Dilansir di media online ANALISISNEWS.COM, Kamis, 29 Maret 2012
Judul Buku: Madilog: Materialisme, Dialektika dan Logika
Penulis: Tan Malaka
Penerbit: Narasi, Yogyakarta
Peresensi:
Abdul Aziz MMM
Telah banyak
studi dan karya pustaka tentang Tan Malaka. Bahkan tak sedikit pakar yang
secara sengaja mendedikasikan diri untuk mengkaji tuntas sosok “pejuang
pemikir” paling mistrius ini.
Rudolf Mrazek, menyebut Tan Malaka sebagai tokoh yang
komplit. Sementara sejumlah penulis nasional juga berhasil merekonstruksi
sejumlah aspek menonjol dari Tan Malaka. Seperti Zulhasril Nasir (buku Tan
Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau); Harry Prabowo (Tan Malaka, Teori dan
Praksis Menuju Republik), serta Matumona (Patjar Merah Indonesia). Dari semua
itu, nyaris tak ada keberatan dari pihak manapun jika kita meletakkan buku
Madilog sebagai magnum opus (karya besar).
Buku ini bukan menjadi panduan praktis serta tidak
mengibarkan perlawanan revolusioner secara konkret. Melainkan mengarah pada
totalitas, daya jelajah, kedalaman analisis, serta gaung yang masih menggema
hingga kini.
Sebagai sebuah pergumulan gagasan, buku ini juga berbasis
pada fakta-fakta sosiologis dan fenomena sosial politik yang berlangsung sejak
Indonesia Pra Hindu sampai era kolonialisme. Ditulis dengan perspektif akademik
yang kuat, meski pengakuan dari Tan Malaka ia hanya mengandalkan hafalan,
dengan metode “jembatan keledai” (membuat singkatan untuk istilah-istilah
kunci).
Ketika menulis buku ini, Tan Malaka diterpa suasana
kemiskinan dan menanggung resiko berat sebagai pelarian. Madilog dengan
demikian, menjadi alat pembongkaran atas hukum berpikir dan sistem kepercayaan
yang mengungkung manusia di Indonesia. Tak hanya mendekonstruksi melainkan
memberi alternatif pemikiran.
Menurut Tan Malaka, berkaca dari pengalaman berbagai
kegagalan perjuangan merebut kemerdekaan termasuk pemberontakan PKI tahun
1926-1927, cita-cita Indonesia merdeka tidak akan berahasil dan jauh dari
sasaran yang diinginkan, jika masa kaum proletar tidak mengganti hukum berpikir
dan sistem kepercayaan yang dianut.
Indonesia harus dibebaskan dari kungkungan alam pikir
yang irasional, mistik, takhayul, klenik, metafisik, dan supranatural. Tan
Malaka menyebutnya sebagai logika mistika. Supaya terkikis dari penyakit lemah
semangat dan lemah mental (halaman 26).
Madilog sebuah pergumulan gagasan Tan malaka tentang
cara berpikir berdasarkan materialisme, dialektika, dan logika dalam mencari
sebab akibat, dengan mengandalkan bukti yang cukup dan eksperimen yang sahih.
Sementara kepercayaan model logika mistika adalah segala faham (pemikiran) yang
tidak berdasarkan pada basis kebendaan (materi). Tidak berpatok pada kenyataan
atau dengan kata lain segala paham yang tidak berdasarkan bukti dan tidak bisa
dieksperimentasi.
Hukum berpikir seperti ini, menurut Tan Malaka, telah
mengakar dan berproses sangat jauh. Melalui tahap kepercayaan Indonesia asli
yaitu era Pra Hindu, kepercayaan Hindustan, kepercayaan Islam, dan kepercayaan
Tiongkok (lihat halaman 394).
Sementara logika adalah disiplin berpikir runut
sistematik melalui silogisme dan memiliki definisi yang jelas, yang paling
penting adalah bisa dieksperimentasi. Sedangkan materialisme adalah faham yang
berpijak pada bukti-bukti kebendaan. Dan dialektika adalah gerak, perubahan dan
dinamika. Sehingga dengan berpikir seperti itu, masyarakat akan sanggup
menafsirkan berbagai fenomena dengan ilmiah, dan menjadi solusi.
Menariknya, penjelajahan argumentsi Madilog begitu panjang
dan detil. Setiap bagian dari masing-masing materialisme, dialektika, dan
logika, mendapat eksplorasi tuntas. Termasuk akar-akar kemunculan prosedurnya, yang
secara jujur diakui oleh Tan Malaka ia pinjam dari Barat.
Telaah tuntas ini, termasuk membuka berbagai kelemahan
dan keterbatasan dalam menerapkan Madilog. Misalnya, dalam hal logika dan ilmu
bukti (sains), yang menurut Tan Malaka terbatas secara internal dan eksternal.
Keterbatasan internal adalah soal konteks ruang dan waktu, serta peralatan
untuk dipakai sebagai pengujian dan pembuktian. Sementara keterbatasan
eksternal adalah konteks sosial politik yang tengah berlangsung.
Oleh karena itu, wajar jika kemudian Tan Malaka tak
ingin menjadikan karyanya ini sebagai dogma. buku ini sangat layak untuk
kembali dikonsumsi kepada publik. Betapa kita menyaksikan di tengah kemajuan ilmu
dan teknologi, ternyata hukum berpikir bangsa ini belum bergerak jauh. Kita
melihat dan menggunakan kemajuan teknik hanya sebatas kulit. Sementara mindset tetap berbau mistis. Baik
dalam ranah budaya, ekonomi, dan bahkan politik.
*)Peresensi:
Abdul Aziz MMM
Penikmat buku di Yogyakarta
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !