Niat dalam berpuasa dalam bulan ramadhan
sangatlah penting sebagaimana disebutkan Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth
Thalibin berkata :
فصل لا يصح الصوم إلا بالنية ومحلها القلب ولا يشترط النطق بلا خلاف وتجب النية لكل يوم فلو نوى صوم الشهر كله فهل يصح صوم اليوم الأول بهذه النية المذهب أنه يصح وبه قطع ابن عبدان وتردد فيه الشيخ أبو محمد ويجب تعيين النية في صوم الفرض سواء فيه صوم رمضان والنذر والكفارة وغيرها
Puasa
tidak sah tanpa didasari dengan niat, dan tempat niat berada
di dalam hati. Sudah menjadi kesepakatan bahwa tidak disyaratkan untuk
mengucapkan niat dengan lisan. Niat diwajibkan pada tiap hari. Apabila
seseorang berniat puasa untuk satu bulan penuh, apakah sah niat tersebut
diucapkan pada puasa
hari pertamanya? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat. Pertama menurut
madzhab, hukum puasanya sah, ini juga merupakan pendapat Ibnu Abdan dan Syaikh
Abu Muhammad. Niat puasa wajib ditentukan pada puasa yang wajib, baik
itu puasa Ramadhan, puasa Nadzar, puasa Kaffarat dan lain sebagainya.
[Raudhatuth Thalibin 2/306 (2/337)]
Adapun lafal
niat puasa ramadlon adalah sebagai berikut:
ﻧﻮﻳﺖُ ﺻﻮﻡَ ﻏﺪٍ ﻋﻦ ﺃﺩﺍﺀِ ﻓﺮﺽِ ﺷﻬﺮِ ﺭﻣﻀﺎﻥِ
ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺴﻨﺔِ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ
Namun sering kali kita
mendengar niat puasa itu dilantunkan dengan beberapa versi. Ada yang membacanya
RomadloNA ada yang membacanya RomadloNI. Lantas manakah yang lebih tepat? keduanya
bisa dilafalkan asalkan tahu tatabahasa arab yang digunakannya secara benar,
dalam hal ini adalah Ilmu Nahwu. Memang terjadi 2 pendapat antara
lafal RomadloNA dan RomadloNI, namun yang intinya, keduanya
mempunyai alasan tatabahasa yang tepat dan benar bila yang membacanya memahami
ilmu nahwu.
Pertama dibaca kasroh (RAMADHONI)
Tidak
ada masalah dengan membaca RomadloNI,
yang menjadi masalah adalah Nahwu atau tatabahasa yang kita pakai. Mengapa
banyak orang membaca RomadloNA ? Jika
melihat kedudukan lafal “Romadlon”
dalam lafal
niat di atas, maka “Romadlon” berkedudukan sebagai mudlof ilaih (yang ditumpangi) dari lafal “Syahri”, tetapi lafal “Romadlon”
juga menjadi mudlof pada lafal setelahnya yaitu “Hadzihis Sanati”.
Secara kaidah nahwu, seharusnya lafal “Romadlon”
dibaca menggunakan harakat kasrah (harakat asli jer) menjadi RomadloNI
bukan RomadloNA, sehingga untuk kasus ini jernya isim ghair munsharif
(lafal Romadlon) yang menggunakan fathah tidak berlaku lagi, karena lafal Romadlon menjadi mudlof terhadap lafad hadzihis
sanati.
Dalam kitab-kitab fiqh juga banyak diterangkan cara membacanya dengan harakat kasrah yaitu RomadloNI, di
antaranya dalam kitab
fathul mu’in
وأكمالها
أي النية : نويت عن أداء فرض رمضان ( بالجار للإضافة لما بعده) هذه السنة لله
تعالى
Yang artinya: lafal “Romadhoni” dibaca dengan jer karena Idhofah
pada lafadz setelahnyanya yaitu هذه السنة, Assanati yang kedudukannya
sebagai mudhof ilaih dari ROMADONI.
Juga terdapat dalam kitab
I’anatut Tholibin Juz 2 Hal. 253 ketika menerangkan lafal niat puasa
Ramadlan sebagai berikut:
(قوله: بالجر لإضافته لما بعده) أي يقرأ رمضان بالجر بالكسرة،
لكونه مضافا إلى ما بعده، وهو اسم الإشارة.
Artinya: … (ucapan penulis: dengan jer, karena
idlofahnya lafal Romadlon terhadap lafal setelahnya) maksudnya lafal Romadlon
dibaca jer dengan kasrah, karena kedudukannya sebagai mudlof terhadap lafal
setelahnya yaitu isim isyarah.
Oleh karena itu, RomadloNI
tetap harus dibaca RamadloNI. Kedudukan Romadlon hanya sekedar mudhof
ilaih itu tidak apa-apa, Ia dibaca RomadoNA. Tapi kalau Romadlon di-idofahkan
lagi dan dia berkedudukan menjadi mudhof, sedangkan kata sesudahnya mudhof
ilaih, lafal Romadlon wajib kasrah, alias RomadoNI. Kalau di i’robi
kurang lebihnya begini :
أداءِ :
mudhof → فرضِ : mudhof ilaih
فرضِ :
mudhof → شهر : mudhof ilaih
شهر : mudhof → romadona : mudhof
ilaih
romadoni
: mudhof → هذه :
mudhof ilaih
هذه: mudhof → السنة : mudhof ilaih
Kedua dibaca fathah (RAMADHANA)
RomadlaNI dibaca RomadhaNA karena lafal
Romadlan termasuk isim ghair munsharif (isim yang tidak menerima tanwin).
Mengapa Romadlan menjadi isim ghair munsharif sehingga tidak bisa menerima
tanwin? Karena Romadlan kalimat alami dan ziyadah alif-nun (kata benda dan
mendapat tambahan dua huruf yaitu alif dan nun). Romadlon adalah isim ghair
munsharif, dan apabila dijarkan harus dibaca fathah Kecuali bila ditambahkan
Alif Lam ( ال ) dan di-idhofahkan pada lafal setelahnya. Dasarnya alfiyah
Ibnu Malik :
وَجُرَّ
بِالْفَتْحَةِ مَا لاَ يَنْصَرِفْ * مَا لَمْ يُضَفْ أَوْ يَكُ بَعْدَ أَلْ رَدِفْ
Setiap
Isim yang tidak Munshorif dijarrkan dengan Harakah Fathah, selama tidak Mudhof
atau tidak jatuh sesudah AL. (bab mu’rob dan mabni bait ke )
Kata Romadlon pada niat puasa, baik
dibaca RomadhoNA atau RomadhoNI.
Sebetulnya duanya dibaca jer/jar. Hanya saja, RomadhoNA alamat (tanda)
jar-nya fathah dengan Alasan Romadlan adalah isim ghair munsarif/ghair
muawwan. Namun, para ahli tata bahasa Arab (nahwiyyin) mengungkapkan bahwa
kurang tepat Romadlon pada niat puasa dibaca RomadhoNA, karena selain
menjadi mudhof ilaih dia juga menjadi mudhof untuk kalimat Hadzihi yang
berkedudukan sebagai mudhof ilaih dari kata Romadlon. Maka dengan begitu,
Romadhon dibaca Romadhoni, dengan tanda jar-nya kasrah bukan fathah.
Seharusnya, bila ingin dibaca
fathah (RomadhoNA), maka lafal RomadhoNA harus memberhentikan
kedudukannya sebagai mudlof ilaih dari lafal syahri. Dengan syarat lafal
sesudahnya, yaitu lafal hadzihis sanah haus dibaca nashob dengan harakat
fathah karena berkedudukan menjadi dharaf zaman. Sehingga cara membacanya
adalah ‘An ada’i fardli syahri RamadloNA hadzihis SanaTA. Akan
tetapi, yang demikian ini jarang digunakan oleh para ulama, sebab mayoritas
ulama memudlofkan lafal Romadlon pada lafad hadzihis sanati untuk menunjukkan
kekhususannya
Dengan demikian, alasan Kata
Romadlon dibaca RomadloNA tidaklah kuat, karena lafal Ramadlan tadi
di-idhofatkan pula pada lafaz sesudahnya, yaitu Hazihis Sanati. Karena
di sini sudah tidak ada faktor (illat) yang mengharuskan dibaca fathah, maka
alasan itupun gugur. Artinya, lafal itu sudah tidak lagi harus dibaca fathah
ketika diidofatkan. Jadi, yang kuat adalah RamadhaNI.
Kesimpulannya, perbedaan
Romadhoni dan Romadhona, menurut hemat penulis tidak ada konsekwensi yang
menyebabkan tidak sahnya suatu niat puasa. Namun, jika
ditelaah secara gramatikal arab maka konsekwensinya akan menyebabkan perbedaan makna. Seandainya niat puasa itu
dilafalkan, Si pengucap bisa dikatagorikan kurang fasih karena tidak bisa
mendatangkan lafal sesuai makna yang diinginkan.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !