggi. Pembatalan UU BHP dianggap sebagai gerbang baru permasalahan pendanaan. Pemerintah dalam hal ini tidak bisa lagi diandalkan, sebagai sumber untuk membiayai penyelengaraan pendidikan perguruan tinggi. Kuota 20%yang dicanangkan oleh pemerintah pun dirasa masih tidak mencukupi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. Yang dikhawatirkan adalah adanya pungutan-pungutan liar oleh birokrasi kampus untuk menutupi kebutuhan operasional perguruan tingginya.
Lantas, upaya apa yang harus dilakukan untuk menyiasati permasalahan di atas? Di sinilah pentingnya peran pemerintah dan birokrasi kampus, untuk berkoordinasi mengelola biaya penyelenggaraan pendidikan dengan transparan dan akuntabel. Pendidikan sebagai indikator kemajuan suatu bangsa, haruslah dikelola dengan sebaik-baiknya sebagai aset masa depan. Dalam hal ini, pendidikan harus diarahkan untuk mencerdaskan bangsa dan bersih dari kepentingan-kepentingan. Lebih jauh lagi, pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam menentukan kebijakan, haruslah berpihak pada kepentingan khalayak.
Selain itu, pemerintah harus dapat mengimplementasikan amanat UUD yang secara eksplisit menyebutkan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat yang kurang mampu, dalam mengakses pendidikan yang layak. Juga birokrasi kampus, dalam hal ini sebagai pelaksana langsung penyelenggaraan pendidikan pada tingkat perguruan tinggi, haruslah membersihkan iklim yang kondusif dalam penyelenggaran pendidikan yaitu dengan cara memberantas pungutan-pungutan liar, yang selama ini dijadikan dalih untuk mempertahankan keberlangsungan penyelenggaraan operasionalnya.
*) Mahasiswa Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !