Dilansir di media NU ONLINE, 20 Februari 2012
Judul Buku : Biografi Imam Syafi’i: Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Mujtahid
Penulis : Dr.
Tariq Suwaidan
Penerbit : Zaman, Jakarta
Tahun : I, 2011
Tebal : 312 halaman
Peresensi : Abdul Aziz MMM
Khasanah intelektual Islam bagaikan bak sumur tanpa dasar. Tak akan pernah habis ditimba. Selain mewariskan karya-karya luar biasa yang menyumbang peradaban umat manusia (dari aspek keilmuan, teknologi, sastra, dan budaya), juga memberikan kita aneka artefak dan maintifak (hasil pemikiran, gagasan) yang mengagumkan.
Penerbit : Zaman, Jakarta
Tahun : I, 2011
Tebal : 312 halaman
Peresensi : Abdul Aziz MMM
Khasanah intelektual Islam bagaikan bak sumur tanpa dasar. Tak akan pernah habis ditimba. Selain mewariskan karya-karya luar biasa yang menyumbang peradaban umat manusia (dari aspek keilmuan, teknologi, sastra, dan budaya), juga memberikan kita aneka artefak dan maintifak (hasil pemikiran, gagasan) yang mengagumkan.
Namun
berbeda dengan warisan intelektual sekuler ataupun tradisi ilmiah dunia klasik,
peradaban Islam yang berkibar lewat pesona ilmu, juga memancarkan teladan dan
kharisma dari para individu yang menjadi cendekiawan di masa lalu. Agaknya,
kaum cerdik pandai di dunia Islam masa lalu adalah intelektual paripurna.
Teruji dalam teori, terbukti dalam budi pekerti.
Satu
bukti dari sekian banyak ilmuan Muslim terkemuka adalah Imam Syafii. Kebanyakan
kita mengenal tokoh ini sebagai satu dari empat Imam dari golongan Ahlussunnah
Wal Jamaah, atau sebagai pakar ilmu fiqh semata. Padahal, Imam Syafii adalah
intelektual ensiklopedik (wawasan sangat luas),
sekaligus intelektual prolific (sangat ahli dalam
bidang tertentu). Dari dunia ilmu, ia ahli sastra, balagah, ilmu hadis, bahasa
Arab, bahkan juga kedokteran.
Menurut
pengakuan salah satu ulama yang dipetik buku ini, setiap ucapan yang
dikeluarkan Imam Syafii adalah bagaikan gula (halaman 106). Sampai-sampai, buku
ini juga menyebut bahwa jika saja Imam Syafii tidak menjadi Ahli Hadis maka
mungkin ia akan menjadi ahli pengobatan (kedokteran).
Riwayat
hidupnya yang ditulis dalam buku ini adalah jejak kesempurnaan. Meski demikian,
buku ini tak hanya sebagai hegiografi (sejarah orang suci, yang melulu berisi
puja-puji), melainkan ditulis berdasarkan aneka sumber, ratusan referensi, berbagai
testimoni, dan juga karya-karya utama dari Sang Imam.
Perjalanan
Sang Imam diulas tuntas. Sejak masih kecil Imam Syafii hijrah untuk belajar
Bahasa Arab di Hudzail, pada masa remajanya dihabiskan untuk menuntut ilmu di
Mekah, kemudian berpetualangan ke Madinah, menjelajah ke Irak dan Mesir hingga
di akhir pengabdian beliau. Gambaran perjalanan panjang dan petualangan tanpa
titik inilah yang melegenda.
Buku
berjudul Biografi Imam Syafi’I, Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang
Mujahid, yang ditulis DR. Tariq Suwaidan ini merekam jejak imam syafi’I pada
tataran penguasaan ilmu yang sangat dalam. Ia juga ahli hadis dan pakar ilmu
usul fiqh, sebagai bukti keilmuannya ia mempunyai karya-karya monumental yakni
kitab Al
Umm dan Ar Risalah. Dua karya ini masuk dalam kategori sebagai Magnum Opus atau masterpiece karya-karya yang terbilang
istimewa.
Selain
itu Imam Syafi’I mempunyai sebutan sebagai pembela hadis (Nashiru Hadis).
Totalitas dan komitmen teguh untuk mengibarkan hadis dan Al Qur’an sebagai
rujukan utama dalam memutuskan setiap perkara keumatan telah diperlihatkan Imam
Syafi’i. Ia kemudian mengukuhkan pijakan dasarnya itu sebagai mazhab tersendiri
yang kemudian memiliki pengaruh luas. Bahkan kini terbilang paling banyak
pengikutnya di sejumlah negara, seperti di penduduk Mesir, Arab Saudi (bagian
barat), Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, Yaman dan Bahrain.
Padahal,
jika berkaca dari konteks sosio-historis di masa ketika Imam Syafi’I hidup (paruh
akhir abad kedua hijriah), gagasan utamanya itu berada di luar mainstream (di
luar arus utama). Sejarah mencatat, waktu itu adalah puncak intelektual Islam
berkibar penuh pesona. Bermacam aliran (firqah) tumbuh menguat. Sejumlah ideologi
termasuk Syiah, Sunni, Mu’tazilah, dan Khawarij bermunculan. Telah hadir pula
para Ulama dan Imam besar.
Namun,
berkat kecintaannya kepada ilmu dan hasil dari perjalanan panjang, Imam Syafi’I
bisa memperoleh pengikut dan pengakuan dari banyak pihak. Ia tidak terjebak dalam
dua arus utama dalam hal ilmu fiqh, yaitu condong kepada teks hadis semata,
atau lebih berpijak pada nalar (ray’i). Imam Syafi’I berhasil mengkombinasikan
antara fiqh Imam Hanafi (condong pada nalar) dan fiqh Imam Maliki (yang berat
pada teks hadis). Pada akhirnya Ia melahirkan fiqh dengan metode baru yang
disusunnya sendiri (halaman 156).
Meski
begitu, kemunculannya dengan metode baru ini tak sekedar pelengkap. Lantaran
kepakarannya sudah diakui oleh siapapun, termasuk oleh para Imam besar saat
itu. Termasuk oleh Imam Hanafi, tak segan menyebutnya sebagai ensiklopedia
berjalan.
Dari
olahan Sang Imam inilah kemudian dunia Islam memperoleh mutiara hikmah tak
berbanding. Corak pemikiran Sang Imam relatif moderat, adaptif, dan paling
penting adalah ilmiah. Beliau mengokohkan prinsip dalam mempertimbangkan
masalah keagamaan dengan berdasar pada Al Quran dan Hadis, Ijma Ulama, pendapat
sahabat, dan Qiyas. Inilah berbagai fakta dan informasi penting yang tersaji di
buku ini. Sebuah karya yang sangat patut kita baca.
*)Peresensi:
Abdul Aziz MMM
Pengelola Renaisant Institute Tinggal di Yogyakarta
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !