Judul buku : Metode Menaklukan Jiwa
Penulis : Al-Ghazali
Penerbit : Mizan
Cetakan : 2013
Tebal : 344 hlm
Peresensi : Abdul
Aziz Musaihi M.M, S.H.I
Para pemikir Islam tidak pernah jera mengingatkan
umat Islam, khususnya para ulama dan penguasa muslim, akan bahaya kekuasaan dan
politik. Imam Al-Ghazali pernah menyatakan bahwa politik adalah lahw dan
la'b, permainan memabukkan yang bisa membuat orang lupa daratan.
Kekuasaan dalam nalar fiqh siyasah bersumber pada hawa nafsu yang sulit
dikendalikan.
Al-Ghazali dengan ketajaman analisis seorang
filsuf dan kedalaman penghayatan seorang sufi mengetengahkan keluhuran akhlak
secara panjang lebar dalam karya monumental paling prestisius Ihya' Ulum
Al-Din. Pemikir terbesar etika politik Islam itu, saat membahas sistem dan
kelembagaan politik, sangat menekankan akhlak, moral,
dan etika. Pasalnya, keluhuran akhlak merupakan tolak ukur pencapaian
kemanusiaan dalam Islam.
Buku ini hasil terjemahan edisi Inggris dari dua
bab Ihya' Ulum Al-Din yang menjadi ciri khas ajaran etika Al-Ghazali. Bagian
pertama membahas diagnosis dan terapi katarak spiritual (akhlak buruk seperti
licik, batil, zalim, dan dusta) yang menghalangi mata batin manusia untuk
mendekatkan diri pada Tuhan. Bagian kedua secara khusus mencermati dua penyakit
mental manusia paling berbahaya: sifat rakus dan hawa
nafsu yang tidak terkendali.
Tasawuf acap kali dimaknai sebagai aspek ajaran
Islam yang paling memberi aksentuasi pada kesucian rohani manusia. Al-Ghazali,
dalam pandangan Fazlur Rahman, berpengaruh besar bagi dunia Islam karena mampu
membangun kembali ortodoksi Islam dengan menjadikan sufisme sebagai bagian
integral kehidupan kaum Muslim.
Kontribusi Al-Ghazali paling istimewa bagi Islam
terletak pada teknologi spiritual buat pendisiplinan jiwa terutama melalui
ibadah puasa. Kanjeng Nabi Muhammad SAW bersabda, "Allah tidak pernah
membuat baik paras dan akhlak seseorang hanya untuk membiarkannya dimangsa api
neraka" dan "Sebaik-baiknya mukmin adalah yang paling baik
akhlaknya" (halaman 77).
Sabda Nabi yang dielaborasi Al-Ghazali di bagian
pertama buku ini sangat kontekstual dan relevan dengan praksis keberagamaan
umat di Indonesia dewasa ini. Kebangkitan
Islam di Tanah Air agaknya belum mampu
membendung arus besar "atheisme" berwajah hedonisme, pragmatisme, sekularisme, dan materialisme.
Hedonisme adalah kecenderungan orang untuk hidup
mewah tanpa mau kerja keras. Pragmatisme adalah perilaku ingin sukses dengan
mengandalkan jalan pintas atau mental nerabas. Sekularisme adalah kecenderungan
hidup yang semakin larut dan diperdaya kepentingan-kepentingan duniawi, sehingga
mengabaikan dimensi spiritual keagamaan. Materialisme adalah gaya hidup
egolatri (memuja martabat secara berlebihan) yang melulu diarahkan untuk
mendewakan (memberhalakan) harta benda, uang, dan kekuasaan.
Di Indonesia, korupsi semakin merambat luas sulit
diberantas karena hedonisme, pragmatisme, sekularisme, dan materialisme
merajalela di lingkungan birokrasi pemerintahan dari akar rumput hingga
lembaga-lembaga tinggi kenegaraan. Mengapa? Pemahaman dan penghayatan keagamaan
berhenti pada simbol normatif dan praktik ritualisme.
Agama telah disapih dari dimensi spiritual. Praksis keberagamaan telah
mengabaikan etika. Jiwa-jiwa manusia jadi tidak disiplin, sehingga gampang
ditelikung berbagai "atheisme" pragmatis di atas.
Metode pendisiplinan diri melalui ibadah puasa
belum berhasil mengikis akhlak buruk yang daya rusaknya sangat masif dan
berskala luas. Negeri ini terjerumus zaman laknat penuh kutukan (jahiliyah)
karena, meminjam perspektif sufisme Al-Ghazali, mewarisi mental kepemimpinan
zalim, munafik, culas, batil, serakah, rakus, dan gelojoh. Elite politik belum
mengindahkan petuah Rasulullah SAW, "pemerintah bisa tetap hidup kendati
tidak beriman tetapi akan hancur bila tidak adil.
Para koruptor berwajah ulama memang menelikung
agama sebagai sarana pemuas nafsu kepentingan mereka. Agama yang dijadikan
penjaga tatanan pendukung status quo lebih berbahaya ketimbang kebrutalan
tentara paling fasis. Benar, kata Al-Ghazali, keutamaan Islam terhalang katarak
spiritual pemeluknya sendiri. Penghayatan keagamaan telah digerus hedonisme,
pragmatisme, sekularisme, dan materialisme terus berpeluang besar memperdaya
umat.
Teknologi pendisiplinan jiwa yang dikembangkan
Imam Al-Ghazali, dalam buku ini, tidak ditujukan untuk mengebiri hasrat-hasrat
alamiah manusia akan kuasa, harta, maupun kehormatan keduniawian lainnya,
melainkan membawa pada keseimbangan yang memungkinkan orang beriman meraih masa
depan lebih baik dengan mengubah perilaku buruk tidak terpuji melalui gerakan
asketik.
Imam Al-Ghazali adalah preseden bagus keberagamaan
secara radikal. Ia ikhlas meninggalkan segala jabatan dan gemerlapnya pesona
duniawi untuk hidup mengikuti kehendak Ilahi dengan membaktikan diri sepenuhnya
sebagai seorang sufi.
Keteladanan yang bisa ditimba dari masterpiece
sang Hujjatul-Islam ini: Hanya jika elit politik, menyantuni kejujuran,
ketulusan, kesederhanaan, kerendahan hati, dan kebajikan serta berani hidup
susah ala Imam Al-Ghazali maka bangsa Indonesia akan terbebas dari lembah
kebinasaan.
*)Peresensi: Abdul Aziz Musaihi M.M, S.H.I
Penikmat
Buku dan Pustakawan
Mandiri
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !