Penulis : Mochammad Ali Shodiqin
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I, 2014
Tebal : xxii + 309 halaman
ISBN : 978-602-1306-01-1
Peresensi : Abdul Aziz Musaihi MM
Tembok Berlin
yang selama ini memisahkan Muhammadiyah dan NU membuat jarak yang cukup lebar.
Tembok ini sejatinya bukanlah masalah yang besar, hanya saja tembok yang
dimaksud adalah khilafiyyah pada masalah furu’ yang sering menjadi
kambing hitam persoalan dalam masyarakat muslim Indonesia. Sehingga pada
kondisi-kondisi tertentu
kedua ormas tersebut nampak sulit untuk mencapai kata bersatu.
Dengan
dihadirkannya buku “Muhammadiyah itu NU: Dokumen
Fiqih yang Terlupakan”, akan menjali
langkah awal merajut
pesatuan dua ormas besar dengan berpijak pada kesamaan kitab fiqih. Buku ini mengungkap
kitab Fiqih Muhammadiyah terbitan 1924 karya
Kiai Ahmad Dahlan yang
sempat tersimpan bertahun-tahun.
Bermula ketika
penulis mendapatkan kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 dari tokoh Muhammadiyah di
Yogyakarta.
Kemudian ia merasa
terpanggil untuk menyampaikan sejarah tersebut, lalu berinisiatif untuk
menerbitkannya menjadi sebuah buku.
Awalnya, penulis dilanda rasa dilema, antara dibuka atau
tidak kitab penting ini. Kitab Fiqih Muhammadiyah yang diterbitkan bagian Taman
Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1924 itu seolah membeku di peti es.
Membaca kitab itu serasa dihujani jarum dan menulis ulang kitab itu serasa
tertusuk sembilu.
Pasalnya,
penulis sendiri adalah kader Muhammadiyah. Sehingga hadirnya buku ini
benar-benar suara dari dalam Muhammadiyah sendiri, bukan intervensi atau
kepentingan dari pihak-pihak tertentu. Karena keinginan penulis untuk
menyampaikan kebenaran sejarah demi menyatukan umat, maka semua dilema itu
raib ditelan ombak. Adalah Mochammad Ali Shodiqin, penulis buku ini yang
mencoba membuka kembali dokumen penting Fiqih Muhammadiyah.
Kitab Fiqih
Muhammadiyah 1924 yang aslinya ditulis dengan bahasa jawa dan huruf arab pegon, itu menjadi sumber
rujukan Muhammadiyah dalam melakukan aktifitas ibadahnya. Dan ternyata,
amaliyah warga Muhammadiyah di awal berdirinya sama persis dengan praktek
amaliyah warga NU,
yaitu menganut mazdhab Fiqih
Syafi’i yang sama dengan NU.
(hlm.
2)
Muhammadiyah
adalah gerakan dakwah, yang menyampaikan
ajaran Islam yang sudah ada kala itu di Kesultanan Yogyakarta yang menganut
mazhab Syafi’i, bukan berdakwah dengan ajarannya sendiri dari nol (hlm. 12). Pertanyaan mengapa Muhammadiyah
bisa berubah? Padahal Kiai Dahlan sendiri mendapakan ilmunya sama dengan kiai-kiai NU
yang menimba ilmu dari ulama-ulama, yaitu Satu guru satu ilmu.
Dalam buku ini
dijelaskan bahwa setelah meninggalnya Kiai Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammmadiyah
pada tahun 1912, generasi Muhammadiyah pada beberapa masa selanjutnya tercampur
dengan paham Wahabi,
imbas dari kebijakan-kebijakan pemerintahan Ibnu Saud di negeri Arab Saudi pada saat itu (hlm. 15). Pada tahun 1926 NU lahir untuk merespon
pemerintahan Saudi yang
membawa paham Wahabi tersebut.
Namun
beruntunglah masih ada KH. Mansur dalam tubuh Muhammadiyah. Berkat jasa beliau
yang mendirikan Majelis Tarjih pada tahun 1927, Muhammadiyah tidak terseret ke dalam arus deras paham Wahabi.
Sepanjang pendiriannya tahun 1912 hingga 1967, mazdhab Syafi’i masih diamalkan walaupun semakin sedikit.
Mazdhab
ini baru dihilangkan semasa Orde Baru berkuasa, yang ditandai dengan dihapusnya
qunut
melalui putusan Muktamar Tarjih
1972 di Pekalongan.
Tidak dimuatnya qunut ini dimaksudkan untuk menghilangkan keraguan. Seiring hilangnya
keraguan dan adanya keyakinan umat serta kebiasaan shalat subuh tanpa qunut
maka terhapus pula sejarah bahwa di masa lalu Muhammadiyah pernah melaksanakan
qunut sebagaimana qunutnya umat Islam lain (hlm. 119).
Dengan
demikian, Muhammadiyah telah mengorbit di lintasan terjauh dari pendirinya
yaitu Kiai Dahlan. Hilangnya jejak-jejak amalan khas NU dalam keseharian
Muhammadiyah. Slogan Islam tanpa mazhab
benar-benar berhasil dibuktikan dan dipandang sebagai prestasi. Sebaliknya,
bagi kebanyakan warga NU merasa telah kehilangan saudara tuanya. Mereka semakin
sulit mencari alim ulama di dalam Muhammadiyah.
Sejak
Muhammadiyah didirikan pada 1912 hingga kini,
ormas tersebut mengalami
perkembangan sekaligus perubahan, khususnya dari corak Fiqih Muhammadiyah. Dalam
perjalanannya, Fiqih Muhammadiyah mengalami metamorfosis dari masa ke masa. Setidaknya
dapat dibagi dalam beberapa masa, yakni Masa Syafi’i (1912-1925), Masa Pembauran
Syafi’i-Wahabi (1925-1967), Masa Himpunan Putusan Tarjih atau HPT (1967-1995) dan masa
pembauran HPT-Globalisasi (1995-hingga kini). (hlm. 31).
Banyak
fakta menarik lain dalam buku setebal 309 halaman ini. Harapan besar dari
terbitnya buku ini adalah terciptanya persatuan umat Islam. Jika Muhammadiyah
dan NU yang merupakan ormas Islam terbesar dan tertua di nusantara bisa
bersatu, maka akan menjadi teladan persatuan ormas-ormas yang berdiri belakangan.
*)Peresensi:
Abdul Aziz Musaihi MM
Alumnus UIN
Yogyakarta,
Penikmat Buku dan Pustakawan Mandiri
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !