Bangsa indonesia sedang dihadapkan pada persoalan – persoalan
krusial, seperti tingginya angka kemiskinan, praktik korupsi, mafia
hukum, dan konflik antar keyakinan/ Agama. Persoalan tersebut telah
melapukkan proses ke-adab-an bangsa kita, terutama bagaimana seluruh
elemen bangsa membangun kesadaran yang berlandaskan pada moralitas,
bukan kepentingan individu atau golongan. Proses pelapukan itu akan
terus terjadi ketika moralitas ”akhlak” yang menjadi dasar dari keadaban
suatu bangsa disingkirkan dalam ranah kehidupan. Tidak mengherankan,
jika keadaban bangsa sedang dipertaruhkan dengan himpitan persoalan
sosial-ekonomi, politik dan agama. Disinilah diharapkan kekuatan masyarakat memiliki peran yang besar dalam usaha mencegah dan mengatasi proses pelapukan keadaban bangsa tersebut.
Ideologi keBangsaan NU
Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagai suatu organisasi Islam “terbesar” di
Indonesia ikut bertanggungjawab untuk memberikan kontribusinya dalam
membangun cita-cita keadaban bangsa. Hal ini karena kontribusi NU tidak
hanya dialamatkan kepada jemaah NU saja, tetapi lebih besar dari itu
bagaimana NU bisa berkontribusi kepada bangsa (umat). Oleh sebab itu NU
merumuskan jalan keadaban yang dapat dikontribusikan kepada bangsa
dengan;
Pertama, NU merumuskan konsep mabadi’ khoiru ummat (prinsip
dasar umat terbaik) yang diorientasikan pada perubahan moral
sosial-ekonomi masyarakat. Pengukuhan moralitas sebagai landasan dalam
kehidupan sosial dan ekonomi yang bertumpu pada as-shidiq (kejujuran) dan al-amanah
(tanggung jawab), sehingga tatalaku masyarakat dilandasi oleh tata
moral yang agung, bukan nafsu serakah dan kepentingan ego pribadi. Saat
ini, moralitas sengaja dipinggirkan demi segala kepentingan. Tempat
moralitas dipersepsikan hanya berada di dalam rumah ibadah (masjid,
mushola, dll), bukan dalam tata laku masyarakat. Moralitas cukup menjadi
menu utama dalam khotbah agama. Inilah yang terjadi di Indonesia,
ketika moral hanya menjadi khotbah yang diperdengarkan di ruang publik,
tetapi mengabaikannya dalam praktik kehidupan bermasyarakat. Sebagai
misal, masyarakat kita dengan nada meyakinkan akan memberantas korupsi “say no to corruption”, tetapi mengabaikan praktik korupsi disekelilingnya, bahkan ironisnya mereka jugalah yang mempraktikan korupsi.
Kedua, NU merumuskan fondasi besar dalam kehidupan berbangsa
ketika mempelopori penerimaan Pancasila sebagai asas bernegara dan
bermasyarakat yang harus diterima oleh umat Islam. Tidak berlebihan jika
NU terus menerus melestarikan Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia (NKRI)
sebagai bentuk negara yang paling ideal bagi bangsa Indonesia. Sejak
lahirnya NU, konsepsi ini telah dikumandangkan oleh para pendirinya,
seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah, meskipun ide
globalisme Islam terus dikumandangkan dengan negara khilafah namun NU kokoh dengan ide kebangsaan Indonesia yang berideologi Pancasila.
Ketiga, NU merumuskan kontribusinya dalam wawasan keagamaan
moderat dan ikut mendorong pembentukan ide kebangsaan. NU berhasil
merumuskan sikap dasar dalam merespon isu-isu keagamanan dan kebangsaan
dengan prinsip dasar; tawasuth (moderat), Tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal
(keadilan). Dengan gagasan dasar ini NU telah berhasil melahirkan
generasi bangsa yang mengedepankan hidup dalam suasana yang toleran dan
moderat, bukan dengan kekerasan.
Pencairan keadaban bangsa akan terus menjadi cita-cita ideal dalam rangka meraih mimpi Indonesia, disini NU sebagai bagian dari kekuatan masyarakat beradab menemukan relevansi kontributifnya dalam membangun keadaban bangsa.
Ideologi keIslaman NU
Secara historis, kelahiran NU dibidani hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari
dan ulama’-ulama’ terkemuka seperti; KH. Wahab Hasbullah dan KH Bisri
Sansuri tahun 1926. Diantara tujuan utamanya untuk melindungi praktik
dan pemikiran keagamaan muslim Indonesia yang berbeda dengan praktik dan
pemikiran keagamaan muslim timur tengah, khususnya Arab Saudi yang
puritanistik. Meminjam kerangka teori Elnerst Gelner, NU berdiri untuk
membela praktis Islam yang cenderung dekat dengan local Islam. KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Qanun Asasi li Jami’ati Nahdlatul Ulama’, memprihatinkan adanya gerakan keagamaan baru yang menyerukan pemberantasan bid’ah (heterodoksi) dengan kedok kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Padahal, gerakan baru inilah yang sebenarnya memproduksi bid’ad.
Pernyataan KH Hasyim tersebut, bisa dianggap 1) merespon situasi
internasional tentang maraknya gerakan Wahabisme di Timur tengah dan, 2)
terhadap situasi nasional tentang maraknya gerakan “pembaharuan” Islam
(puritanisme).
Fenomena pembaharuan Islam muncul ketika keintelektualan lebih
mengedepankan ‘nafsu’ serta semangat yang menggebu-gebu dengan dalih
memurnikan agama tanpa disertai dengan pemahaman agama secara benar,
maka yang terjadi justru pembaharuan- pembaharuan yang menyimpang dari
ajaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. pembaharu-pembaharu (Mujaddid) Islam yang telah melakukan banyak penyimpangan dari ajaran Islam yang murni, diantaranya sebagai berikut;
- Faham Ibnu Taimiyah
Di akhir masa 600 H, muncullah seorang laki-laki yang jenius yang
menguasai berbagai jenis disiplin ilmu, Taqiyuddin ahmad bin Abdul Hakim
yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyah. Ia dilahirkan di desa Heran,
sebuah desa kecil di Palestina. Ia hidup sezaman dengan Imam Nawawi
salah satu ulama terbesar madzhab Syafi’i. Ia merupakan sosok pribadi
yang memiliki karakter pemberani, yang selalu mencurahkan segala sesuatu
untuk madzhabnya, dengan keberanian yang ia miliki, ia telah menemukan
hal baru ‘ tabu’, karena yang menjadi dasar pendiriannya ialah
mengartikan ayat-ayat dan hadits-hadits nabi Muhammad yang berkaitan
dengan sifat-sifat tuhan menurut arti lafadznya yang dlohir
hanya secara harfiyah saja, menurut Ibnu Taimiyah ” Tuhan itu memiliki
muka, tangan, rusuk dan mata, duduk bersila, datang dan pergi, tuhan
adalah cahaya langit dan bumi karena katanya semua itu disebut dalam Al
Qur’an”. Kontroversi yang ia ucapkan tidak hanya terbatas pada
permasalahan ilmu kalam, melainkan juga menyinggung beberapa
permasalahan ilmu fiqih, diantaranya :
- Bepergian dengan tujuan ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat hukumnya maksiat
- Talak tiga tidak terjadi ketika diucapkan dengan sekaligus ( hanya jatuh satu )
- Seorang yang bersumpah mencerai istrinya , lalu ia melanggar sumpahnya, maka perceraian itu tidak terjadi.
- Faham Wahabi
Pada pertengahan abad 12 muncul seorang yang bernama Muhammad bin
Abdul Wahab yang berdomisili di Najd yang termasuk kawasan Hijaz, ia
dilahirkan pada tahun 1111 H, dan meninggal pada tahun 1207 H. pada
mulanya ia memperdalam ilmu agama dari ulama’-ulama; ahli sunnah di
makkah dan madinah termasuk diantaranya adalah syaih Muhammad Sulaiman
Al Kurdi dan syaih Muhammad Hayyan Assindi. Muhammad bin Abdul Wahab
pada masa mudanya banyak membaca buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan
pemuka-pemuka lain, sehingga akhirnya membangun faham Wahabiyah yang
terpusat ditanah Hijaz sebagai penerus tongkat estafet dari ajaran Ibnu
Taimiyah, bahkan lebih extrim dan radikal daripada Ibnu Taimiyah
sendiri, sebab ia sangat mudah memberikan label kafir kepada setiap
orang yang tidak mau mengikuti fahamnya. Langkah yang ia tempuh dalam
mengembangkan fahamnya ialah dengan memberikan tambahan- tambahan baru
dari ajaran Ibnu Taimiyah yang semula dianutnya. Poin-poin dasar faham
wahabiyah, diantarnya;
- Allah adalah suatu jisim yang memiliki wajah, tangan dan menempat sebagaimana mahluq juga sesekali naik dan turun ke bumi.
- Mengedapankan dalil Naqli daripada dalil aqli serta tidak memberikan ruang sedikitpun pada akal dalam hal-hal yang berkenaan dengan agama ( keyakinan)
- Mengingkari Ijma’ ( Konsensus )
- Menolak Qiyas ( Analogi )
- Tidak memperbolehkan Taqlid kepada Ulama’ Mujtahidin dan mengkufurkan kepada siapapun yang taqlid kepada mereka.
- Mengkufurkan kepada ummat Islam yang tidak sefaham dengan ajarannya
- Melarang keras bertawassul kepada Allah melalui perantara para Nabi, Auliya’ dan orang- orang sholeh
- Memvonis kafir kepada orang yang bersumpah dengan menyebut nama selain Allah
- menghukumi kafir kepada siapa saja yang bernadzar untuk selain Allah.
- Menghukumi kafir secara mutlak kepada siapapun yang menyembelih disisi makam para nabi atau orang-orang Sholeh.
Perkembangan ajaran Wahabiyah sampai di tanah air kita Indonesia,
disinyalir melalui cendekiawan-cendekiawan yang melakukan
pergerakan-pergerakan diawal abad ke-20 dengan bertopeng keagamaan.
Diawali dengan terbentuknya organisasi Wathoniyah pada tahun 1908 M.
kemudian disusul organisasi Serikat Islam pada tahun yang sama, hanya
saja berkecimpung dalam masalah perdagangan. Dan puncaknya dibentuklah
sebuah ormas pada tanggal 18 Desember 1912 oleh seorang cendekiawan yang
berfaham Wahabi, kendati organisasi ini lebih berorientasi pada masalah
social keagamaan, namun kelahirannya dibumi pertiwi ini menyebabkan
keretakan diantara Muslim Indonesia yang pada umumnya berhaluan faham
Ahli Sunnah Wal jamaah. Propaganda yang dilakukan oleh cendekiawan
wahabi ialah dengan melakukan pendekatan pada masyarakat awam, setelah
terpedaya kemudian mereka mengeluarkan trik-trik baru yang justru lebih
berbahaya dampaknya, yaitu dengan menanamkan benih-benih permusuhan dan
rasa sentiment pada para ulama’ salaf dan golongan yang tidak sefaham
dengan mereka.
- Faham Ahmadiyah
Pendiri golongan ini bernama Mirza Ghulam Ahmad, ia dilahirkan didesa
Qodliyan Punjab Pakistan pada tahun 1836 M. dia tidak hanya mengaku
sebagai imam Mahdi yang ditunggu, Mujaddid dan juru selamat, tetapi
setelah ia berumur 54 tahun ia memproklamirkan diri sebagai nabi yang
paling akhir sesudah nabi Muhammad SAW dan benar-benar mendapatkan wahyu
dari Allah SWT. Poin-Poin faham Ahmadiyah yang menyimpang dari
Syari’at;
- Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi terakhir
- Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa yang dijanjikan.
- Syari’at Islam belum sempurna, dan disempurnakan Syari’at Mirza Ghulam Ahmad.
- Jaringan Islam Liberal
Belakangan ini gegap gempita pemikiran dan aliran yang muncul
dikalangan Islam di Indonesia begitu deras, sehingga berimplikasi pada
sebuah kebebasan yang seakan tak terbatas. Disana-sini bermunculan
aliran dan sekte-sekte, diantaranya adalah Jaringan Islam Liberal ( JIL
). Sebagai komunitas yang berslogan ” Menuju Islam yang ramah, toleran
dan membebaskan” JIL hadir layaknya sebuah alternatif yang begitu
intelektual dan cerdas. mereka begitu Ofensif sehingga berhasil
menciptakan jaringan dengan tidak kurang dari 51 koran dan membuat radio
68, yang beberapa acaranya dipancarluaskan oleh jaringan KBR 68 Hz
diseluruh Indonesia. Maka tak heran apabila pemikiran-pemikirannya
begitu kuat mempengaruhi ummat. Madzhab liberal merupakan aliran
pemikiran Islam Indonesia yang menekankan pada kebebasan berfikir dan
tidak lagi terikat dengan madzhab-madzhab pemikiran keagamaan (terutama
Islam) pada umumnya, melampaui batas-batas cara berpikir sektarian
organisasi dan politik. Bagi Madzhab liberal, yang paling penting adalah
perlunya tradisi kritis dan perlunya Dekonstruksi atas pemahaman lama
yang telah berkembang ratusan tahun. Islam seharusnya difahami secara
modern dan rasional, karena Islam merupakan agama yang rasional dan
mengutamakan rasionalitas yang dalam bentuk konkritnya berupa Ijtihad.
Islam harus dipahami secara kontekstual, progressif dan emansipatoris.
Dengan pemahaman seperti ini maka Islam akan mengalami kemajuan,
bukannya kemunduran.
Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal jamaah ala Nahdlatul Ulama
Dari beberapa fenomena pembaharuan ajaran Islam diatas, yang pada
kenyataan hidup masa kini diperselisihkan oleh umat Islam, sehingga
mereka berpecah-belah. Hal itu terbukti dengan tumbuhnya berbagai
kelompok (dakwah) kentemporer dan jamaah-jamaah yang berbeda-beda.
Masing-masing menyeru manusia (umat Islam) kepada golongannya; mengklaim
bahwa diri dan golongan merekalah yang paling baik dan benar,
sampai-sampai seorang muslim yang masih awam menjadi bingung, kepada
siapakah dia belajar Islam dan kepada jemaah mana dia harus ikut
bergabung. Bahkan seorang kafirpun yang ingin masuk ke dalam Islam ikut
terbawa bingung. Islam manakah yang benar yang harus didengar dan
dibacanya; yakni ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan As
Sunnah yang telah diterapkan dan tergambar dalam kehidupan para sahabat
Rasulullah yang mulia dan telah menjadi pedoman hidup sejak berabad-abad
yang lalu, namun justru ia hanya bisa melihat Islam sebagai sebuah nama
besar tanpa arti bagi dirinya.
Padahal sesungguhnya Allah telah mensyariatkan persatuan kepada
mereka dalam melaksanakan berbagai macam ibadah; seperti shalat, puasa,
menunaikan haji dan dalam mencari ilmu. Pun, Nabi Muhammad telah
memerintahkan kaum muslimin agar bersatu dan melarang mereka dari
perpecahan dan perselisihan. Bahkan beliau telah menyampaikan suatu
berita “prediksi” tentang akan terjadinya perpecahan pada umat ini
sebagaimana hal tersebut telah terjadi pada umat-umat sebelumnya,
sebagaimana sabda Beliau _ : “Sesungguhnya barangsiapa yang masih
hidup di antara kalian dia akan melihat banyak perselisihan, maka
berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur rasyidin
yang mendapat petunjuk setelah Aku” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud:
5/4607 dan tirmidzi: 5/2676 dan dia berkata hadits ini hasan shahih,
juga oleh Imam Ahmad: 4/ 126-127, dan Ibnu Majah : 1/ 43.)
Dan sabdanya pula: “Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh
puluh satu galongan, dan telah berpecah kaum Nashrani menjadi tujuh
puluh dua golongan, sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kamipun
bertanya siapakah yang satu itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab:
yaitu barangsiapa yang berada pada yang aku dan para shahabatku jalani
ini”.(Diriwayatkan oleh Tirmidzi: 5/ 2641, dan Al Hakim dalam
mustadraknya: 1/ 128-129, dan Al Ajuri dalam Asy Syari’ah : 16, dan Imam
Al Lalikaai dalam syarah ushul I’tiqaad Ahlis sunnah Wal jamaah: 1/
145-147).
Bahwasanya pengikut kelompok yang dimaksud Nabi adalah mereka yang
menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Mereka itu bisa dibedakan dari
kelompok lainnya dalam dua hal penting: pertama, berpegang teguhnya mereka terhadap Assunnah
sehingga mereka disebut sebagai pengikut Sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda
dengan kelompok-kelompok lain karena mereka berpegang teguh dengan
pendapat-pendapat, hawa nafsu, dan perkataan para pemimpinnya. Oleh
karena itu, kelompok-kelompok tersebut tidak dinisbatkan kepada Sunnah,
akan tetapi dinisbahkan kepada bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan
yang ada pada kelompok itu sendiri. Adapun perbedaan yang kedua adalah:
bahwasanya mereka itu Ahlul Jamaah karena kesepakatan
mereka untuk berpegang teguh dengan Al Haq dan jauhnya mereka dari
perpecahan. Berbeda dengan kelompok-kelompok lain, mereka tidak
bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al Haq akan tetapi mereka itu
hanya mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak ada kebenaran pada mereka
yang mampu menyatukan mereka.
Pemahaman ajaran dan manhaj Ahluussunnah wal jama’ah harus mendasari
keyakinan setiap muslim, sebab dengan ajaran dan manhaj inilah seorang
muslim insya Allah akan terjamin dari adzab neraka di akhirat kelak.
Dalam membentengi aqidah Ahlus Sunnah wal jamaah agar tetap
eksis dan menjadi panutan masyarakat, tentunya perlu diterapkan metode
yang jitu dan tidak terkesan radikal. Upaya penyampaian tentang
pentingnya mempertahankan aqidah ahli sunnah wal jamaah bisa ditempuh dengan berbagai macam cara, seperti memberikan pemahaman yang mendalam tentang hakikat aswaja
dan bahayanya mengikuti faham- faham sesat yang banyak bermunculan.
Banyak media yang bisa kita gunakan untuk menyampaikan nilai-nilai
Aswaja kepada masyarakat luas yang selama ini masih minim dipraktekkan,
sebab kurangnya rasa peduli dari para nahdliyin (orang NU). Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal jamaah.
Adapun prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal jamaah sebagaimana disampaikan Shaleh al Fauzan dalam buku Ushul aqidatul Ahlus Sunnah wal jamah, antara lain ;
Prinsip pertama: Rukun Iman; beriman kepada Allah, para
malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir
baik dan buruknya.
Prinsip kedua: bahwasanya iman itu berupa perkataan,
perbuatan, dan keyakinan yang bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa
berkurang dengan kemaksiatan,
Prinsip ketiga: tidak mengkafirkan seseorang dari kaum
muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan
keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain kemusyrikan dan tidak
ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir, misalnya meninggalkan
shalat karena malas, maka pelaku (dosa tersebut) tidak dihukumi kafir
akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna.
Prinsip keempat: wajib taat kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat maksiat.
Prinsip kelima: haramnya memberontak terhadap pimpinan kaum
muslimin apabila melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut
tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah
tentang wajibnya taat kepada mereka dalam hal-hal yang bukan maksiat dan
selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas.
Prinsip keenam: bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul,
Prinsip ketujuh: mencintai ahlul bait,
Prinsip kedelapan: membenarkan adanya karamah para wali,
yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian
mereka berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada
mereka,
Prinsip kesembilan: dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa
yang datang dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, baik secara lahir
maupun batin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat
dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti
Khulafaurrasyidin sampai pada para ulama’-ulama’ (sebagai taabi’in).
Dari kesembilan prinsip tersebut sudah menjadi keyakinan dan amaliah
warga NU yang membedakan dengan kelompok-kelompok lain. Berpijak pada
kondisi inilah, NU yang sejak awal berdirinya diberi mandat untuk
mengurusi umat, sudah sepantasnya di-orientasikan kembali pada
kerja-kerja sosial, seperti dakwah, pendidikan dan ekonomi (khidmat
Ummat). Titik lemah organisasi NU adalah karena banyaknya jemaah dan
besarnya organisasi sehingga tidak serius memperhatikan warga dan
asetnya. Ada beberapa hal mendasar yang harus segera diperbaiki dalam
tubuh NU;
Pertama, banyaknya kader NU yang lompat pagar. Biasanya
kader NU lompat pagar ketetangga (muhammadiyah), kini justru melompat
jauh menjadi kader PKS, Hizbut Tahrir, FPI dan organisasi Islam lainnya.
Hal ini karena tidak terawatnya kader akibat ruang publik yang tidak
mencukupi bagi kader potensial (penguatan dan kaderisasi tidak tergarap
maksimal).
Kedua, masjid sebagai simbol utama penguatan dan penyebaran
tradisi keagamaan NU mulai direbut kelompok lain. Masjid yang dulu
diurus ta’mir dari warga NU, kini mulai masuk kelompok radikal dan
mempengaruhi iklim keagamaan masjid. Warna keagamaan yang biasanya
menggunakan tradisi NU hilang seiring dengan perubahan pengurus masjid.
Ketiga, lembaga pendidikan NU yang kalah bersaing dengan
sekolah Islam terpadu, seperti SDIT, telah meminggirkan pesantren dan
madrasah. Berbekal manajemen modern, sarana yang memadai, dan penguasaan
mutu pendidikan, sekolah Islam terpadu mampu mengubah cara pandang
masyarakat muslim agar menyekolahkan anaknya kelembaga mereka.
Jika uraian diatas dimaknai sebagai usaha pemakluman atas kiprah NU
yang selama ini kurang menyenangkan ditengah publik, memang harus
diakui, Ya. Akan tetapi, lantas tidak berarti hanya dianggap apologi
buta sehingga apa yang dilakukan NU harus disadari dalam koridor
(0t0kritik) di atas sehingga harus tetap di-Apresiasi, terlepas dari
baik atau kurang baiknya.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !