Dilansir di media online Website Gerakan Pemuda Ansor senin, 23 Oktober 2011 
Judul Novel : Sejuta Hati
Untuk Gus Dur, Sebuah Novel dan Memorial
Penulis : Damien Dematra
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2010
Tebal : 426 halaman
Penulis : Damien Dematra
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2010
Tebal : 426 halaman
Peresensi :
Abdul Aziz MMM*
 Pada
 saat pemakaman almarhum Gus Dur, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono 
(31/12/2009) mengatakan bahwa, Gus Dur sebagai tokoh beragama Islam 
telah memberikan inspirasi besar bagi bangsa Indonesia. Pemikiran Gus 
Dur mengenai keadilan keadamaian dan toleransi sangat dihormati oleh 
bangsa Indonesia, bahkan seluruh dunia. Gus Dur telah mengajarkan 
kemajemukan. Gus Dur menurut SBY, adalah Bapak Pluralisme dan 
Multikulturalisme.  Gus Dur menyadarkan sekaligus melembagakan 
penghormatan kepada kemajemukan ide dan identitas yang bersumber dari 
perbedaan agama, kepercayaan, etnik, dan kedaerahan.
Kepergian
 Gus Dur yang begitu cepat sungguh mengejutkan bukan hanya masyarakat 
Indonesia, tapi juga dunia internasional. Doa senantiasa menggema di 
jagat republik ini, termasuk dalam pesta malam Tahun Baru 2010 yang lalu
 dan klimaksnya saat tahlilan ketujuh hari baik di Tebuireng Jombang 
Jawa Timur dan Ciganjur Jakarta Selatan, belum lagi 40 harinya. Lautan 
manusia Muslim dan non-Muslim bersatu berkumpul untuk mendoakan guru 
bangsa, pembela minoritas dan waliyullah menurut masyarakat NU.
Banyak
 julukan diberikan kepada Gus Dur, tetapi mayoritas orang menyebutnya 
adalah guru bangsa. Karena ia mengabdikan dirinya demi bangsa. Bangsa 
yang tetap menjiwai dan dijiwai keanekaragaman. Itulah integritas yang 
dipertahankan dengan seutuhnya dalam seluruh kehidupannya. Itu terwujud 
dalam pikiran dan tindakannya hampir dalam semua dimensi eksistensinya.
Dalam
 komitmennya yang penuh terhadap Indonesia yang plural, Gus Dur muncul 
sebagai tokoh yang sarat kontroversi. Dia lahir dan besar di tengah 
suasana keislaman tradisional yang mewataki NU, tetapi di kepalanya 
berkobar pikiran modern. Bahkan dia dituduh terlalu liberal dalam 
pikiran tentang keagamaan.
Karier
 yang dianggap paling kontroversi dalam kapasitasnya sebagai seorang 
tokoh agama sekaligus ketua umum PBNU dan mengundang cibiran adalah 
ketika menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahunn 1983. Ia 
juga menjadi ketua juri dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1986 
dan 1987.
Pada tahun 1984 Gus Dur dipilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahl hall wa al-’aqdi
 yang diketuai KH As’ad Syamsul Arifin untuk menduduki jabatan Ketua 
Umum PBNU pada Muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali 
dikukuhkan pada Muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak Yogyakarta (1989), 
dan muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Jabatan Ketua Umum PBNU 
kemudian dilepas ketika Gus Dur menjabat presiden RI ke-4 dalam sebuah 
drama demokrasi tahun 1999 yang dipilih langsung oleh anggota DPR/MPR 
RI.
Meskipun sudah menjadi presiden, ke-nyleneh-an
 Gus Dur tidak hilang, bahkan semakin diketahui oleh seluruh lapisan 
masyarakat. Dahulu, mungkin hanya masyarakat tertentu, khususnya 
kalangan nahdliyin yang merasakan kontroversi gagasannya. Sekarang 
seluruh bangsa Indonesia ikut memikirkan kontroversi gagasan yang 
dilontarkan oleh Gus Dur, ”gitu aja koq repot.”
Di
 sisi yang lain, catatan perjalanan karier Gus Dur adalah membentuk dan 
menjadi ketua Forum Demokrasi (Fordem) untuk masa bakti 1991-1999, 
dengan sejumlah anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, khususnya 
kalangan nasionalis dan non-Muslim. Sebagai tokoh agama (NU), Gus Dur 
justru menolak masuk dalam organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim 
Indonesia (ICMI) yang dibentuk atas kehendak Presiden Soeharto. Tidak 
hanya menolak, Gus Dur bahkan menuduh organisai kaum ‘elit Islam’ 
tersebut dengan organisasi sektarian.
Gus
 Dur juga memperlakukan kelompok-kelompok minoritas, terutama mereka 
yang tertindas, sebagai warga negara yang mempunyai hak sama di depan 
hukum. Tatkala menjadi Presiden ke-4 RI, Gus Dur juga memulihkan hak 
politik etnis Tionghoa. Gus Dur selalu menegaskan bahwa kelompok 
minoritas mempunyai hak sipil-politik ataupun hak ekonomi, sosial, dan 
budaya yang sama dengan hak-hak kelompok ”pribumi”. Eksistensi mereka 
dilindungi oleh konstitusi. Dalam hal ini, pemikiran tentang pluralisme 
sejalan dengan spirit demokrasi, bahkan makin memperkukuh. Keduanya 
tidak bertentangan, bahkan saling menguatkan dan melengkapi.
Gus
 Dur ingin membangun Indonesia baru yang damai tanpa prasangka dan bebas
 dari kebencian. Untuk itu, masa lalu yang kejam, kelam, serta tidak 
toleran harus diputus. Partisipasi masyarakat mesti dibangun, yang lemah
 tidak ditinggalkan. Dengan kesetiakawanan yang luas dan menyeluruh itu 
kita baru bisa membangun Indonesia yang kuat. Untuk itu Gus Dur tidak 
keberatan untuk meminta maaf kepada korban 1965 yang diserang oleh 
Banser NU. Meskipun Gus Dur mengatakan bahwa ia juga memiliki kerabat 
yang terbunuh dalam peristiwa Madiun 1948. Namun, balas dendam itu tidak
 ada gunanya dilanjutkan. Kita tidak akan mampu mewujudkan rekonsiliasi 
tanpa menghilangkan stigma atau kecurigaan terhadap suatu kelompok. 
Novel bertajuk, “Sejuta Hati Untuk Gus Dur”
 adalah karya kreatif Damien Dematra, seorang novelis, sutradara dan 
pelukis yang diadapatasi dari skenario film Gus Dur: The More, yang 
awalnya direncanakan akan diputar di bioskop-bioskop Indonesia untuk 
menyambut ulang tahun Gus Dur yang ke-70 pada bulan Agustus 2010. Namun 
berpulangnya sang tokoh pluralisme pada Sang Pencipta sangat mengejutkan
 semua pihak. Sehingga Damien, penulis novel, langsung banting setir dan
 spontan untuk menyelesaikan novel ini dalam waktu yang sangat singkat 
yaitu tiga hari tiga malam.
Dalam
 novel ini, Damien mengajak pembaca untuk menyelami kehidupan seorang 
Gus Dur dari sebelum kelahirannya hingga akhir hayatnya. Juga sebuah 
kisah kehidupan anak manusia yang sungguh besar jasanya bagi bangsa dan 
kemanusiaan. Sungguh sulit menemukan tokoh seperti Gus Dur di Indonesia 
dalam 100 tahun mendatang. Menariknya lagi, novel ini dilengkapi dengan 
wawancara esklusif dengan Ibu Shinta Nuriyah Wahid beserta putri-putri 
Gus Dur.
Tidaklah
 berlebihan, Ahmad Syafii Ma’arif (Mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah) 
mengomentari Gus Dur dalam novel ini, ”Abdurrahman Wahid telah berangkat
 menghadap penciptanya untuk waktu tak terbatas. Bangsa ini telah 
kehilangan pahlawan humanis yang tidak mudah dicari penggantinya. Dengan
 novel ini, kenangan manis terhadap sahabat kita ini akan terus hidup 
dan segar dalam lipatan kurun yang panjang.”



0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !