Judul : Sejarah
Tuhan
Penulis : Karen
Armstrong
Penerbit : Mizan
Pustaka
Cetakan : I, 2011
Tebal : 673 halaman
Harga : Rp. 89.000
Peresensi : Abdul Aziz MMM
Telah banyak teori tentang asal usul
agama. Namun, tampaknya menciptakan Tuhan-tuhan telah sejak lama dilakukan oleh
umat manusia. Ketika satu ide keagamaan tidak lagi efektif, maka ia akan
diam-diam ditinggalkan dan digantikan oleh sebuah teologi baru. Seperti mengasosiasikan
dengan Tuhan langit, Tuhan bumi dan matahari menjadi pengalaman manusia tentang
tuhan.
Dalam era kita sekarang ini, banyak
orang akan mengatakan bahwa tuhan yang telah disembah berabad-abad oleh umat
manusia tampak sirna dari kehidupan bahkan dengan terang-terangan mengklaim bahwa
Tuhan telah mati.
Dalam pandangan Amsrtrong, salah satu alasan mengapa agama tampak
tidak relevan pada masa sekarang adalah karena banyak diantara umat manusia tidak
lagi memiliki rasa kepekaan bahwa kita dikelilingi oleh yang gaib. Akibatnya
manusia kehilangan kepekaan tentang yang “suci” atau “spiritual” seperti yang
melingkupi kehidupan masyarakat tradisional sebagai bagian esensial pengalaman
manusia tentang kehidupn dunia.
Secara alamiah, manusia ingin bersentuhan dengan realitas ini dan
memanfaatkannya, tetapi mereka juga ingin sekedar mengaguminya. Ketika orang
mulai mempersonalisasi kekuatan gaib dan menjadikannya sebagai tuhan-tuhan,
mengasosiasikannya dengan angin, matahari, laut, dan binatang, namun memiliki
karakteristik manusia. Mereka sebenarnya sedang mengekspresikan rasa kedekatan
dengan yang gaib itu dan dengan dunia di sekeliling mereka.
Rudolf Otto, ahli sejarah agama asal jerman, percaya bahwa rasa
tentang gaib ini adalah dasar dari agama. Kekuatan gaib dirasakan oleh manuisa
dalam cara yang berbeda-beda, terkadang ia menginspirasikan kegirangan liar,
ketenteraman mendalam, terkadang orang merasa kagum,sedih dan hina di hadapan
kehadiran kekuatan misterius yang melekat dalam aspek kehidupan.
Seperti halnya kisah-kisah simbolik, lukisan dan ukiran di gua
adalah usaha untuk mengungkapkan kekaguman manusia terhadap kehadiran kekuatan misteri
dan mitos dalam kehidupan mereka. Mitos-mitos ini bukan dipahami secara
harfiah, tetapi merupakan upaya metaforis untuk menggambarkan sebuah realitas
yang rumit untuk bisa diekspresikan dengan cara lain.
Di dunia kuno memang tampaknya manusia percaya bahwa hanya melalui
keterlibatan dalam kehidupan yang suci ini mereka bisa menjadi manusia yang
sesungguhnya. Dunia suci para dewa seperti yang sering diceritakan di dalam
mitos, bukanlah sekedar sebuah ideal yang kearah itu manusia harus menuju,
melainkan merupakan prototype eksistensi manusia. Itulah pola atau arketipe
orisinal yang menjadi model kehidupan kita di sini.
Segala sesuatu yang ada di bumi dipandang sebagai replika dari
semua yang ada di dunia ilahiah. Inilah persepsi yang membentuk mitologi, organisasi ritual, dan sosial kebanyakan kebudayaan unik dan
terus mempengaruhi lebih banyak masyarakat tradisional pada era sekarang ini.
Spiritualitas yang serupa ini telah menjadi ciri dunia Mesopotamia
kuno, di Lembah Tigris-Efrat, yang sekarang berada di wilayah pemerintahan
Irak, telah di huni sejak 4.000 SM oleh kelompok manusia yang dikenal sebagai
orang Sumeria. Mereka membangun menara-kuil dan mengembangkan mitologi yang
mengesankan. Tak lama kemudian kawasan itu diinvansi oleh orang Akkadian
Semitik, hingga 2.000 SM orang Amorit menaklukkan peradaban Sumeria-Akkadian
dan menjadikan Babilonia sebagai ibu kota mereka.
Sebagaimana masyarakat di dunia kuno lainnya, orang Babilonia
menisbahkan prestasi kebudayaan mereka kepada dewa-dewa yang telah mewahyukan
gaya hidup mereka sendiri kepada nenek moyang mitikal masyarakat Babilonia.
Babilonia dianggap sebagai gambaran surga, setiap candinya adalah kerajaan
langit.
Sedangkan di zaman modern sekarang ini, para teolog liberal
berusaha membuktikan apakah mungkin untuk beriman sekaligus menjadi bagian dari
dunia intelektual modern. Ketika merumuskan konsepsi baru tentang tuhan, mereka
berpaling ke disiplin ilmu lain; sains, psikologi, sosiologi, dan agama-agama
lain.
Perbedaan persepsi rupanya bukan hanya terjadi disebabkan perbedaan
agama secara formal belaka. Bahkan dalam satu tradisi agama yang sama pun,
kerap terjadi perbedaan dalam mempersepsikan tuhan.
Buku ini bukanlah tentang sejarah realitas tuhan yang suatu saat
dapat berubah disetiap zamannya, melainkan buku ini melacak jejak sejarah persepsi
dan pengalaman manusia tentang tuhan selama 4000 tahun sejak era Ibrahim hingga
kini. Gagasan manusia tentang tuhan memiliki sejarah yang mempunyai arti
berbeda bagi setiap kelompok manusia diberbagai periode waktu. Namun bisa saja
gagasan tentang tuhan tersebut menjadi tidak bermakna bagi generasi lain.
*)Peresensi:
Abdul Aziz MMM
Pengelola Renaisant Institute Tinggal di Yogyakarta
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !