Dimuat di majalah GATRA. 25 Januari 2012
Judul : Membumikan Tauhuid; Konsep Dan Implementasi Pendidikan Multikultural
Penulis : Muhammad Zaini
Penerbit : Pustaka Ilmu Yogyakarta
Cetakan : I, 2011
Tebal : xii+157 hlm
Peresensi : Abdul Aziz MMM
Keragaman umat manusia merupakan sunnatullah yang semestinya
mendorong terciptanya relasi antar manusia yang penuh pengertian dan pemahaman
satu sama lain. Namun ironisnya, perbedaan ras, etnis dan budaya seringkali
justru menyulut konflik yang berakibat jatuhnya korban kemanusiaan. Bahkan
kerap kali konflik itu berujung pada dendam berkepanjangan yang diwariskan
secara turun temurun. Dalam kondisi seperti ini, agama yang misinya adalah untuk
memperbaiki kehidupan umat manusia tidak jarang dianggap ikut memicu penyebab
terjadinya.
Dalam relitas konkrit kehidupan nyata, tampaknya sulit dibedakan
secara tegas antara unsur-unsur budaya disatu sisi dan nilai-nilai agama di sisi
lain. Keduanya menjadi tumpng tindih sehingga sulit menemukan jalan kompromi.
Indonesia sebagai bangsa yang multibudaya dan agama tentu diperlukan
alternasi-alternasi solutif untuk mengelola keragaman itu agar tidak berpotensi
konflik.
Melihat berbagai konflik sosial dan kekerasan yang terjadi
dimasyarakat akibat perbedaan pemahaman agama dan keragaman budaya, maka upaya
mencari pemecahan persoalan tentu pintu masuk yang paling strategis adalah melihat
kembali konsep pendidikan islam multikultural yang dipraktikkan selama ini.
Dalam konteks ini, pendidikan islam multikultural menemukan relevansinya.
Untuk mengukuhkan model pendidikan islam multikultural ini, dalam
pandangan Zaini penulis buku ini, diperlukan landasan teologis yang berakar
pada tradisi islam. Penegasan landasan teologis ini penting untuk menghindari
keterjebakan pada stigma “profanisasi” ajaran islam yang termanifestasi dalam
institusi pendidikan.
Sebab disadari atau tidak, multikulturalisme terkait langsung dengan
gelombang globalisasi yang mengalir begitu deras melanda peradaban umat manusia
dan tidak dapat dibendung. Di satu sisi globalisasi membawa efek positif berupa
hidup mudah, nyaman, indah, dan maju, tetapi disisi lain juga membawa dampak
negatif yang seringkali menimbulkan keresahan, penderitaan dan penyesatan.
Menurut Ismail Raji al-Faruqi dalam ajaran islam, ada satu ajaran
utama yang menjaadi embrio lahirnya peradaban islam, yaitu Tauhid. Konsepsi
ajaran tauhid inilah yang kemudian meniscayakan kemerdekaan dan kebebasan yang
menjadi citra budaya dan peradaban masyarakat, sehingga segala bentuk
penjajahan (kolonialisme), imperialisme, penindasan atau kesewenang-wenangan
penguasa atas penderitaan rakyat tidak dibenarkan dalam pandangan sistem budaya
islam.
Zaini menunjukan kajiannya
dalam buku ini bahwa bangunan pendidikan islam multikultural tidak boleh lepas
dari landasan teologis tauhid, ini supaya tidak terbawa arus dinamika
globalisasi yang cenderung bebas nilai. Lebih dari itu, konsepsi tauhid menjadi
tawaran prinsip etika atau sistem nilai bagi tumbuh kembangnya peradaban dan
kebudayaan yang terus bergerak maju seiring laju perkembangan zaman. Sebagai sistem
nilai, konsep tauhid dapat menjadi media filter atas penetrasi budaya lain dan
menerima proses adaptasi terhadap unsur peradaban dan kebudayaan luar.
Dalam tataran konsep dan implementasinya, tauhid semestinya selalu
hadir sebagai prinsip etika dan peradaban yang dapat menjadi elan vital sekaligus
sumber inspirasi bagi upaya pengembangan pendidikan multikultural yang
menjunjung tinggi nilai-nilai profetik-universal dan keseimbangan antara
aspek humanitas dan transenden.
Pendidikan multikultual, dengan segala implikasinya, dapat sedikit
mengubah wajah pendidikan bangsa Indonesia. Dengan menjadikan tauhid sebagai
landasan teologis dan etis pendidikan multikultural diharapkan dapat
menumbuhkan upaya menghargai pluralisme, humanisme, dan demokrsi bagi guru atau
dosen dan peserta didik, serta menjunjung tinggi moralitas, toleransi, dan
kepedulian humanistik yang tercermin dalam perilaku sehari-hari.
Oleh karena itu, pendekatan tauhid yang kemudian harus menyatu dengan
aspek budaya dan peradaban tidak berarti menghendaki penyeragaman paham yang
serba tunggal, tetapi bagaimana satuan elemen peradaban dan budaya dapat
berjalin secara integral, dan menjalin hubungan interkonektif, sehingga
elemen satu sama lain saling melengkapi untuk memujudkan kehidupan bersama demi
cita-cita terbentuknya peradaban utama.
*)Peresensi:
Abdul Aziz MMM
Pengelola Renaisant Institute Tinggal di Yogyakarta
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !