Bangsa indonesia sedang dihadapkan pada persoalan – persoalan 
krusial, seperti tingginya angka kemiskinan, praktik korupsi, mafia 
hukum, dan konflik antar keyakinan/ Agama. Persoalan tersebut telah 
melapukkan proses ke-adab-an bangsa kita, terutama bagaimana seluruh 
elemen bangsa membangun kesadaran yang berlandaskan pada moralitas, 
bukan kepentingan individu atau golongan. Proses pelapukan itu akan 
terus terjadi ketika moralitas ”akhlak” yang menjadi dasar dari keadaban
 suatu bangsa disingkirkan dalam ranah kehidupan. Tidak mengherankan, 
jika keadaban bangsa sedang dipertaruhkan dengan himpitan persoalan 
sosial-ekonomi, politik dan agama. Disinilah diharapkan kekuatan masyarakat memiliki peran yang besar dalam usaha mencegah dan mengatasi proses pelapukan keadaban bangsa tersebut.
Ideologi keBangsaan NU
Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagai suatu organisasi Islam “terbesar” di 
Indonesia ikut bertanggungjawab untuk memberikan kontribusinya dalam 
membangun cita-cita keadaban bangsa. Hal ini karena kontribusi NU tidak 
hanya dialamatkan kepada jemaah NU saja, tetapi lebih besar dari itu 
bagaimana NU bisa berkontribusi kepada bangsa (umat). Oleh sebab itu NU 
merumuskan jalan keadaban yang dapat dikontribusikan kepada bangsa 
dengan;
Pertama, NU merumuskan konsep mabadi’ khoiru ummat (prinsip
 dasar umat terbaik) yang diorientasikan pada perubahan moral 
sosial-ekonomi masyarakat. Pengukuhan moralitas sebagai landasan dalam 
kehidupan sosial dan ekonomi yang bertumpu pada as-shidiq (kejujuran) dan al-amanah
 (tanggung jawab), sehingga tatalaku masyarakat dilandasi oleh tata 
moral yang agung, bukan nafsu serakah dan kepentingan ego pribadi. Saat 
ini, moralitas sengaja dipinggirkan demi segala kepentingan. Tempat 
moralitas dipersepsikan hanya berada di dalam rumah ibadah (masjid, 
mushola, dll), bukan dalam tata laku masyarakat. Moralitas cukup menjadi
 menu utama dalam khotbah agama. Inilah yang terjadi di Indonesia, 
ketika moral hanya menjadi khotbah yang diperdengarkan di ruang publik, 
tetapi mengabaikannya dalam praktik kehidupan bermasyarakat. Sebagai 
misal, masyarakat kita dengan nada meyakinkan akan memberantas korupsi “say no to corruption”, tetapi mengabaikan praktik korupsi disekelilingnya, bahkan ironisnya mereka jugalah yang mempraktikan korupsi.
Kedua, NU merumuskan fondasi besar dalam kehidupan berbangsa
 ketika mempelopori penerimaan Pancasila sebagai asas bernegara dan 
bermasyarakat yang harus diterima oleh umat Islam. Tidak berlebihan jika
 NU terus menerus melestarikan Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia (NKRI)
 sebagai bentuk negara yang paling ideal bagi bangsa Indonesia. Sejak 
lahirnya NU, konsepsi ini telah dikumandangkan oleh para pendirinya, 
seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah, meskipun ide 
globalisme Islam terus dikumandangkan dengan negara khilafah namun NU kokoh dengan ide kebangsaan Indonesia yang berideologi Pancasila.
Ketiga, NU merumuskan kontribusinya dalam wawasan keagamaan 
moderat dan ikut mendorong pembentukan ide kebangsaan. NU berhasil 
merumuskan sikap dasar dalam merespon isu-isu keagamanan dan kebangsaan 
dengan prinsip dasar; tawasuth (moderat),  Tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal
 (keadilan). Dengan gagasan dasar ini NU telah berhasil melahirkan 
generasi bangsa yang mengedepankan hidup dalam suasana yang toleran dan 
moderat, bukan dengan kekerasan.
Pencairan keadaban bangsa akan terus menjadi cita-cita ideal dalam rangka meraih mimpi Indonesia, disini NU sebagai bagian dari kekuatan masyarakat beradab menemukan relevansi kontributifnya dalam membangun keadaban bangsa.
Ideologi keIslaman NU
Secara historis, kelahiran NU dibidani hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari
 dan ulama’-ulama’ terkemuka seperti; KH. Wahab Hasbullah dan KH Bisri 
Sansuri tahun 1926. Diantara tujuan utamanya untuk melindungi praktik 
dan pemikiran keagamaan muslim Indonesia yang berbeda dengan praktik dan
 pemikiran keagamaan muslim timur tengah, khususnya Arab Saudi yang 
puritanistik. Meminjam kerangka teori Elnerst Gelner, NU berdiri untuk 
membela praktis Islam yang cenderung dekat dengan local Islam. KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Qanun Asasi li Jami’ati Nahdlatul Ulama’, memprihatinkan adanya gerakan keagamaan baru yang menyerukan pemberantasan bid’ah (heterodoksi) dengan kedok  kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Padahal, gerakan baru inilah yang sebenarnya memproduksi bid’ad.
 Pernyataan KH Hasyim tersebut, bisa dianggap 1) merespon situasi 
internasional tentang maraknya gerakan Wahabisme di Timur tengah dan, 2)
 terhadap situasi nasional tentang maraknya gerakan “pembaharuan” Islam 
(puritanisme).
Fenomena pembaharuan Islam muncul ketika keintelektualan lebih 
mengedepankan ‘nafsu’ serta semangat yang menggebu-gebu dengan dalih 
memurnikan agama tanpa disertai dengan pemahaman agama secara benar, 
maka yang terjadi justru pembaharuan- pembaharuan yang menyimpang dari 
ajaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. pembaharu-pembaharu (Mujaddid) Islam yang telah melakukan banyak penyimpangan dari ajaran Islam yang murni, diantaranya sebagai berikut;
- Faham Ibnu Taimiyah
 
Di akhir masa 600 H, muncullah seorang laki-laki yang jenius yang 
menguasai berbagai jenis disiplin ilmu, Taqiyuddin ahmad bin Abdul Hakim
 yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyah. Ia dilahirkan di desa Heran, 
sebuah desa kecil di Palestina. Ia hidup sezaman dengan Imam Nawawi 
salah satu ulama terbesar madzhab Syafi’i. Ia merupakan sosok pribadi 
yang memiliki karakter pemberani, yang selalu mencurahkan segala sesuatu
 untuk madzhabnya, dengan keberanian yang ia miliki, ia telah menemukan 
hal baru ‘ tabu’, karena yang menjadi dasar pendiriannya ialah 
mengartikan ayat-ayat dan hadits-hadits nabi Muhammad yang berkaitan 
dengan sifat-sifat tuhan menurut arti lafadznya yang dlohir 
 hanya secara harfiyah saja, menurut Ibnu Taimiyah ” Tuhan itu memiliki 
muka, tangan, rusuk dan mata, duduk bersila, datang dan pergi, tuhan 
adalah cahaya langit dan bumi karena katanya semua itu disebut dalam Al 
Qur’an”. Kontroversi yang ia ucapkan tidak hanya terbatas pada 
permasalahan ilmu kalam, melainkan juga menyinggung beberapa 
permasalahan ilmu fiqih, diantaranya :
- Bepergian dengan tujuan ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat hukumnya maksiat
 - Talak tiga tidak terjadi ketika diucapkan dengan sekaligus ( hanya jatuh satu )
 - Seorang yang bersumpah mencerai istrinya , lalu ia melanggar sumpahnya, maka perceraian itu tidak terjadi.
 - Faham Wahabi
 
Pada pertengahan abad 12 muncul seorang yang bernama Muhammad bin 
Abdul Wahab yang berdomisili di Najd yang termasuk kawasan Hijaz, ia 
dilahirkan pada tahun 1111 H, dan meninggal pada tahun 1207 H. pada 
mulanya ia memperdalam ilmu agama dari ulama’-ulama; ahli sunnah di 
makkah dan madinah termasuk diantaranya adalah syaih Muhammad Sulaiman 
Al Kurdi dan syaih Muhammad Hayyan Assindi. Muhammad bin Abdul Wahab 
pada masa mudanya banyak membaca buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan 
pemuka-pemuka lain, sehingga akhirnya membangun faham Wahabiyah yang 
terpusat ditanah Hijaz sebagai penerus tongkat estafet dari ajaran Ibnu 
Taimiyah, bahkan lebih extrim dan radikal daripada Ibnu Taimiyah 
sendiri, sebab ia sangat mudah memberikan label kafir kepada setiap 
orang yang tidak mau mengikuti fahamnya. Langkah yang ia tempuh dalam 
mengembangkan fahamnya ialah dengan memberikan tambahan- tambahan baru 
dari ajaran Ibnu Taimiyah yang semula dianutnya. Poin-poin dasar faham 
wahabiyah, diantarnya;
- Allah adalah suatu jisim yang memiliki wajah, tangan dan menempat sebagaimana mahluq juga sesekali naik dan turun ke bumi.
 - Mengedapankan dalil Naqli daripada dalil aqli serta tidak memberikan ruang sedikitpun pada akal dalam hal-hal yang berkenaan dengan agama ( keyakinan)
 - Mengingkari Ijma’ ( Konsensus )
 - Menolak Qiyas ( Analogi )
 - Tidak memperbolehkan Taqlid kepada Ulama’ Mujtahidin dan mengkufurkan kepada siapapun yang taqlid kepada mereka.
 - Mengkufurkan kepada ummat Islam yang tidak sefaham dengan ajarannya
 - Melarang keras bertawassul kepada Allah melalui perantara para Nabi, Auliya’ dan orang- orang sholeh
 - Memvonis kafir kepada orang yang bersumpah dengan menyebut nama selain Allah
 - menghukumi kafir kepada siapa saja yang bernadzar untuk selain Allah.
 - Menghukumi kafir secara mutlak kepada siapapun yang menyembelih disisi makam para nabi atau orang-orang Sholeh.
 
Perkembangan ajaran Wahabiyah sampai di tanah air kita Indonesia, 
disinyalir melalui cendekiawan-cendekiawan yang melakukan 
pergerakan-pergerakan diawal abad ke-20 dengan bertopeng keagamaan. 
Diawali dengan terbentuknya organisasi Wathoniyah pada tahun 1908 M. 
kemudian disusul organisasi Serikat Islam pada tahun yang sama, hanya 
saja berkecimpung dalam masalah perdagangan. Dan puncaknya dibentuklah 
sebuah ormas pada tanggal 18 Desember 1912 oleh seorang cendekiawan yang
 berfaham Wahabi, kendati organisasi ini lebih berorientasi pada masalah
 social keagamaan, namun kelahirannya dibumi pertiwi ini menyebabkan 
keretakan diantara Muslim Indonesia yang pada umumnya berhaluan faham 
Ahli Sunnah Wal jamaah. Propaganda yang dilakukan oleh cendekiawan 
wahabi ialah dengan melakukan pendekatan pada masyarakat awam, setelah 
terpedaya kemudian mereka mengeluarkan trik-trik baru yang justru lebih 
berbahaya dampaknya, yaitu dengan menanamkan benih-benih permusuhan dan 
rasa sentiment pada para ulama’ salaf dan golongan yang tidak sefaham 
dengan mereka.
- Faham Ahmadiyah
 
Pendiri golongan ini bernama Mirza Ghulam Ahmad, ia dilahirkan didesa
 Qodliyan Punjab Pakistan pada tahun 1836 M. dia tidak hanya mengaku 
sebagai imam Mahdi yang ditunggu, Mujaddid dan juru selamat, tetapi 
setelah ia berumur 54 tahun ia memproklamirkan diri sebagai nabi yang 
paling akhir sesudah nabi Muhammad SAW dan benar-benar mendapatkan wahyu
 dari Allah SWT.  Poin-Poin faham Ahmadiyah yang menyimpang dari 
Syari’at;
- Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi terakhir
 - Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa yang dijanjikan.
 - Syari’at Islam belum sempurna, dan disempurnakan Syari’at Mirza Ghulam Ahmad.
 - Jaringan Islam Liberal
 
Belakangan ini gegap gempita pemikiran dan aliran yang muncul 
dikalangan Islam di Indonesia begitu deras, sehingga berimplikasi pada 
sebuah kebebasan yang seakan tak terbatas. Disana-sini bermunculan 
aliran dan sekte-sekte, diantaranya adalah Jaringan Islam Liberal ( JIL 
). Sebagai komunitas yang berslogan ” Menuju Islam yang ramah, toleran 
dan membebaskan” JIL hadir layaknya sebuah alternatif yang begitu 
intelektual dan cerdas. mereka begitu Ofensif sehingga berhasil 
menciptakan jaringan dengan tidak kurang dari 51 koran dan membuat radio
 68, yang beberapa acaranya dipancarluaskan oleh jaringan KBR 68 Hz 
diseluruh Indonesia. Maka tak heran apabila pemikiran-pemikirannya 
begitu kuat mempengaruhi ummat. Madzhab liberal merupakan aliran 
pemikiran Islam Indonesia yang menekankan pada kebebasan berfikir dan 
tidak lagi terikat dengan madzhab-madzhab pemikiran keagamaan (terutama 
Islam) pada umumnya, melampaui batas-batas cara berpikir sektarian 
organisasi dan politik. Bagi Madzhab liberal, yang paling penting adalah
 perlunya tradisi kritis dan perlunya Dekonstruksi atas pemahaman lama 
yang telah berkembang ratusan tahun. Islam seharusnya difahami secara 
modern dan rasional, karena Islam merupakan agama yang rasional dan 
mengutamakan rasionalitas yang dalam bentuk konkritnya berupa Ijtihad. 
Islam harus dipahami secara kontekstual, progressif dan emansipatoris. 
Dengan pemahaman seperti ini maka Islam akan mengalami kemajuan, 
bukannya kemunduran.
Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal jamaah ala Nahdlatul Ulama
Dari beberapa fenomena pembaharuan ajaran Islam diatas, yang pada 
kenyataan hidup masa kini diperselisihkan oleh umat Islam, sehingga 
mereka berpecah-belah. Hal itu terbukti dengan tumbuhnya berbagai 
kelompok (dakwah) kentemporer dan jamaah-jamaah yang berbeda-beda. 
Masing-masing menyeru manusia (umat Islam) kepada golongannya; mengklaim
 bahwa diri dan golongan merekalah yang paling baik dan benar, 
sampai-sampai seorang muslim yang masih awam menjadi bingung, kepada 
siapakah dia belajar Islam dan kepada jemaah mana dia harus ikut 
bergabung. Bahkan seorang kafirpun yang ingin masuk ke dalam Islam ikut 
terbawa bingung. Islam manakah yang benar yang harus didengar dan 
dibacanya; yakni ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan As 
Sunnah yang telah diterapkan dan tergambar dalam kehidupan para sahabat 
Rasulullah yang mulia dan telah menjadi pedoman hidup sejak berabad-abad
 yang lalu, namun justru ia hanya bisa melihat Islam sebagai sebuah nama
 besar tanpa arti bagi dirinya.
Padahal sesungguhnya Allah telah mensyariatkan persatuan kepada 
mereka dalam  melaksanakan berbagai macam ibadah; seperti shalat, puasa,
 menunaikan haji dan dalam mencari ilmu. Pun, Nabi Muhammad telah 
memerintahkan kaum muslimin agar bersatu dan melarang mereka dari 
perpecahan dan perselisihan. Bahkan beliau telah menyampaikan suatu 
berita “prediksi” tentang akan terjadinya perpecahan pada umat ini 
sebagaimana hal tersebut telah terjadi pada umat-umat sebelumnya, 
sebagaimana sabda Beliau _ : “Sesungguhnya barangsiapa yang masih 
hidup di antara kalian dia akan melihat banyak perselisihan, maka 
berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin 
yang mendapat petunjuk setelah Aku” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud: 
5/4607 dan tirmidzi: 5/2676 dan dia berkata hadits ini hasan shahih, 
juga oleh Imam Ahmad: 4/ 126-127, dan Ibnu Majah : 1/ 43.)
Dan sabdanya pula: “Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh 
puluh satu galongan, dan telah berpecah kaum Nashrani menjadi tujuh 
puluh dua golongan, sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga
 golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kamipun 
bertanya siapakah yang satu itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: 
yaitu barangsiapa yang berada pada yang aku dan para shahabatku jalani 
ini”.(Diriwayatkan oleh Tirmidzi: 5/ 2641, dan Al Hakim dalam 
mustadraknya: 1/ 128-129, dan Al Ajuri dalam Asy Syari’ah : 16, dan Imam
 Al Lalikaai dalam syarah ushul I’tiqaad Ahlis sunnah Wal jamaah: 1/ 
145-147).
Bahwasanya pengikut kelompok yang dimaksud Nabi adalah mereka yang 
menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Mereka itu bisa dibedakan dari 
kelompok lainnya dalam dua hal penting: pertama, berpegang teguhnya mereka terhadap Assunnah
 sehingga mereka disebut sebagai pengikut Sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda
 dengan kelompok-kelompok lain karena mereka berpegang teguh dengan 
pendapat-pendapat, hawa nafsu, dan perkataan para pemimpinnya. Oleh 
karena itu, kelompok-kelompok tersebut tidak dinisbatkan kepada Sunnah, 
akan tetapi dinisbahkan kepada bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan 
yang ada pada kelompok itu sendiri. Adapun perbedaan yang kedua adalah: 
bahwasanya mereka itu Ahlul Jamaah karena kesepakatan 
mereka untuk berpegang teguh dengan Al Haq dan jauhnya mereka dari 
perpecahan. Berbeda dengan kelompok-kelompok lain, mereka tidak 
bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al Haq akan tetapi mereka itu 
hanya mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak ada kebenaran pada mereka 
yang mampu menyatukan mereka.
Pemahaman ajaran dan manhaj Ahluussunnah wal jama’ah harus mendasari 
keyakinan setiap muslim, sebab dengan ajaran dan manhaj inilah seorang 
muslim insya Allah akan terjamin dari adzab neraka di akhirat kelak. 
Dalam membentengi aqidah Ahlus Sunnah wal jamaah agar tetap 
eksis dan menjadi panutan masyarakat, tentunya perlu diterapkan metode 
yang jitu dan tidak terkesan radikal. Upaya penyampaian tentang 
pentingnya mempertahankan aqidah ahli sunnah wal jamaah bisa ditempuh dengan berbagai macam cara, seperti memberikan pemahaman yang mendalam tentang hakikat aswaja
 dan bahayanya mengikuti faham- faham sesat yang banyak bermunculan. 
Banyak media yang bisa kita gunakan untuk menyampaikan nilai-nilai 
Aswaja kepada masyarakat luas yang selama ini masih minim dipraktekkan, 
sebab kurangnya rasa peduli dari para nahdliyin (orang NU). Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal jamaah.
Adapun prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal jamaah sebagaimana disampaikan Shaleh al Fauzan dalam buku Ushul aqidatul Ahlus Sunnah wal jamah, antara lain ;
Prinsip pertama: Rukun Iman; beriman kepada Allah, para 
malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir 
baik dan buruknya.
Prinsip kedua: bahwasanya iman itu berupa perkataan, 
perbuatan, dan keyakinan yang bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa 
berkurang dengan kemaksiatan,
Prinsip ketiga: tidak mengkafirkan seseorang dari kaum 
muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan 
keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain kemusyrikan dan tidak 
ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir, misalnya meninggalkan
 shalat karena malas, maka pelaku (dosa tersebut) tidak dihukumi kafir 
akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna.
Prinsip keempat: wajib taat kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat maksiat.
Prinsip kelima: haramnya memberontak terhadap pimpinan kaum 
muslimin apabila melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut 
tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah 
tentang wajibnya taat kepada mereka dalam hal-hal yang bukan maksiat dan
 selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas.
Prinsip keenam: bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul,
Prinsip ketujuh: mencintai ahlul bait,
Prinsip kedelapan: membenarkan adanya karamah para wali, 
yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian 
mereka berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada 
mereka,
Prinsip kesembilan: dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa 
yang datang dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, baik secara lahir 
maupun batin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat 
dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti 
Khulafaurrasyidin sampai pada para ulama’-ulama’ (sebagai taabi’in).
Dari kesembilan prinsip tersebut sudah menjadi keyakinan dan amaliah 
warga NU yang membedakan dengan kelompok-kelompok lain. Berpijak pada 
kondisi inilah, NU yang sejak awal berdirinya diberi mandat untuk 
mengurusi umat, sudah sepantasnya di-orientasikan kembali pada 
kerja-kerja sosial, seperti dakwah, pendidikan dan ekonomi (khidmat 
Ummat). Titik lemah organisasi NU adalah karena banyaknya jemaah dan 
besarnya organisasi sehingga tidak serius memperhatikan warga dan 
asetnya. Ada beberapa hal mendasar yang harus segera diperbaiki dalam 
tubuh NU;
Pertama, banyaknya kader NU yang lompat pagar. Biasanya 
kader NU lompat pagar ketetangga (muhammadiyah), kini justru melompat 
jauh menjadi kader PKS, Hizbut Tahrir, FPI dan organisasi Islam lainnya.
 Hal ini karena tidak terawatnya kader akibat ruang publik yang tidak 
mencukupi bagi kader potensial (penguatan dan kaderisasi tidak tergarap 
maksimal).
Kedua, masjid sebagai simbol utama penguatan dan penyebaran 
tradisi keagamaan NU mulai direbut kelompok lain. Masjid yang dulu 
diurus ta’mir dari warga NU, kini mulai masuk kelompok radikal dan 
mempengaruhi iklim keagamaan masjid. Warna keagamaan yang biasanya 
menggunakan tradisi NU hilang seiring dengan perubahan pengurus masjid.
Ketiga, lembaga pendidikan NU yang kalah bersaing dengan 
sekolah Islam terpadu, seperti SDIT, telah meminggirkan pesantren dan 
madrasah. Berbekal manajemen modern, sarana yang memadai, dan penguasaan
 mutu pendidikan, sekolah Islam terpadu mampu mengubah cara pandang 
masyarakat muslim agar menyekolahkan anaknya kelembaga mereka.
Jika uraian diatas dimaknai sebagai usaha pemakluman atas kiprah NU 
yang selama ini kurang menyenangkan ditengah publik, memang harus 
diakui, Ya. Akan tetapi, lantas tidak berarti hanya dianggap apologi 
buta sehingga apa yang dilakukan NU harus disadari dalam koridor 
(0t0kritik) di atas sehingga harus tetap di-Apresiasi, terlepas dari 
baik atau kurang baiknya.



0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !