Oleh: KH.Ahmad Mustofa Bisri
Seperti diketahui, sebelum kedatangan Islam, khususnya masyarakat Arab sangat terkenal dengan budaya pengelompokan kabilah, klan, suku, dengan tingkat fanatisme yang luar biasa. Masing-masing mereka tidak hanya suka membanggakan kelompok sendiri, tapi sering kali sambil merendahkan kelompok yang lain. Sedemikian fanatiknya masing-masing mereka terhadap kelompok sendiri, seolah-olah mereka punya ‘akidah’: Kelompok sendiri selalu benar dan harus dibela mati-matian sampai mati. Inilah yang disebut ‘Ashabiyah. Terjadinya banyak peperangan dan pertumpahan darah di antara mereka, umumnya diakibatkan oleh ‘ashabiyah atau fanatisme kelompok ini.
Persoalan
sepele bisa menjadi api penyulut peperangan besar apabila itu menyangkut
kehormatan atau kepentingan kelompok. Pertengkaran pribadi antar
kelompok dapat dengan cepat membakar emosi seluruh anggota masing-masing
kelompok oleh apa yang disebut-kecam nabi Muhammad s.a.w. dengan Da’wa
‘l-jahiliyyah, masing-masing pihak yang bertengkar memanggil-manggil
meminta bantuan kelompoknya. Dan pertengkaran pribadi pun menjadi
peperangan antar kelompok. Itulah salah satu ‘kegelapan’ Jahiliyah yang diperjuangkan Rasulullah s.a.w. untuk dikuakkan oleh cahaya Islam.
Nabi Muhammad s.a.w., Nabi Kasih sayang yang membawa agama kasih
sayang, memperkenalkan kehidupan kemanusiaan yang mulia. Nabi
mengingatkan bahwa seluruh manusia berasal dari bapak yang satu yaitu
Adam. Tak ada seorang atau sekelompok pun manusia yang lebih mulia dari
yang lain. Orang Arab tidak lebih mulia dari orang non Arab. Kulit putih
tidak lebih mulia dari kulit hitam. Yang termulia di antara mereka di
hadapan Allah adalah yang paling takwa kepadanya.
Mereka yang
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah
berarti dia telah masuk Islam dan disebut muslim. Dan muslim satu dengan
yang lain – menurut Nabi Muhammad s.a.w. – bersaudara; tidak boleh
saling menghina, tidak boleh saling menjengkelkan, tidak boleh saling
melukai. Masing-masing harus menjaga nyawa, kehormatan, dan harta
saudaranya. Muslim satu dengan yang lain ibarat satu tubuh atau satu
bangunan.
Demikianlah; panutan agung semua orang yang mengaku
muslim, Nabi Muhammad s.a.w., mempersaudarakan umat Islam di Madinah
antara mereka yang berasal dari suku-suku asli Madinah (Kelompok Ansor
dari suku Khazraj dan Aus) dan para pendatang dari Mekkah (Kelompok
Muhajirin dari berbagai suku) dan mengadakan perjanjian damai dengan
penduduk Madinah yang non muslim. Dan dengan demikian kedegilan
‘ashabiyah Jahiliyah yang selama ini berakar kuat pun sirna, digantikan
oleh kearifan akal budi kemanusiaan yang mulia.
Memang adakalanya
penyakit ‘ashabiyah itu nyaris muncul lagi, namun kebijaksanaan
Rasulullah s.a.w. segera menangkalnya sejak gejalanya yang paling dini;
seperti peristiwa yang terjadi setelah perang Bani Musthaliq pada tahun
kelima hijrah.
Waktu itu, seorang buruh yang bekerja pada shahabat Umar Ibn Khatthab (dari Muhajirin) berkelahi dan memukul seorang sobat suku Khazraj. Orang ini pun berteriak memanggil-manggil dan meminta bantuan kelompok Khazraj; sementara si buruh pun berteriak-teriak meminta bantuan kaum muhajirin. Hampir saja terjadi tawuran antara kedua kelompok itu. Untung, Rasulullah segera keluar, sabdanya : “Maa baalu da’waa ‘l-Jahiliyah?” (“Lho mengapa ada seruan model Jahiliyah?”). Ketika diberitahu duduk perkaranya, Rasulullah s.a.w. pun bersabda: “Tinggalkan perilaku Jahiliyah itu! Itu busuk baunya!” Rasulullah pun meleraikan mereka dengan adil. Dan malapetaka pun terhindarkan.
Fanatisme, terutama dalam pengertiannya yang ektrem, memang sering
menghilangkan penalaran sehat; sebab memang emosi yang lebih berkuasa.
Puncaknya – apabila emosi sudah sangat menguasai -- orang yang
bersangkutan pun tidak mampu lagi melihat dan mendengar, shummum bukmun
‘umyun. Itulah barangkali sebabnya, orang yang terlalu fanatik terhadap
kelompoknya, tidak bisa bersikap obyektif dan cenderung tidak bisa
diajak bicara oleh kelompok yang lain.
Di negeri kita yang bukan
Arab, khususnya di zaman pasca orde baru ini, penyakit semacam
‘ashabiyah Jahiliyah itu rupanya juga mulai mewabah. Bukan kelompok suku
dan agama saja yang difanatiki berlebihan, bahkan kelompok politik pun
sudah cenderung difanatiki melebihi agama. Lebih celaka lagi – agaknya
karena pemahaman soal politik dan demokrasi yang masih cingkrang di satu
pihak, dan pemahaman atau penghayatan agama yang dangkal di lain pihak –
fanatisme kelompok politik ini membawa-bawa agama. Maka campur-aduklah
antara kepentingan agama, kepentingan politik dan nafsu. Tidak jelas
lagi apakah kepentingan politik mendukung agama; atau agama mendukung
kepentingan politik; ataukah justru politik dan agama mendukung nafsu.
Bahkan banyak mubalig atau da’i – yang seharusnya meneruskan missi kasih
sayang Rasulullah s.a.w. – entah sadar atau tidak, justru lebih mirip
jurkam atau malah provokator yang tidak merasa risi mengeluarkan
kata-kata kotor yang sangat dibenci oleh Nabi mereka sendiri.
Itu
semua ditambah kita ini sejak zaman kerajaan; zaman penjajahan; zaman
orla; hingga zaman orba; tidak dididik untuk dapat berbeda, sebagai
pelajaran awal berdemokrasi. Malah didikan yang kita terima
terus-menerus adalah keharusan seragam. Akibatnya, ketika ‘euforia
demokrasi’ marak mengiringi tumbangnya rezim Soeharto yang otoriter,
orang hanya berpikir mendirikan partai tanpa sempat memikirkan kaitannya
partai dengan kehidupan berdemokrasi yang menuntut sikap menghargai
perbedaan. ‘Ashabiyah Jahiliyah pun menemukan bentuknya yang lebih busuk
bahkan di kalangan kaum beragama.
Kalau ini tidak cepat disadari
khususnya oleh para pemimpin, umumnya oleh para pendukung kelompok atau
partai, minimal mereka yang masih mengakui Allah sebagai Tuhan mereka
dan Sayyidina Muhammad s.a.w. sebagai nabi dan pemimpin agung mereka,
saya khawatir memang azablah yang sedang menimpa kita. Dan azab itu
hanya Allah yang kuasa menimpakan dan menghilangkannya. “Qul Hual
Qaadiru ‘alaa ‘an yab’atsa ‘alaikum ‘azaaban …” (Q.6: 65) “Katakanlah
(Muhammad,) ‘Dialah yang berkuasa mengirimkan azab dari atas kalian atau
dari bawah kaki kalian, atau Dia mengacaukan kalian dalam
kelompok-kelompok (fanatik yang saling bertentangan) dan mencicipkan
kepada sebahagian kalian keganasan sebahagian yang lain …’”
Mudah-mudahan Allah memberi hidayah kepada kita semua untuk kembali ke
jalanNya yang lurus, mengikuti jejak RasulNya yang berbudi dan mulia.
Amin.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !