Dimuat di Kabar Madura, 1 Desember 2014
Judul:
Takdir; Riwayat Pangeran Diponegoro
Penulis:
Peter Carey
Penerbit:
Kompas
Cetakan:
2014
Tebal:
xxxviii+434 Halaman
ISBN:
978-979-709-799-8
Oleh :
Abdul Aziz Musaihi MM
Peter Carey, sejarawan asal Inggris melakukan penelitian
tentang Pangeran Diponegoro dan latar belakang Perang Jawa selama kurang lebih
30 tahun. Waktu yang panjang ini telah melahirkan karya luar biasa. Ia menulis
biografi dan histografi Pangeran Diponegoro dari dua kesaksian sejarah, yaitu
laporan Residen Belanda dan Babad Diponegoro.
Di dalam Prakata buku ini,
Peter Carey mengkritik rakyat Indonesia yang kini hidup dalam kekosongan
historiografi. Mereka lebih akrab dengan budaya Barat dibanding warisan budaya
sendiri yang unik. Ungkapan Bung Karno “Jas Merah”, jangan sekali-kali
melupakan sejarah seharusnya menjadi sindiran tajam bagi anak bangsa Indonesia.
Buku biografi ringkas
Pangeran Diponegoro ini diharapkan paling tidak memenuhi dua tujuan penulis. Yakni
ingin meningkatkan kesadaran publik Indonesia tentang kehidupan dan pergolakan
masa Pangeran Diponegoro, serta menyediakan teks yang layak dan lengkap sebagai
rujukan sejarah Diponegoro di kalangan akademis. Sebab, riset tentang Pahlawan
Nasional Indonesia dinilai sangat kurang, terutama riset Perang Jawa atau
Perang Diponegoro ( Halaman xiii).
Dalam lembaran-lembaran
halaman, kita akan menemukan penggalian mendalam tentang sosok-sosok yang
berkaitan dengan kehidupan Diponegoro, seperti para Sultan Yogyakarta, Gubernur
Jenderal Kerajaan-Kerajaan Eropa di Indonesia, Residen Yogyakarta dan
lain-lain. Beberapa karya tulis serta korespondensi dan sosok yang berkaitan
dengan Diponegoro dalam Perang Jawa turut disertakan penulis di buku ini.
Pangeran Diponegoro, yang
diberi nama Bendoro Raden Mas Mustahar, lahir di Keraton Yogyakarta pada tanggal
11 November 1785. Setelah menginjak
dewasa tepatnya pada 3 September 1803 Kasultanan
Yogyakarta meresmikan nama Raden Ontowiryo sebagai nama ningrat Jawa di
kalangan keraton.
Ayah Diponegoro adalah
putra sulung Sultan Hamengku Buwono II dari permaisuri Ratu Kedaton yang
terkenal dengan kesalehannya menjalankan ajaran Islam. Kakek buyut Diponegoro adalah
Sultan Mangkubumi, pendiri Kesultanan Yogyakarta yang bergelar Hamengku Buwono
I bertakhta sejak 1749-1792. ( hlm.
3-4 ). Dari garis keturunan, Pangeran
Diponegoro berhak atas takhta Kerajaan, tapi ia memilih untuk menjadi wali atau
penasehat bagi keponakan-keponakannya yang diangkat menjadi Raja Hamengku
Buwono III hingga V.
Seberapa jauh pengaruh
ayah Diponegoro pada anaknya tidak dikeahui. Ini karena sejak usia tujuh tahun,
Diponegoro telah diboyong keluar dari wilayah Keraton Yogya oleh nenek
buyutnya, Ratu Ageng, untuk bermukim di daerah pedesaan Tegalrejo Magelang.
Ratu Ageng kemudian mendidiknya dengan menanamkan ajaran Islam,
mengenalkan pada kehidupan santri dan meneladankan kehidupan yang berbaur
dengan rakyat jelata. Seiring bertambahnya usia, Diponegoro mengembangkan
minatnya pada bidang pertanian, pengelolaan keuangan dan siasat perang.
Awal Perang Jawa
Perang Diponegoro
merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda
selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka
disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa. Setelah Belanda kalah dalam Perang
Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi
berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan kenaikan pajak di
wilayah jajahannya, yaitu Hindia Belanda.
Selain itu, mereka juga
melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan.
Pajak-pajak dan praktek monopoli amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu
sudah sangat menderita. Para petinggi Kasultanan merasa kecewa dan menentang kebijakan Belanda. Kondisi yang
terjadi membuat Diponegoro mengibarkan panji-panji pemberontakan Pada 21 Juli
1825, dan Perang Jawa pun dimulai selama lima tahun (hlm. 268-273).
Belanda yang mempunyai
alasan untuk menangkap Diponegoro karena dinilai telah memberontak, mengepung
kediaman beliau. Penangkapan Diponegoro hidup atau mati semakin di agresifkan
oleh Jenderal De Kock. Panglima perang Belanda ini, mengupayakan Sang Pangeran
menyerah dengan cara diplomasi. Siasat dijalankan yang membuatnya bersedia datang ke perundingan di Magelang pada 28 Maret
1830. Dan usai perundingan Diponegoro ditangkap Belanda.
Diponegoro bersama
keluarga dan beberapa pengikutnya diasingkan ke Manado untuk menjalani hukuman.
Tahun 1833, peperangan antar kerajaan di Eropa mulai berkecamuk dan berefek
hingga ke Hindia Belanda, membuat pemindahan lokasi penahanan Diponegoro ke
Fort Rotterdam di Makassar.
Kesalehan Diponegoro
terhadap Islam dan perlawanannya terhadap Belanda di Jawa
mendatangkan rasa hormat dari orang Makassar. Rasa hormat yang sama datang dari
Diponegoro kepada rakyat Makassar,
sehingga pada 1844 Diponegoro menolak tawaran Belanda untuk
memindahkannya ke daerah lain.
Pada 8 Januari 1855,
Pangeran Diponegoro wafat di Fort Rotterdam. Jenazah Sang Pangeran dikebumikan
di pemakaman umum Kampung Melayu di antara Jalan Andalas dan Jalan Irian
sekarang. Sebuah petak lahan dikhususkan bagi area pemakaman Pangeran
Diponegoro. Setelah Diponegoro wafat, istri dan anak-anaknya meminta pada Gubernur Celebes, Van der
Hart untuk tetap tinggal di Makassar agar tetap dekat dengan makam almarhum.
10 November 1973, Pangeran
Diponegoro resmi dinobatkan pemerintah Indonesia sebagai pahlawan nasional. Dan
penghargaan tertinggi diberikan oleh UNESCO pada 22 Juni 2013, menetapkan Babad
Diponegoro dimasukkan sebagai salah satu dari 299 naskah dari seluruh dunia
yang menjadi daftar kolektif dunia.
*)Peresensi adalah Alumnus
UIN Yogyakarta
Penikmat Buku dan Pustakawan Mandiri
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !