Alhamdulillah kita telah melewati bulan Ramadlon
yang mulia. Dan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama telah menetapkan
bahwa Hari Raya Idul fitri jatuh pada hari Jumat, 17 Juli 2015. Tidak ada
perbedaan yang muncul dalam Sidang Isbat Penentuan awal bulan Syawal 1436 H,
sehingga bisa dipastikan kita ummat muslim di Indonesia akan merayakannya
bersama-sama di hari Jum’at.
Namun ada sebuah persoalan furu’iyah yang selalu
menjadi materi pertanyaan dan pembicaraan ketika hari raya jatuh pada hari
Jum’at.
Di anatara masalah furu’iyah yang muncul adalah :
jika hari raya Idul Fitri atau Idul Adlha jatuh pada hari Jum’at. Apakah shalat
Jum’at masih wajib bagi orang yang sudah melakukan shalat id atau tidak? Dengan
pengertian mendapat rukhshah (keringanan untuk tidak melakukan shalat Jum’at).
Sebetulnya tidak ada pembahasan khusus terkait
hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, yang jatuh pada hari Jum’at. Hari
raya adalah satu hal, dan hari Jum’at adalah hal lain. Masalah ini sangat
penting, karena bertalian dengan banyak kaum muslimin di tanah air.
Demi untuk memperjelaskan soal itu dan supaya
jangan terjadi salah paham diantara kaum muslimin, saya ingin sampaikan
pembahasan ini supaya suatu amal ibadah bejalan sebagaimana mestinya serta
mengurangi perbedaan dikalangan umat.
Hal tersebut memang merupakan salah satu dari
sekian banyak masalah khilafiyah (terdapat perbedaan pendapat di antara para
imam madzhab) sebagaimana tercantum dalam kitab Rahmatul Ummah :
( فَصْلٌ ) إِذَا اتَّفَقَ
يَوْمُ عِيْدٍ وَيَوْمُ جُمْعَةٍ فَاْلأَصَحُّ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَنَّ
الْجُمْعَةَ لاَ تَسْقُطُ عَنْ أَهْلِ الْبَلَدِ بِصَلاَةِ الْعِيْدِ، وَأَمَّا
مَنْ حَضَرَ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَالرَّاجِحُ عِنْدَهُ سُقُوْطُهَا عَنْهُمْ
فَإِذَا صَلَّوْا الْعِيْدَ جَازَ لَهُمْ أَنْ يَنْصَرِفُوْا وَيَتْرُكُوْا
الْجُمْعَةَ. وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ بِوُجُوْبِ الْجُمْعَةِ عَلَى أَهْلِ
الْبَلَدِ. وَقَالَ أَحْمَدُ لاَ تَجِبُ الْجُمْعَةُ عَلَى أَهْلِ الْقُرَى وَلاَ
عَلَى أَهْلِ الْبَلَدِ، بَلْ يَسْقُطُ فَرْضُ الْجُمْعَةِ بِصَلاَةِ الْعِيْدِ وَيُصَلُّوْنَ
الظُّهْرَ. وَقَالَ عَطَاءٌ: تَسْقُطُ الْجُمْعَةُ وَالظُّهْرُ مَعًا فِيْ ذَلِكَ
الْيَوْمِ فَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعِيْدِ إِلاَّ الْعَصْرَ. إه رحمة الأمة ص: 69
Maksud dari ibarat yang ada dalam kitab Rahmatul
Ummah tersebut adalah apabila hari raya bertepatan dengan hari Jum’at, maka
mengenai pelaksanaan shalat Jum’at dan shalat dzuhur bagi umat Islam yang telah
menunaikan shalat id, itu para ulama madzhab berbeda pendapat :
1. Menurut madzhab Imam Syafi’i : Jum’atan wajib bagi seluruh ahlil
balad, sedangkan bagi ahlil qaryah tidak wajib;
2. Menurut madzhab Imam Hanafi : Jum’atan wajib bagi seluruh ahlul
balad;
3. Menurut madzhab Imam Hambali : tidak wajib Jum’atan bagi ahlil
qaryah dan ahlil balad, mereka tetap wajib shalat dzuhur;
4. Menurut madzhab Imam Atho’ : Jum’atan dan shalat dzuhur keduanya
tidak wajib bagi mereka yang telah menunaikan shalat id, mereka langsung
melakukan shalat Ashar.
Perbedaan pendapat antara Imam-imam madzhab
tersebut, karena peninjauannya masing-masing pada hadits nabi SAW. :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ قَالَ: قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ
أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ. رواه أبو داود
وَفِيْ رِوَايَةٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَم قَالَ: صَلَّى النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ:
مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ. رواه الخمسة إلا الترمذي
Maksud kedua hadits tersebut : karena pada hari
itu terjadi dua hari raya (yaumul jum’at dan yaumul id), maka Nabi SAW.
mempersilahkan bagi orang-orang yag telah menunaikan shalat id, jika ia
menghendaki (مَنْ شَاءَ) untuk tidak mengikuti shalat Jum’at.
Pertanyaannya sekarang : Siapa yang dimaksuk
dengan kata مَنْ شَاءَ dalam
hadits tersebut? Apakah ditujukan kepada semua hadirin yang melaksanakan shalat
id atau ditujukan kepada sebagian hadirin?
Mengenai hal ini, Imam Syafi’i menerangkan dalam
kitab Al-Umm juz I hal. 212 sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بن مُحَمَّدٍ قال أخبرنا إبْرَاهِيمُ بن
عُقْبَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ: اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ
رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: من أَحَبَّ أَنْ
يَجْلِسَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ فَلْيَجْلِسْ في غَيْرِ حَرَجٍ
.
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِيْ عُبَيْدٍ مَوْلىَ
ابْنِ أَزْهَرَ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيدَ مع عُثْمَانَ بن عَفَّانَ فَجَاءَ
فَصَلَّى ثُمَّ انْصَرَفَ فَخَطَبَ فقال إنَّهُ قد اجْتَمَعَ لَكُمْ في يَوْمِكُمْ
هذا عِيدَانِ فَمَنْ أَحَبَّ من أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ
فَلْيَنْتَظِرْهَا وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَلْيَرْجِعْ فَقَدْ أَذِنْتُ
لَهُ.
Dalam kedua riwayat tersebut bisa difahami bahwa
pemberian rukhsah/kemurahan untuk tidak melaksanakan shalat itu tidak ditujukan
kepada semua orang yang hadir, akan tetapi hanya ditujukan kepada ahlul aliyah
(penduduk kampung yang jauh dari tempat shalat id).
Lebih jelas lagi, Imam Nawawi dalam kitab
Muhadzdzab juz I hal. 109 menerangkan :
وَإِنِ اتَفَقَ يَوْمُ عِيْدٍ وَيَوْمُ جُمْعَةٍ فَحَضَرَ أَهْلُ السَّوَادِ
فَصَلَّوْا الْعِيْدَ جَازَ أَنْ يَنْصَرِفُوْا وَيَتْرُكُوْا الْجُمْعَةَ لِمَا
رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِيْ خُطْبَتِهَ:
"أَيُّهَا النَّاسُ قَدِ اجْتَمَعَ عِيْدَانِ فِيْ يَوْمِكُمْ هَذَا فَمَنْ
أَرَادَ مِنْ أَهْلِ الْعَالِيَةِ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَنَا الْجُمْعَةَ فَلْيُصَلِّ
وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ فَلْيَنْصَرِفْ" وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ
أَحَدٌ (قَوْلُهُ السَّوَاد) هُمْ أَهْلُ الْقُرَى وَالْمَزَارِعِ
حَوْلَ الْمَدِيْنَةِ الْكَبِيْرَةِ (قَوْلُهُ أَهْلِ الْعَالِيَةِ) قَالَ
الْجَوْهَرِيْ: الْعَالِيَةُ مَا فَوْقَ نَجْدٍ إِلَى أَرْضِ تِهَامَةَ وَإِلَى
وَرَاءِ مَكَّةَ وَهُوَ الْحِجَازُ وَمَا وَالاَهَا. (قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَلاَ
يَجُوْزُ هَذَا لأَحَدٍ مَنْ أَهْلِ الْمِصْرِ أَنْ يَدَعُوْا أَنْ يَجْتَمِعُوْا
إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ يَجُوْزُ لَهُمْ بِهِ تَرْكُ الْجُمْعَةِ وَإِنْ كَانَ يَوْمَ عِيْدٍ.
اهـ
Artinya :
“Apabila
hari raya betepatan dengan hari Jum’at, maka penduduk kampung yang jauh dari
tempat shalat id yang telah hadir untuk melaksanakan shalat id boleh kembali ke
kampungnya, tidak usah mengikuti jum’atan. Diriwayatkan dari sayyidina Utsman
ra beliau bekata dalam khutbahnya wahai manusia, pada hari ini terjadi dua hari
raya, maka barang siapa di antara penduduk kampung yang jauh dari tempat shalat
id ini menghendaki ikut shalat Jum’at, silahkan dan barang siapa yang pulang ke
kampungnya silahkan ia pulang. Terhadap katata sayyidina Utsman ini tidak
seorangpun sahabat yang mengingkarinya. (kata-kata
“as-sawad”) artinya: penduduk perkampungan dan persawahan di sekitar kota besar
(kata-kata “al-aliyah”) Imam Jauhari mengatakan yaitu kawasan pegunungan di
atas kota Najd sampai daratan Tihamah sampai belakang Makkah, Hijaz dan
sekitarnya. Imam Syafi’i bekata: tidak boleh meninggalkan Jum’atan bagi salah
seorang penduduk kota kecuali karena adanya udzur yang memperbolehkan tidak
Jum’atan, walaupun bertepatan dengan hari raya.
Kesimpulan:
1. Shalat jum’at wajib dikerjakan kecuali 4 orang yakni; budak
belian, wanita, anak-anak, dan orang sakit
2. Shalat jum’at tetap wajib dikerjakan walaupun pada hari raya
yang paginya telah melaksanakan shalai id sekalipun.
3. Bagi orang-orang dusun yang di dusunnya tidak didirikannya
masjid untuk jum’atan, apabila mereka paginya mengikuti shalat id di masjid
dusun lain ( karena di dusunnya tidak ada masjid untuk jum’atan) maka bagi
mereka ini diberi kelonggaran, yakni mereka boleh pulang ke dusunnya dan tidak
kembali lagi untuk shalat jum’at alias shalat jum’atan tidak wajib, hanya
mereka wajib melaksanakan shalat dzuhur di dusunnya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !