Judul buku : Syekh Siti Jenar; Makrifat Kesunyatan
Penulis :
Achmad Chodjim
Penerbit : Serambi
Cetakan : Maret 2013
Tebal :
352 hlm
ISBN : 978-979-024-344-6
Peresensi : Abdul
Aziz Musaihi M.M S.H.I
Ajaran Islam yang diajarkan Syekh Siti Jenar memang bisa di bilang kontroversial. Di saat para Wali Songo menanamkan Islam lewat model akulturasi, Syekh Siti Jenar justru membangun Islam secara asimilasi, yang kemudian melahirkan Islam kejawen. Pandangan sufistik Islam Syekh Siti Jenar diramu dengan mistik jawa sehingga melahirkan Islam yang tidak berwajah keras, tapi memancarkan kesejukan dan kedamaian. Maka tidak mengherankan jika kemudian ajaran beliau berkembang dengan cepat melebihi dakwah Wali Songo karena memang ketika itu masih banyak masyarakat Jawa yang menganut agama dan paham bercorak Hindu-Budha.
Ajaran Islam yang diajarkan Syekh Siti Jenar memang bisa di bilang kontroversial. Di saat para Wali Songo menanamkan Islam lewat model akulturasi, Syekh Siti Jenar justru membangun Islam secara asimilasi, yang kemudian melahirkan Islam kejawen. Pandangan sufistik Islam Syekh Siti Jenar diramu dengan mistik jawa sehingga melahirkan Islam yang tidak berwajah keras, tapi memancarkan kesejukan dan kedamaian. Maka tidak mengherankan jika kemudian ajaran beliau berkembang dengan cepat melebihi dakwah Wali Songo karena memang ketika itu masih banyak masyarakat Jawa yang menganut agama dan paham bercorak Hindu-Budha.
Jika
ditelusuri lebih jauh, pemikiran Syekh Siti Jenar sebenarnya bermuara pada
persoalan ajaran hakikat dan syari’at. Ajaran hakikat lebih banyak mengupas
hubungan akhlak antara manusia dengan dirinya sendiri, sesama makhluk lain,
alam semesta, serta Tuhan. Sementara ajaran syari’at cenderung menekankan pada
persoalan dogma atau doktrin, ritual ibadah, simbol-simbol, aturan, serta
praktik formal keagamaan.
Bagi
Syekh Siti Jenar, syari’at hanyalah sarana yang akan mengantarkan kita untuk
sampai ke tujuan dan bukan menjadi tujuan itu sendiri. Beliau menganggap bahwa
ilmu hakikat jauh lebih penting untuk dipahami terlebih dahulu daripada ilmu
syari’at, sebab orang yang hanya menjalankan syari’at agama namun tidak
memahami ilmu hakikat seringkali mengalami problem “krisis identitas”. (hlm.
56)
Achmad
Chadjim dalam bukunya Syekh Siti Jenar: makrifat Kesunyatan, memaparkan
panjang lebar tentang hakikat makrifat kesunyatan, yang merupakan sambungan
dari pada buku satu dan dua yang pernah di tulisnya. Menurut Chadjim, seseorang
yang sudah makrifat justru merasa tidak mengetahui apa-apa, tetapi hasilnya
adalah apa-apa yang dapat menjadi petunjuk baik bagi dirinya maupun orang lain.
Dalam
pandangan Siti Jenar, Makrifat yang arti sebenarnya adalah orang yang tahu atau
orang yang memiliki pengetahuan, justru dalam kenyataan dia adalah orang yang
tidak tahu apa-apa. Ia seperti alat yang tidak tahu dirinya alat, tetapi ia
berguna bagi siapa yang membutuhkan kehadirannya. Ia tampak seperti manusia
biasa lainnya, yang bisa hadir sebagai pemimpin, pegawai, buruh, pedagang,
petani, ataupun prajurit yang siap bertempur di medan pertempuran. (hal. 51)
Jiwa
bisa menjadi tenang bilamana badan sebagai wadahnya dilatih untuk dapat membuat
semua indra menjadi patuh pada sang jiwa. Namun, dalam kenyataannya jiwa justru
lebih banyak terpengaruh oleh pancaindra (indra penglihat, pembau, pendengar,
perasa di lidah, dan perasaan dikulit) dan tri-indra
(pikiran, imanjinasi atau angan-angan dan keinginan). Jadi, kita harus dapat
membuat pancaindra dan tri-indra menjadi heneng (diam) dan hening (jernih,
bening), agar kita bisa hidup secara lawas (awas) dan heling (eling, sadar).
(hal. 73)
Segala
jeratan dunia harus kita lepaskan agar hidup ini
nyaman dan selamat. Ketika kita melepaskan nyawa, maka kita sudah terbebas dari
aneka jeratan dunia. Kita tak perlu was-was, ragu-ragu, dalam perjalanan jiwa
kita. Bukankah dengan membebaskan diri dari jeratan dunia itu untuk mencapai
tujuan yang mulia? Benar! Bila kita bisa hidup lahir dan batin sama pasti kita
akan sampai tujuan, yaitu kembali kepada tuhan semesta alam. Kita sejatinya
bukanlah bagian dari dunia, tetapi kita adakag khalifah-Nya. (hal. 183).
Manusia
harus realistik dalam menjalani hidup di dunia ini. Ia harus berusaha untuk
tidak tertipu oleh heksa-indranya (penglihatan, pendengaran, penciuman,
pengecap, perasa, dab nafsu seksual) dan oleh tri-indranya
(pikiran, angan-angan dan keinginan). Indra, pikiran, angan-angan, dan
keinginan dapat menipu kita. Oleh karena itu, manusia harus meniti ke dalam
dirinya, mengetahui rahasia dirinya, dan akhirnya berusaha memahami makna
kematian dirinya di dunia ini. Itulah yang di tegaskan oleh Syekh Siti Jenar.
(hal. 271).
Khusuk
arti sebenarnya adalah gersang atau tandus. Jadi, orang yang khusuk adalah
orang yang steril dari berbagai macam keinginan atau aktivitas pikiran. Orang
jawa menyebutnya hati dan pikirannya lerem. Sedangkan daim artinya tak pernah
berhenti, maka orang yang salat makrifat berarti orang yang tidak pernah putus
kesadaran terhadap Tuhannya. (hal. 295).
Buku ini disuguhkan bagi mereka yang haus
akan perjalanan hidup ini. Setelah mengupas makna kematian, lalu makrifat dan
makna kehidupan menurut Syekh Siti Jenar pada dua buku sebelumnya, kini Chadjim
mengajak pembaca untuk mengarungi hakikat hidup yang lebih dalam. Inilah lautan
makrifat kasunyatan. Pada zaman dahulu, ajaran kasunyatan ini diberikan secara
tertutup. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan penyalahgunaan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Namun, pada era informasi sekarang
ini tak ada alasan lagi untuk merahasiakan ilmu kasunyatan.
*)Peresensi:
Abdul Aziz Musaihi M.M, S.H.I
Penikmat
Buku dan Pustakawan
Mandiri
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !