Dimuat di media RIMANEWS Selasa, 31 Juli 2012
Judul Buku: Berislam Secara Toleran
Penulis: Irwan Masduqi
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, 2012
Harga : Rp. 49.500
Peresensi : Abdul Aziz MMM
Maraknya
kekerasan atas nama agama masih dijumpai di berbagai daerah baik konflik antar
agama maupun konflik aliran yang berbeda meski agamanya sama. Sebagai umat yang
beragama jelas membutuhkan jalan keluar alternatif. Paling tidak, mampu
menjembatani dan menengahi perseteruan konflik antar horizontal.
Kalau melihat konteks kondisi negeri ini yang begitu beragam macam budaya, etnis, ras, dan kepercayaan agama, tentu sangat berpotensi terjadinya konflik internal agama maupun dengan penganut agama lain. Sikap yang seharusnya dimunculkan terhadap perbedaan adalah toleransi antar sesama umat serta menghindari diskriminasi terhadap umat minoritas.
Sifat masyarakat di Indonesia sebagaimana dikenal banyak negara, kental dengan ciri yang bersifat plural (bineka). Ciri plural ini juga merupakan argumen atas ciri Islam Indonesia, sehingga dengan ciri itu sejak lama telah muncul prediksi bahwa kebangkitan peradaban Islam pada masa modern akan terbit dari Indonesia. Zuhairi Misrawi misalnya, menggambarkan Islam Indonesia sebagai Islam yang toleran, sehingga corak Islam Indonesia mempunyai ciri khas yang membedakannya dari ciri Islam global, apa lagi ciri Islam ala negara Timur Tengah.
Ironisnya, gambaran Islam di Indonesia yang semacam itu sedikit telah berubah sejak pasca reformasi, menyusul kebangkitan gerakan-gerakan keagamaan yang bercorak fundamentalis pernah diprediksi oleh John Naisbitt. Perubahan itu ditengarahi dengan gejala radikalisasi doktrin Islam yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan, termasuk di dalamnya terorisme. Berbagai tragedi kekerasan akhir-akhir ini terhadap Jamaah Ahmadyah, Syi’ah, kelompok Salafi di Lombok yang sangat memprihatinkan bagi negara yang plural.
Seiring dengan menjamurnya kekerasan atas nama agama para jurnalis, politisi dan intelektual mengidentifikasi menguatnya gejala “Islamophobia”, sebuah fenomena ketakutan non-Muslim terhadap Islam. Sebagai problem sosial dan politik, Islamophobia paling marak berkembang di Amerika pasca peristiwa 11 September 2001 sebuah serangan teroris yang telah mengakibatkan ratusan nyawa melayang.
Hingga kini, sentimen anti Islam sudah menjadi tren yang cukup menonjol dalam gerakan politik dan budaya di Barat. Kalangan Islamophobik seolah tak henti-hentinya menciptakan bahwa umat Islam adalah ekstrimis, pembuat onar, anti Kristen dan anti Yahudi, menolak demokrasi, opresif terhadap wanita, dan memaksakan penerapan hukum Islam yang kejam.
Sebagai respons atas kuatnya propaganda Islamophobia, muncul gejala “Islamophilia” dikalangan muslim yang berupaya menampilkan citra positif bagi Islam. Jika Islamophobia cenderung menjelek-jelekan Islam, Islamophilia cenderung membaik-baikan citra Islam.
Kalangan Islamophilik menyatakan bahwa yang pantas merepresentasikan Islam adalah Muslim yang baik yang senantiasa mengutamakan cinta dan perdamaian bukan para teroris. Muslim yang baik adalah orang yang memosisikan perempuan secara egaliter dan memberikan hak-hak kebebasan kepada mereka. Muslim yang baik memiliki kesadaran pluralistik, moderat, demokratis, dan menolak kekerasan atas nama agama.
Irwan Masduqi penulis buku ini berusaha tidak terjebak pada Islamophobia yang condong menjelek-jelekkan Islam, pada Islamophilia yang cenderung membaik-baikkan citra Islam bahkan mencaci maki Barat. Irwan Masduqi akan berusaha secara seimbang menyuguhkan elemen-elemen toleransi dalam tradisi pemikiran Islam di satu sisi dan di sisi lain tanpa ragu menguak elemen-elemen intoleransi yang terkandung di dalamnya.
Tradisi pemikiran Islam mempunyai banyak wajah. Tidak sedikit ulama klasik yang cenderung eksklusif, intoleransi dan gigih menyebarkan teologi kebencian. Tetapi tak terhitung pula jumlah ulama klasik yang sangat toleran dan menjunjung tinggi spirit Islam yang damai.
Sayangnya, tradisi pemikiran intoleran tersebut pada era kontemporer sering dicomot oleh kelompok radikal untuk menjustifikasi tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama. Sehingga sudah barang tentu tradisi tersebut perlu direvisi dalam rangka membangun budaya toleransi dan bina damai.
Buku yang ditulis oleh seorang sarjana lulusan Al-Azhar Mesir jurusan ilmu tafsir ini yang bejudul “BerIslam Secara Toleran”, merupakan sebuah wacana progresif yang sangat menarik. Karena ditulis oleh seorang yang memiliki otoritas ilmu-ilmu keagamaan serta berlatar belakang pendidikan pesantren di Indonesia.
Dalam buku ini, Irwan Masduqi menganalisis berbagai pandangan para sarjana dan pemikir baik Muslim maupun non-Muslim. Di satu pihak ia mengemukakan pemikiran Gamal al-Banna yang menganggap bahwa Al-Quran adalah kitab suci yang berwawasan plural. Namun,dia juga mengetengahkan pemikiran Sayyid Qutb yang dianggap sebagai bapak gerakan Islam radikal modern.
Walau demikian, Irwan Masduqi menunjukkan dalam kajiannya bahwa Al-Quran sebagai sumber utama, memang berisi ayat-ayat yang bisa ditafsirkan menjadi doktrin yang mengandung ajaran kasih sayang maupun mengusung kekerasan. Fetahullah Gulen, seorang sufi modern Turki, misalnya berbicara tentang “Muslim sejati”, yaitu Muslim yang penuh kasih sayang, atau meminjam istilah Al-Quran sendiri “Ibad al-Rahman”. Baginya yang memakai pendekatan irfani, seorang muslim sejati tidak mungkin menjadi teroris.
Kalau melihat konteks kondisi negeri ini yang begitu beragam macam budaya, etnis, ras, dan kepercayaan agama, tentu sangat berpotensi terjadinya konflik internal agama maupun dengan penganut agama lain. Sikap yang seharusnya dimunculkan terhadap perbedaan adalah toleransi antar sesama umat serta menghindari diskriminasi terhadap umat minoritas.
Sifat masyarakat di Indonesia sebagaimana dikenal banyak negara, kental dengan ciri yang bersifat plural (bineka). Ciri plural ini juga merupakan argumen atas ciri Islam Indonesia, sehingga dengan ciri itu sejak lama telah muncul prediksi bahwa kebangkitan peradaban Islam pada masa modern akan terbit dari Indonesia. Zuhairi Misrawi misalnya, menggambarkan Islam Indonesia sebagai Islam yang toleran, sehingga corak Islam Indonesia mempunyai ciri khas yang membedakannya dari ciri Islam global, apa lagi ciri Islam ala negara Timur Tengah.
Ironisnya, gambaran Islam di Indonesia yang semacam itu sedikit telah berubah sejak pasca reformasi, menyusul kebangkitan gerakan-gerakan keagamaan yang bercorak fundamentalis pernah diprediksi oleh John Naisbitt. Perubahan itu ditengarahi dengan gejala radikalisasi doktrin Islam yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan, termasuk di dalamnya terorisme. Berbagai tragedi kekerasan akhir-akhir ini terhadap Jamaah Ahmadyah, Syi’ah, kelompok Salafi di Lombok yang sangat memprihatinkan bagi negara yang plural.
Seiring dengan menjamurnya kekerasan atas nama agama para jurnalis, politisi dan intelektual mengidentifikasi menguatnya gejala “Islamophobia”, sebuah fenomena ketakutan non-Muslim terhadap Islam. Sebagai problem sosial dan politik, Islamophobia paling marak berkembang di Amerika pasca peristiwa 11 September 2001 sebuah serangan teroris yang telah mengakibatkan ratusan nyawa melayang.
Hingga kini, sentimen anti Islam sudah menjadi tren yang cukup menonjol dalam gerakan politik dan budaya di Barat. Kalangan Islamophobik seolah tak henti-hentinya menciptakan bahwa umat Islam adalah ekstrimis, pembuat onar, anti Kristen dan anti Yahudi, menolak demokrasi, opresif terhadap wanita, dan memaksakan penerapan hukum Islam yang kejam.
Sebagai respons atas kuatnya propaganda Islamophobia, muncul gejala “Islamophilia” dikalangan muslim yang berupaya menampilkan citra positif bagi Islam. Jika Islamophobia cenderung menjelek-jelekan Islam, Islamophilia cenderung membaik-baikan citra Islam.
Kalangan Islamophilik menyatakan bahwa yang pantas merepresentasikan Islam adalah Muslim yang baik yang senantiasa mengutamakan cinta dan perdamaian bukan para teroris. Muslim yang baik adalah orang yang memosisikan perempuan secara egaliter dan memberikan hak-hak kebebasan kepada mereka. Muslim yang baik memiliki kesadaran pluralistik, moderat, demokratis, dan menolak kekerasan atas nama agama.
Irwan Masduqi penulis buku ini berusaha tidak terjebak pada Islamophobia yang condong menjelek-jelekkan Islam, pada Islamophilia yang cenderung membaik-baikkan citra Islam bahkan mencaci maki Barat. Irwan Masduqi akan berusaha secara seimbang menyuguhkan elemen-elemen toleransi dalam tradisi pemikiran Islam di satu sisi dan di sisi lain tanpa ragu menguak elemen-elemen intoleransi yang terkandung di dalamnya.
Tradisi pemikiran Islam mempunyai banyak wajah. Tidak sedikit ulama klasik yang cenderung eksklusif, intoleransi dan gigih menyebarkan teologi kebencian. Tetapi tak terhitung pula jumlah ulama klasik yang sangat toleran dan menjunjung tinggi spirit Islam yang damai.
Sayangnya, tradisi pemikiran intoleran tersebut pada era kontemporer sering dicomot oleh kelompok radikal untuk menjustifikasi tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama. Sehingga sudah barang tentu tradisi tersebut perlu direvisi dalam rangka membangun budaya toleransi dan bina damai.
Buku yang ditulis oleh seorang sarjana lulusan Al-Azhar Mesir jurusan ilmu tafsir ini yang bejudul “BerIslam Secara Toleran”, merupakan sebuah wacana progresif yang sangat menarik. Karena ditulis oleh seorang yang memiliki otoritas ilmu-ilmu keagamaan serta berlatar belakang pendidikan pesantren di Indonesia.
Dalam buku ini, Irwan Masduqi menganalisis berbagai pandangan para sarjana dan pemikir baik Muslim maupun non-Muslim. Di satu pihak ia mengemukakan pemikiran Gamal al-Banna yang menganggap bahwa Al-Quran adalah kitab suci yang berwawasan plural. Namun,dia juga mengetengahkan pemikiran Sayyid Qutb yang dianggap sebagai bapak gerakan Islam radikal modern.
Walau demikian, Irwan Masduqi menunjukkan dalam kajiannya bahwa Al-Quran sebagai sumber utama, memang berisi ayat-ayat yang bisa ditafsirkan menjadi doktrin yang mengandung ajaran kasih sayang maupun mengusung kekerasan. Fetahullah Gulen, seorang sufi modern Turki, misalnya berbicara tentang “Muslim sejati”, yaitu Muslim yang penuh kasih sayang, atau meminjam istilah Al-Quran sendiri “Ibad al-Rahman”. Baginya yang memakai pendekatan irfani, seorang muslim sejati tidak mungkin menjadi teroris.
*)Peresensi:
Abdul Aziz MMM
Penikmat buku, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !