Dilansir di media online Anasisinews.com, Selasa, 07 Februari 2012
Judul : Gila Gus Dur
Editor : Ahmad Suaedy,
Ulil Abshar Abdalla
Penerbit : LKiS,
Yogyakarta
Cetakan: I, 2011
Tebal : xxiv+292
halaman
Peresensi : Abdul Aziz MMM
Kontroversial,
barangkali kata atau isltilah yang paling cocok untuk disematkan pada figur
seorang Gus Dur. Bisa jadi kekontroversialnya muncul karena banyaknya kemampuan
yang dimilikinya, sehingga sosok Gus Dur menjadi tidak lazim bagi mereka yang
hanya menguasai satu disiplin ilmu saja.
Gus Dur
juga dikenal sebagai sosok yang nyleneh. Ini Karena banyak gagasan, pemikiran dan
ucapan yang dilontarkan Gus Dur tidak lazim sebagaimana tokoh besar yang selalu
menjaga dan mengonsep kata-katanya sebelum diucapkan. Apa yang menurut Gus Dur
benar, itulah yang dikatakan. Tak peduli ucapannya itu melawan arus atau bahkan
menjadi kritikan banyak orang. Karena itu, Gus Dur nyaris tak pernah sepi dari
konflik dan kontroversi. Tapi dari ketidak laziman itulah, nama Gus Dur kian
menjulang dan ketokohannya makin berkibar.
Dalam
pandangan penulis, Gus Dur setidaknya memiliki tiga wajah yang menonjol, yaitu
sebagai tokoh agama, budayawan, dan politisi. Ketiga peran itu dimainkannya
secara bergantian dalam kurun waktu yang sama. Ketikaa berada di komunitas NU, Gus
Dur berperan sebagai ulama, ketika berada di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dia
berperan sebagai budayawan, tetapi ketika bertemu dengan Soeharto, Megawati,
B.J. Habibie atau tokoh politik lain, maka saat itu Gus Dur dapat dikatakan memainkan
peran politisi.
Jarang
sekali kita memiliki tokoh agama seperti beliau, sehingga sangat wajar kalau
dianggap sarat dengan kontroversi. Dibanding Nurcholis Madjid, langkah-langkah
yang diambil Gus Dur jauh lebih berani dan bahkan barangkali lebih nekad. Ia
dianggap kontroversial tidak hanya oleh masyarakat di luar komunitas NU, tetapi
juga oleh orang NU sendiri. Gu Dur lebih memilih cara zig-zag bahkan
melompat-lompat. Yang lebih parah lagi adalah ketika ingin berbelok ke kanan
atau ke kiri, Gus Dur tidak memberi sinyal apa-apa, sehingga yang berjalan di
belakang menjadi kebingungan dan bertanya, akan kemana orang ini?
Hampir
semua orang yang kebetulan memberitakan komentar mengenai Gus Dur, baik dalam
nada ilmiah akademis atau kenangan pribadi, menyebut satu pokok soal, yaitu adanya
beberapa hal yang sulit dipahami dalam diri Gus Dur. Tidak semua tindakan Gus
Dur sulit dipahami memang, bahkan sebagian besar darinya justru membentuk suatu
rangkaian yang serba logis dan koheren. Tetapi mengharapkan koherensi yang
sepenuhnya bulat dalam semua tindakan Gus Dur, juga jelas mustahil.
Itulah
sebabnya, ada sebagian orang yang semula
menaruh hormat dan kekaguman, tiba-tiba harus menunda sejenak kekagumannya itu,
dan merasa gemas. Kegemasa itu penulis lihat pada tulisan Pdt. Eka Darmaputera
dalam buku ini, yaitu “tokoh kontroversial, Isu kontroversial”. Ia gemas,
karena Gus Dur mau-maunya terlibat langsung dalam urusan politik praktis,
dengan menerima tawaran menjadi presiden. Mestinya, ia lebih tepat berdiri
netral dan bebas dari ikatan dan posisi politik seperti itu.
Meminjam
kalimat Pdt. Eka, “mencalonkannya Gus Dur jadi presiden adalah ibarat
memaksakan benda berharga masuk ke karung yang terlalu kecil. Karena benda itu
terlalu besar, ia bisa lecet atau bahkan pecah. Hal inilah yang kemudian
tindakan Gus Dur sukar untuk dipahami oleh orang lain. Mestinya, jika koherensi
seluruh tindakan Gus Dur hendak dipertahankan secara utuh, idealnya Gus Dur
tetap berada pada posisi netral di luar pemerintahan, untuk menjadi semacam
penjaga moral. Dengan menjadi “pemain” yang terlibat langsung dalam sebuah permainan,
Gus Dur sudah pasti akan kehilangan netralitas. Ini yang membuat orang seperti
Pdt Eka merasa gemas.
Tindakan-tindakan
Gus Dur yang sebagian bisa dipahami dan sebagian tidak, ini membuat penulis teringat
ada kategorisasi yang dibuat ulama klasik mengenai ayat-ayat al-Qur’an. Di
dalam ilmu-ilmu mengenai al-Qur’an, dikenal pembedaan antara ayat yang muhkamat
dan mutasyabihat. Ayat muhkamat adalah yang pengertiannya tidak
mengandung suatu ambiguitas karena telah jelas, sehingga tidak diperlukan suatu
penafsiran untuk bisa dipahami oleh orang banyak. Sebaliknya ayat yang mutasyabihat
adalah ayat yang pengertiannya penuh dengan ambiguitas.
Dalam
diri Gus Dur, ada tindakan-tindakan yang logis dan koheren, mudah dipahami
serta terang benderang di mata siapa pun saja. Tetapi dalam diri Gus Dur juga
ada segi-segi yang janggal, yang amat gelap di mata orang biasa. Tanpa harus
menyertakan Gus Dur dengan al-Qur’an, penulis ingin menggambarkan dua karakter
dalam tindakan-tindakan Gus Dur dalam term al-Qur’an tersebut. Ada
tindakan-tindakan Gus Dur yang masuk ke dalam kategori “muhkamat”, yaitu
tindakan yang logis dan koheren, tetapi juga ada tindakan-tindakannya yang
susah untuk dimengerti dan dapat dikategorikan sebagai mutasyabihat.
Sebenarnya,
tindakan Gus Dur yang logis dan koheren lebih banyak jumlahnya ketimbang yang
‘ambigu” dan susah dipahami. Tetapi, karena yang ambigu ini lebih menjadi bahan
pemberitaan media, maka kesan yang ditangkap oleh umum adalah bahwa seluruh
tindakan Gus Dur dianggap kontroversial serta sulit dipahami. Kontroversialitas
akhirnya dianggap sebagai ciri utama dalam tindakan-tindakan Gus Dur dan juga
menjadi “merk” bagi Gus Dur.
Gus Dur memang
sebuah “buku yang terbuka” yang tidak akan pernah bisa dimengerti secara
keseluruhan. Penafsiran-penafsiran yang dikemukakan sejumlah orang boleh jadi
benar, boleh jadi tidak. Sekian tulisan dalam buku ini merupakan buah hasil
penafsira beberapa orang terhadap tindakan kontroversi Gus Dur. Bahwa semua
tindakan gus Dur dapat ditafsirkan dan dijelaskan, bisa diangkat dari kondisi
“historis”nya yang boleh jadi penuh cacat dan menjengkelkan ke tahap
kebermaknaan.
Sebagaimana
ditunjukan oleh editor buku ini, penjelasan atau kritik tentng Gus Dur akan
segera sampai pada titik jenuhnya sendiri. Bukankah pada akhirnya akan tetap
ada segi-segi yang tak terungkapkan pada diri Gus Dur. Setelah sekian lama
menjadi penafsir Gus Dur ketika kembali untuk menjelaskan kontroversinya seorang hanya bisa berkata “Gus Dur. Titik.”
*)Peresensi:
Abdul Aziz MMM
Pengelola Renaisant Institute Tinggal di Yogyakarta
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !