Judul: Kontroversi al-Quran Thomas Jefferson
Penulis: Denise A. Spellberg
Penerbit: Alvabet
Cetakan: I, April 2014
Tebal: 488 halaman
ISBN: 978-602-9193-46-6
Oleh: Abdul Aziz Musaihi MM
Pada 1765, sebelas tahun
menjelang deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (AS), Thomas Jefferson membeli sebuah
al-Quran. Rupanya, ini menandai awal dari minatnya yang panjang terhadap Islam.
Setelah itu, ia terus mencari sejumlah buku tentang bahasa, sejarah, dan
perkembangan Timur Tengah. Jefferson pun intensif memahami Islam meskipun hal
itu dinilai menghina keimanannya, sebuah sentimen umum yang berlaku di kalangan
Protestan kala itu di Inggris dan Amerika.
Tak disangka sejak 1776,
Jefferson telah membayangkan kaum Muslim hidup dan tinggal sebagai warga negara
Amerika di masa depan negerinya yang baru. Sebuah pandangan baru Jefferson yang
menyajikan rumusan traktat toleransi dan kebebasan beragama.
Buku karya Denise A.
Spellberg ini, menjadi bukti bahwa dulu para pendiri Amerika telah memiliki gagasan-gagasan toleransi
agama, terutama pandangan tentang agama Islam. Di tengah kekerasan antar sekte
Kristen di Eropa, beberapa penganut Kristen pada abad 16 menganggap Islam bukan
sebagai agama melainkan paham palsu yang dibawa oleh Muhammad.
Meski pendiri Amerika
sebagian besarnya adalah penganut Kristen protestan, namun ada segelintir
pemimpin yang punya pemikiran plural. Tak dimungkiri, banyak orang sekarang
akan merasa kaget gagasan tersebut muncul pada saat itu, namun telah banyak
bukti menguatkan hal itu, sebagaimana ditulis Denise dalam catatan pribadinya Jefferson;
“Tidak seorang pun dari kalangan Pagan maupun Muslim atau warga Yahudi boleh
dikecualikan dari hak-hak sipil persemakmuran karena agamanya.” Di sinilah catatan Jefferson upaya pertama
dalam negara baru tersebut untuk memikirkan hak-hak sipil Muslim maupun Yahudi.
Jefferson, karena pandangannya yang luas tentang kebebasan beragama dan
kesetaraan politik, mengalami serangan berulang kali sebagai "kafir".
Kata yang pada masanya berarti bukan sekadar tidak beriman, melainkan juga
seorang Muslim.
Kendati demikian, meskipun Jefferson gigih memperjuangkan kesamaan hak
sipil Muslim, dalam anggapan penulis, ia tak pernah tahu bahwa Muslim pertama
Amerika adalah para budak dari Afrika Barat. Mereka tidak memperoleh kebebasan
yang dikiranya berlaku universal. Pendiri negara Amerika itu mungkin saja
memiliki budak Muslim, meski tak ada bukti pasti tentang hal itu. Namun tak
diragukan lagi, bahwa Jefferson sejak awal membayangkan Muslim sebagai sesama
tetangga di masa depan negaranya, sebuah ramalan yang sudah dapat dipastikan
kebenarannya saat ini.
Selain Jefferson, ada
beberapa dari mereka yang andil dalam menyuarakan hak-hak muslim, yaitu para
pemrotes Presbiterian dan Baptis yang menentang penetapan agama resmi di
Virginia; pengacara Anglikan James Iredell dan Samuel Johnston di Carolina
Utara yang menuntut hak-hak muslim dalam konvensi ratifikasi konstitusi negara
bagian; dan John Leland, pengkhotbah Baptis Evangelis sekaligus sekutu Jefferson
dan Madison di Virginia yang mendukung kesetaraan muslim.
Ironisnya, hanya muslim
yang sampai sekarang tetap menjadi objek dari wacana penghinaan dan
marjinalisasi sipil, muslim masih dianggap di banyak wilayah sebagai sesuatu
yang tidak sepenuhnya khas Amerika.
Buku ini mengungkapkan
cerita penting yang sedikit diketahui tentang riwayat kebebasan agama di Amerika,
sebuah drama di mana Islam memainkan peran mengejutkan. Denise menceritakan
bagaimana para pendiri Amerika Serikat, terutama Jefferson, tertarik pada
ide-ide pencerahan perihal toleransi Muslim untuk menciptakan landasan praktis
pemerintahan Amerika yang tengah sengit diperdebatkan. Dalam hal ini, kaum
Muslim, yang kala itu bahkan tak diketahui eksistensinya di koloni itu, menjadi
batas imajinasi terjauh bagi pluralisme keagamaan Amerika, yang juga mencakup
kaum Yahudi dan Katolik sebagai minoritas sebenarnya.
Kini, selagi kecurigaan
Barat terhadap Islam terus hidup dan jumlah warga Muslim di Amerika kian tumbuh menjadi
jutaan, cerita Denise yang mengungkap gagasan revolusioner para pendiri Amerika menjadi sangat penting
diketahui. Di tengah menguatnya keyakinan tentang benturan peradaban antara
Islam dan Barat, buku ini menjadi bacaan yang tepat untuk merajut kembali
harapan akan perdamaian dunia.
*)Peresensi adalah Alumnus UIN
Yogyakarta
Penikmat Buku dan Pustakawan Mandiri
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !