Judul : Satu Tuhan Banyak Agama; Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan Al-Jili
Penulis : Media Zainul Bahri
Penerbit : Mizan, Bandung
Tahun : I, Agustus 2011
Tebal : xvi 536 Halaman
Harga : Rp 89.000
Peresensi : Abdul Aziz MMM*)
Maraknya
kekerasan atas nama agama seringkali kita jumpai di berbagai daerah
baik konflik antar agama maupun konflik aliran yang berbeda meski
agamanya sama. Kita sebagai umat yang beragama jelas membutuhkan jalan
keluar alternatif. Paling tidak, mampu menjembatani dan menengahi
perseteruan konflik antar horizontal. Kalau melihat konteks kondisi
negeri ini yang begitu beragam macam budaya, etnis, ras, dan kepercayaan
agama, tentu sangat berpotensi terjadinya konflik internal agama
maupun dengan penganut agama lain.
Sikap yang seharusnya
kita munculkan terhadap perbedaan adalah toleransi antar sesama umat,
menghindari diskriminasi terutama terhadap umat minoritas, dan menjalin
hubungan yang harmonis. Meskipun agama itu berbeda, sebenarnya
memiliki titik persamaan, yakni menyembah terhadap Tuhan yang
sesungguhnya sama. Namun, pendapat seperti ini justru dianggap sesat
dan menghancurkan keyakinan atau akidah umat.
Persamaan
itulah yang kemudian di ranah transendental yang menyatukan
(penyembahan terhadap Tuhan). Dalam hal ini pluralisme agama berupaya
menjelaskan persamaan tersebut. Melalui buku yang bertajuk Satu Tuhan
Banyak Agama; Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan Al-Jili, karya
Media Zainul Bahri yang diangkat dari disertasi doktoralnya ini, sedikit
menilik pemahaman persoalan pluralisme agama atau wahdatul adyan
(kesatuan agama-agama) dalam tradisi pemikiran sufisme, terutama dari
tiga tokoh sufi besar dan ternama: Ibnu Arabi,Jalaluddin Rumi, dan
Al-Jili. Meski dari tiga sufi besar tersebut tidak menyebutkan
pluralisme agama atau wahdatul adyan. Namun, dari karya-karya mereka
tersirat buah pemikiran yang mengarah perihal pluralisme agama.
Jika
melihat dari pemikiran ketiga sufi tersebut, terdapat sebuah kesamaan
konsep mengenai kesatuan esensi ketuhanan, kesatuan makna, kesatuan
asal jalan/syariat dan kesatuan sumber kitab-kitab suci yang semua itu
merupakan bagian model esoterik. Kerena semua kesatuan berujung kepada
Tuhan sebagai realitas akherat, surga dan neraka.
Adapun
perbedaan bentuk-bentuk agama dengan kata lain pluralisme agama, ini
disebabkan tajalli (penampakan) Tuhan yang beragam. Sehingga,
perbedaan, keberagaman dan bahkan pertentangan di antara agama-agama
sesungguhnya terjadi karena interaksi antara tajalli Tuhan dengan respon
manusia. Dalam hal ini, tajalli bukan satu-satunya penyebab perbedaan,
karena faktor respon juga tak dapat diabaikan dalam memepertegas
perbedaan yang berdasar kapasitas dan pengetahuan.
Bagi
Ibnu ‘Arabi tentang perbedaan banyak hal di alam ini, berarti mesti
membincang konsep tajalli. Dalam arti pembahasan tajalli yang menjadi
sumber perbedaan banyak hal di semesta raya ini tak mungkin dihindari,
keduanya terkait erat. Konsep tajalli bahkan menjadi keseluruhan
bangunan pemikiran Ibnu ‘Arabi dan teorinya. Konsep ini bermula dari
pandangan bahwa Tuhan menciptakan alam agar dapat melihat diri-Nya dan
memperkenalkan diri-Nya melalui alam. Alam adalah cermin bagi Tuhan.
Melalui cermin itulah Dia mengenal dan memperkenalkan wajah-Nya. Maka
dalam pandangan Ibnu ‘Arabi Tuhan adalah “harta yang tersembunti” yang
tidak dapat dikenal kecuali melalui alam. (halm 45).
Pemikiran
Rumi tentang tajalli dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan Ibnu
‘Arabi. Bagi Rumi, Tuhan menampakkan diri-Nya pada ribuan cara dan
bentuk, serta selalu hadir di setiap saat pada ribuan cara yang berbeda
pula. Menurutnya, Tuhan pada level zat (esensi)-Nya tak mungkin dapat
dipersepsi oleh makhluk. Mungkin yang dapat dikenal adalah tajalli-Nya
dalam bentuk nama-nama dan sifat-Nya. Dalam perspektif Rumi Tuhan
memiliki dua sifat: kemurahhatian dan kemurkaan. Dengan demikian,
orang-orang yang beriman adalah bukti tajalli kemurahhatian-Nya, dan
orang yang kufur sebaliknya adalah tajalli dari murka-Nya. (halm 181).
Jika secara ontologism, ada orang yang membangkang terhadap seruan-Nya
sehingga menyebabkan murka-Nya dan hal itu berarti menunjukan
kesempurnaan-Nya, maka pluralitas agama yang beragam juga merupakan
kehendak-Nya.
Al-Jili, seperti dua sufi sebelumnya, juga
bicara tentang tajalli Tuhan. Ia juga disebut-sebut terpengaruh
pemikiran Ibnu Arabi. Menurutnya, alam semesta secara total adalah
hamba (abdi) Tuhan yang diciptakan-Nya dengan natur demikian. Karena
itu, tidak satu pun di alam semesta ini yang tidak mengabdi kepada
Tuhan. Keyakinan, ritus atau ibadah, dan model-model keberagamaan umat
manusia berbeda-beda, tak lain karena perbedaan pengaruh nama dan
sifat-sifat Tuhan pada makhluk sebagai wadah tajalli-Nya (hlm 258).
Pada
akhirnya, buku ini mengajak kita untuk melihat perbedaan agama secara
bijaksana sehingga menumbuhkan toleransi terhadap agama lain. Karena
pada hakikatnya, masing-masing agama menyembah Tuhan yang sama dengan
ekspresi atau ritus-ritus penyembahan terhadap Tuhan yang berbeda-beda.
Perbedaan itu hanya terletak pada sisi lahiriah (eksoteris), tapi
tidak pada sisi batiniah (esoteris). Di titik esoteris inilah semua
agama bertemu. Ini mestinya yang menjadi pegangan umat beragama dalam
melihat agama lain.
*)Peresensi: Abdul Aziz MMM, Sekjend Renaisant Institute Yogyakarta
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !