Dimuat di Koran Madura 28 November 2014
Judul Buku: Syekh Mutamakkin, Perlawanan Kultural Agama Rakyat
Judul Buku: Syekh Mutamakkin, Perlawanan Kultural Agama Rakyat
Penulis:
Zainul Milal Bizawie
Penerbit:
Pustaka Compass, Tangerang
Cetakan : I, Mei 2014
Tebal: xxxvi + 324
halaman
Oleh : Abdul Aziz Musaihi MM
Mayoritas umat Islam di
Indonesia mungkin kurang mengenal nama Syekh Mutamakkin. Namun demikian, khususnya
di wilayah
pesisir utara Jawa Tengah, nama tokoh yang hidup di tahun 1645-1740 ini begitu lekat dengan
kehidupan masyarakat. Tidak banyak dokumen sejarah yang menceritakan Syekh Mutamakkin, hanya Serat
Cebolek satu-satunya sumber. Namanya tidak disebut dalam sumber-sumber lain
yang ditulis pada abad ke-18, tidak juga sumber VOC. Sehingga harus bersandar sepenuhnya pada Serat Cebolek dan sejarah lokal seperti yang dituturkan masyarakat
setempat.
Syekh Mutamakkin merupakan seorang ulama sufi yang hidup pada
masa kerajaan Kartasura era Sunan Amangkurat IV dan Pakubuwono II di abad 17. Syekh Mutamakkin disebut sebagai
penganut tasawuf. Sebuah kehidupan kaum sufi yang memiliki pandangan berbeda
dengan pandangan umumnya. Ia sering dikaitkan dengan cerita lain yang terkenal
pada awal perkembangan Islam di Jawa, yaitu Syekh Siti Jenar, Ki Ageng
Pengging, dan Sunan Panggung. Mereka adalah tokoh-tokoh kontroversial yang mewakili Islam
pengembang tasawuf falsafi, dan mereka berhadapan dengan para ulama syariah yang mewakili Islam
pengembang tasawuf sunni yang memvonis mereka sebagai orang sesat. (hlm. 130).
Ajaran Syekh Mutamakkin menjadi tema
sentral dalam Serat Cebolek. Dalam Serat Cebolek
disebutkan, Syekh Mutamakkin seorang ulama kampung yang berseteru dengan Katib Anom ulama
birokrat Keraton. Ia dianggap telah mengajarkan ilmu hakikat (tasawuf) kepada
masyarakat setempat, ajaran yang dianggap sesat
oleh para ulama. Ajaran Syekh Mutamakkin ini kemudian dilaporkan pada pihak Kerajaan
Kartasura. Pengadilan pun dilakukan atas diri Mutamakkin yang dituduh sebagai penyebar
paham sesat dan bertentangan dengan keraton.
Peran Syekh Mutamakkin yang melawan kekuasaan keraton dalam
mempertahankan ajarannya sebagaimana disebutkan dalam Serat Cebolek, justru
bertolak belakang dengan Teks Kajen. Dalam teks Kajen Syekh Mutamakkin
digambarkan sebagai seorang pahlawan yang berani menentang pandangan keraton.
Bahkan, dalam teks ini Syekh Mutamakkin dipandang sebagai pihak yang benar. (hlm. 132).
Buku hasil riset yang dilakukan oleh Zainul Milal Bizawie
ini, berusaha untuk meng-counter atas
pendapat sementara di kalangan sejarawan dan intelektual yang
memetakan sosok Syekh Mutamakkin dalam kategori seorang pembangkang syariah dan
pembangkang negara (keraton). (hlm. 158). Dengan berbekal sumber-sumber yang
seimbang, Milal Bizawie berpijak pada Serat Cebolek versi keraton dan Teks Kajen yang dilengkapi dengan naskah kitab ‘Arsyul
Muwahhidin karya Syekh Mutamakkin, untuk memberikan gambaran yang jelas
tentang kehidupan dan pemikiran Syekh Mutamakkin dari berbagai sisi.
Penggambaran Syekh Mutamakkin dalam Serat Cebolek sangat
dipengaruhi oleh politik penguasa untuk mempertahankan pengaruh di tengah
berkembangnya tasawuf falsafi. Inilah pemahaman yang cenderung melihat
ulama-ulama sufi sebagai pembangkang dalam struktur kekuasaan raja. Citra
sejarah ini yang ingin dijernihkan oleh Milal Bizawie dalam bukunya.
Seperti yang tertulis dalam Serat Cebolek, Mutamakkin
yang hidup di wilayah pesisir utara tepatnya di Kajen
Pati Jawa Tengah, telah mengajarkan ilmu hakikat kepada khalayak
umum. Ia telah menyimpang dari syariat
dan telah dianggap membangkang kepada keraton.
Dengan inisiatif Katib Anom, ia diadukan kepada Raja agar ajaran Mutamakkin dilarang dan ia
dihukum mati.
Menurut Milal, Kandungan kisah Serat Cebolek memang
banyak mendiskretditkan Syekh Mutamakkin. Keberadaan
Mutamakkin yang mendapatkan posisi di hati masyarakat dan didukung dengan garis
keturunan serta dalamnya ilmu, menjadikan pihak keraton dan ulama-ulama yang
berafiliasi dengan penguasa merasa khawatir.
Hasil
penelaah Milal, dalam Serat Cebolek tidak disebutkan
secara detail siapa sebenarnya Syekh Mutamakkin. Hal ini
dapat diasumsikan bahwa pengarang Serat Cebolek menyembunyikan identitas Mutamakkin, karena jika ditulis akan menyebabkan
persepsi pembaca bahwa kasus ini lebih cenderung politis. Asumsi ini diperkuat
dengan proses persidangan yang mana sang Raja tidak pernah secara
langsung menghadiri proses persidangan Mutamakkin.
Berbeda dengan Teks Kajen yang dengan gamblang
memaparkan proses pertemuan antara Syekh Mutamakkin dengan sang Raja. Dari pertemuan
tersebut menunjukan bahwa Raja ingin mengetahui langsung ajaran Mutamakkin.
Akan tetapi, menurut analisis Milal, Teks Kajen mempunyai beberapa
kelemahan mengenai validitasnya. Pertama, Teks Kajen berawal dari cerita
tutur yang disampaikan secara turun temurun dan terkesan sebuah mitos. Kedua,
masa penulisan Teks Kajen selang jauh sekitar hampir tiga abad kemudian. Ketiga,
bisa jadi penulisannya merupakan duplikasi dari sebagian Serat Cebolek yang telah
dimodifikasi untuk kepentingan lokal.
Meskipun demikian,
masyarakat kajen tetap meyakini akan otentitas dan keterjagaan penuturan para
pendahulunya. Sampai sekarang, mereka meyakini seorang Ahmad Mutamakkin sebagai
ulama besar bahkan waliyullah.
*)Peresensi:
Abdul Aziz Musaihi MM
Alumni UIN
Yogyakarta
Penikmat Buku dan Pustakawan Mandiri
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !