Dimuat di Harian Bhirawa 5 Desember 2014
Judul: Kepunyaan Allah Timur dan Barat
Penulis: Muh. Hadi Bashori
Penerbit: Quanta
Cetakan: I, 2014
Tebal: ix+209 halaman
ISBN: 978-602-02-3074-0
Oleh Fatmawati Ningsih S.Th.I
Kota Makkah
sering juga disebut Ummul Quro,
yang artinya induk dari desa-desa. Di sanalah salah satu peradaban manusia
bermula, merupakan suatu tempat di bumi yang mula-mula dikenal dan dihuni
manusia. Makkah adalah tempat yang berada di atas air, karena dibawahnya
terdapat sumber air terbesar bernama Zam-zam. Zam-zam itu yang menjadi awal
kehidupan manusia di Makkah, ketika Ismail bayi menghentakkan kakinya ke tanah, lalu keluarlah
sumber air.
Sumber air yang sangat luar biasa besar dan tiada henti ini kemudian
mengundang kabilah-kabilah lain di sekitar Jazirah Arab untuk datang. Maka kawasan Makkah pun berkembang dan Nabi Ibrahim, ayah Ismail
kemudian diperintahkan Allah untuk membangun kembali Kakbah. Itulah sejarah Ummul Quro, induk desa-desa, dan sejarah awal
berdirinya Kakbah yang paling populer.
Kakbah merupakan kiblat umat Islam yang terletak di dalam Masjidil Haram di
Makkah. Dalam lintasan sejarah, kiblat umat Islam pernah mengalami perubahan ke
arah Baitul Maqdis di Yerusalem setelah hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah,
sebelum akhirnya kembali menghadapkan kiblatnya ke Kakbah.
Ketika kewajiban shalat diturunkan kepada Nabi, untuk segenap umat Islam,
umat Islam kemudian diperintahkan melaksanakan ibadah shalat dengan menghadap
ke arah Baitul Maqdis. Akan tetapi setelah hijrahnya, Nabi berharap kepada Allah
untuk dapat mengalihkan kiblat shalatnya mengarah ke Masjidil Haram, keinginan
Nabi tersebut kemudian dijawab oleh Allah dengan turunnya surat Al-Baqarah ayat
142-145. Sedangkan perpindahan kiblat ini terjadi pada pertengahan bulan Rajab
tahun kedua Hijriyah.
(hal. 64).
Inilah sejarah perpindahan kiblat umat Islam dari Baitul Maqdis ke arah Kakbah. Pertama kali Rasulullah
melaksanakan shalat menghadap Kakbah adalah shalat asar berjamaah. Ketika itu
Nabi shalat berjamaah di masjid Bani Salamah, pada saat Nabi sedang dalam
kondisi rukuk ada wahyu turun yang memperintahkan untuk mengubah arah kiblat.
Seketika itu Nabi langsung berputar menghadap Kakbah di Masjidil Haram. Masjid
Bani Salamah inilah yang kemudian disebut Masjid Qiblatain (Masjid dengan dua
kiblat).
Setelah turunnya perintah berkiblat ke Kakbah, Nabi segera memberitahukan
hal itu kepada umatnya. Akan tetapi, pembritaan peralihan arah kiblat ini
menimbulkan reaksi dari sebagian kaum musyrik dan ahli kitab dengan memunculkan
keraguan dan menjustifikasi keluar dan menyimpang dari petunjuk. Mereka berkata,
“Apa yang telah memalingkan mereka dari kiblatnya yang dahulu dipegangnya?
Apa yang telah membuat mereka kadang-kadang berkiblat ke Baitul Maqdis dan
kadang-kadang berkiblat ke Kakbah?” untuk menjawab tuduhan kaum musyrik tersebut, Allah menurunkan surat
Al-Baqarah ayat 115, “Dan Kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana
pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (hal. 71-72).
Jawaban ini merupakan jawaban ringkas bahwa Allah itu maha besar. Ketaatan
dan ketakwaan bukanlah sebatas formalitas untuk menghadapkan wajah hambanya ke
timur atau ke barat, melainkan ketaatan dan ketakwaan seorang hamba atas segala
perintah-Nya dan benar-benar mengabdi kepada-Nya.
Menghadap ke arah kiblat adalah wujud ketaatan atas perintah Allah.
Sedangkan perpindahan arah kiblat itu sendiri bukanlah menjadikan arah Baitul
Maqdis maupun Kakbah sebagai tujuan, melainkan wujud berserah diri seorang
hamba atas perintah tuhannya. Seandainya Allah tidak memerintahkan hal demikian, tentu tidak akan dilakukan oleh
sang hamba.
Ada beberapa pertanyaan ketika seorang muslim yang beriman dan tidak
menyekutukan Allah dengan benda apa pun ditentang oleh non-muslim. Pertentangan
ini disebabkan seorang muslim yang menolak menyembah berhala, namun saat shalat
justru menyembah sebuah rumah batu berbentuk kotak yang disebut Kakbah.
Sedangkan non-muslim menjadikan ini sebagai hujatan bahwa umat Islam dalam
beribadah ternyata menyembah kepada berhala Kakbah.
Dr. Zakir Naiek, seorang ulama terkenal dari India mengatakan bahwa menghadap ke arah Kakbah bukanlah menyembah
berhala, melainkan Kakbah hanyalah simbol pemersatu umat Islam dalam menghadap
kepada Allah di setiap menjalankan rutinitas ibadah mereka. Kakbah bukan
berhala yang disakralkan, karena Umar bin Khattab sendiri pernah mengatakan
bahwa Hajar Aswad yang terdapat dalam Kakbah hanyalah sebongkah batu yang tidak
dapat memberikan syafaat dan madharat. Sebagaimana kata Umar,
“Seandainya aku tidak melihat Rasulullah mencium Hajar Aswad, aku tidak akan
menciumnya.” Umar menciumnya hanya karena ketaatan serta teladan yang diberikan
oleh Nabi. (hal. 89).
Di zaman Rasulullah, Kakbah digunakan untuk berdiri ketika hendak
mengumandangkan azan. Ini menunjukkan bahwa Kakbah bukan berhala yang memang
dijadikan sebagai Tuhan dan disakralkan. Sedangkan berdiri di atas berhala
“yang dijadikan Tuhan” tentu hal yang terlarang bagi para penyembah berhala.
*)Peresensi Penulis Lepas,
Alumnus IAIN Walisongo
Semarang
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !