Judul : Dari Kiai Kampung ke NU Miring (edisi revisi)
Penulis : Acep Zamzam Noor dkk.
Penerbit : Ar-Ruzz Media Yogyakarta
Tebal : 248 halaman
Tahun : I, 2011
Harga : Rp 35.000
Peresensi : Abdul Aziz MMM
Memperbincangkan organisasi keagamaan seperti NU, memiliki keunikan tersendiri. Sebab, selain memiliki kekayaan khazanah tradisi, nilai-nilai keagamaan dan pemikiran-pemikran anak muda NU yang tak mau kalah penting telah memberi warna tradisi intelektual di kalangan muda NU. Selain itu NU juga memiliki muatan-muatan lokal yang cukup kompleks.
Keberadaan NU
sebagai ormas keagamaan tentu tidak bisa lepas dari peran kiai dan santri yang
jumlahnya kurang lebih 40 persen dari jumlah umat Islam di Indonesia atau
sekitar 86 juta jiwa. Karena itu, NU tidak bisa dipungkiri adalah komoditas
politik dan ekonomi yang menggiurkan. Saking menggiurkan, NU dijadikan alat
untuk mengakomodir warganya dalam ajang percaturan politik perebutan kekuatan.
Dan kekuasaan di tubuh NU terjadi dari level teratas sampai tingkat terbawah,
baik dalam pilpres, pilkada, pileg, sampai pilkades. Bahkan, termasuk di dalam
Muktamar NU sendiri.
NU punya
sejarah panjang alam dunia politik, bahkan pernah menjadi partai politik sekian
lama. Namun, prestasi terbesar NU bukan dipanggung politik, melainkan NU harus tulus
berkarya nyata di tengah masyarakat. Situasi itulah ditanggapi Acep Zamzam Noor
melalui esainya, Kiai Kampung. Kiai kampung inilah yang seharusnya menopang
kehidupan NU, bukan menjadi pijakan politik yang dieluelukan perannya ketika menjelang
pemilu atau pilkada dan menjadi jurkam atau tim sukses calon bupati atau
walikota.
Seperti halnya dunia
sepak bola, kesebelasan NU terus berlatih tetapi kalah melulu jika bertanding.
Hal itu disebabkan karakter Nahdliyin yang sabar, ulet, tulus, lurus, tahan
banting, dan menghargai proses, tidak tampak sama sekali. Yang muncul justru
karakter-karakter umum seperti berebut jabatan, nepotisme tradisi atau bangga
walau hanya menjadi tim sukses suatu perhelatan politik.
Hasilnya
terlihat pada berbagai peristiwa politik nasional maupun local. Relasi kiai dan
santri pada saat para kiai terlibat dalam politik praktis. NU menyajikan
fenomena yang ironis. Jago-jago NU yang didukung para kiai tumbang
bergelimpangan. Melalui esainya, Mashuri melemparkan pertanyaan, benarkah kini
''patronase'' kiai-santri telah memasuki era senjakala?
NU sebagai
organisasi massa terbesar di Indonesia. Namun sayangnya, kondisi di dalam tubuh
NU tidak dalam kondisi “sehat” karena berbagai permasalahan. Permasalahan ini
seperti gunung, tidak nampak dari atas, namun sesungguhnya menggunung di dalam.
Hal inilah yang menggugah para Nahdliyyin masa kini tergerak untuk mencoba
melihat NU dari berbagai sisi.
Buku ini
merupakan hasil tulisan anak-anak muda yang punya pengalaman langsung dengan
pesantren, memiliki latar pendidikan formal, maupun pernah aktif dalam
organisasi NU. Berawal dari posting notes jejaring sosial dalam dunia
maya yang dipajang Binhad Nurrohmat berjudul Dari NU Miring ke Muktamar NU. Pada
akhirnya judul itu dielaborasi menjadi jdul buku ini, Dari Kiai Kampung
ke NU Miring.
Pada halaman
awal buku ini, akan disuguhi tentang Kiai kampung oleh Acep Zamzam Noor.
Menurutnya, Nahdlatul Ulama (NU) berbasis pesantren. Antara kiai, santri, dan
pondok tidak lepas akan unsur yang meliputi pesantren itu sendiri. Sebutan kiai
merupakan suatu pengakuan dari masyarakat bahwa mereka yang mencerahkan dalam
artian mendidik memberikan kontribusi, dan menunjukkan akan kiprah pada
masyarakat sekitar.
Penghormatan
terhadap kiai sebagai guru adalah kultur yang dijunjung tinggi dalam komunitas
pesantren. M. Faizi dalam NU Melampaui BlackBerry menuliskan bahwa dalam
tradisi NU, hampir semua transfer ilmu pengetahuan selalu diisyaratkan melalui
seorang guru. Hal itu yang mengakibatkan penghormatan kepada guru, kemudian
gurunya guru (simbah guru), lalu kakek guru (guru dari gurunya guru), begitu
seterusnya menjadi silsilah yang berjenjang.
Jejaring itu
bekerja sangat baik, bukan saja dalam relasi vertikal antara kiai dan santri,
melainkan juga membuat networking horizontal secara otomatis. Melalui koneksi
ini, setiap peristiwa atau pesan bisa tersampaikan, bahkan sebelum bertemu atau
berbicara dengan para pihak yang berkepentingan. Rahasia ''aneh'' di kalangan
NU yang disebut ''karomah'' itu bagaikan frekuensi dan gelombang tingkat
tinggi.
Buku ini akan
membuat pembaca trenyuh sekaligus tersenyum, getir sekaligus jatuh cinta pada
NU. Ibarat kulit bawang, mengupas lapis demi lapis membuat mata perih berair
tetapi tetap bisa menikmati kehangatannya. Sebab, tulisan ke-15 esais muda NU
ini bertumpu pada kekuatan pemikiran, pengamatan, teori, jauh dari syahwat
politik yang menggebu-ngebu, dan tentu merupakan olah rasa karena kecintaan
mereka yang sangat besar kepada NU.
*)Peresensi:
Abdul Aziz MMM
Pengelolah
Renaisant InstituteTiggal di Yogyakarta
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !