Membangun Kesadaran Toleransi dengan Dialog - JIHAD ILMIAH
Headlines News :
Home » » Membangun Kesadaran Toleransi dengan Dialog

Membangun Kesadaran Toleransi dengan Dialog

Written By Guruku Kyai Bukan Mbah Google on Jumat, 28 Februari 2014 | 08.21



Dilansir di WASATHON 28 Februari 2014

Judul buku    : 10 Ulama Bicara Isa Al-Masih dan Ajarannya
Penulis            : Olaf Schumann
Penerbit          : Elex Media Komputindo
Cetakan          : Desember 2013
Tebal              : 338 hlm
Peresensi: Abdul Aziz Musaihi M.M


Islam dan Kristen pada dasarnya bersaudara. Isa Al-Masih yang melahirkan Kristen dan Muhammad SAW yang membawa agama baru Islam, keduanya berasal dari nenek moyang yang sama, Nabi Ibrahim. Muhammad SAW sampai kepada Ibrahim melalui jalur Hajar yang melahirkan Ismail, sementara Isa Ibn Maryam sampai kepada Ibrahim melalui Sarah yang melahirkan Ishaq. Terlahir dari ibu yang berbeda, tapi dengan agama yang satu.

Tampaknya kedekatan tidak hanya terjadi dalam silsilah nasab biologis saja, melainkan juga silsilah teologis. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah, bahwa perumpamaan antara aku dengan para nabi sebelumnya adalah ibarat seorang yang membangun sebuah rumah, rumah itu didesain dengan indah, kecuali tersisa satu ubin di sebuah sudut. Orang-orang disekelilingnya pun dibuat takjub, kenapa ubin itu dibiarkan kosong begitu saja. Kata Nabi akulah ubin itu, akulah penutup para nabi.

Perumpamaan ini menunjukkan bahwa pokok ajaran yang dibawa Nabi Muhammad sama dengan pokok ajaran yang dibawa para nabi sebelumnya. Kehadiran nabi yang belakangan merupakan kelanjutan dari nabi sebelumnya. Itu sebabnya, Nabi Muhammad diutus untuk membawa risalah bukanlah yang pertama dalam deretan nabi-nabi. Ia hanya salah satu dari sekian nabi-nabi sebelumnya untuk menyempurnakan agama nabi terdahulu.  Sekiranya Yesus Kristus datang untuk mengukuhkan Kitab Taurat Nabi Musa, maka Nabi Muhammad datang untuk membenarkan ajaran Taura Nabi Musa dan Injil Nabi Isa (Yesus). 

Nabi Muhammad tidak memandang Yesus dan agama Kristen secara negatif. Cara pandang negatif terhadap Kristen muncul ketika umat Islam dan Kristiani terlibat dalam pertarungan sosial politik. Pertarungan itu turut mempengaruhi corak pemikiran tafsir para ulama. Akhirnya mufasir Islam dan teolog Kristen terlibat dalam polemik. Orang Kristiani menghajar Islam dengan paradigma kekristenan. Sebaliknya, orang Islam melancarkan kritik keras terhadap teolog Kristen dengan tolak ukur keislaman.

Berabad-abad penganut dua agama ini terjebak dalam polemik tak berkesudahan. Buku yang ditulis Olaf Schumann ini menunjukan dengan baik bagaimana polemik itu berlangsung, dari zaman klasik hingga modern. Secara khusus Schumann menyebutkan sepuluh ulama Islam dengan perspektif keilmuan dan latar belakang berbeda, mengkritik teologi Kristen baik secara lunak maupun keras.

Misalnya Ali al-Thabari, ia melancarkan kritik keras terhadap Kristiani yang mempercayai empat tuhan, Bapa, Anak, Roh Kudus dan Yeus Kristus. Menurutnya, Yesus atau Isa adalah seorang nabi utusan Allah untuk umat manusia. Yesus tidak akan pernah bisa menduduki kedudukan Allah. Beberapa kelebihan dan mukjizat Isa, bagi  al-Thabari, tidak berarti bahwa Isa adalah Allah. Penyangkalan terhadap doktrin ketuhanan Yesus juga diberikan para teolog Islam lain, seperti Ibn Hazm dan al-Ghazali. Jika Ibn Hazm menampik perkara penyaliban Yesus, maka al-Ghazali menolak ketuhanan Yesus.

Polemik dogmatis seperti itu tak pernah berhasil direlai. Alih-alih bisa disudahi, yang terjadi justru debat teologis di timur Tengah semakin menjadi akibat banyaknya para penulis Muslim yang gencar mengkritik teologi Kristen. Demikian keras kritik para penulis Muslim terhadap kristologi, maka respon serupa pun bermunculan dari kalangan Kristen menghujat Islam.

Debat yang tidak ada habisnya bahkan tak berujung antara para teolog Islam dan Kristen telah menghabiskan energi otak, hanya untuk memikirkan argumentasi masing-masing. Padahal sangat jelas dan terang bahwa polemik ketuhanan tak pernah berakhir di meja perundingan. Salah satu langkah upaya untuk menjalin hubungan harmonis antar umat beragama adalah mengakui dan menerima perbedaan iman suatu kelompok yang didasarkan atas kesungguhan dan kesetiaan masing-masing pemeluk.

Buku ini hendak membantu kita untuk masuk ke dalam dialog yang bermakna, artinya tidak luput dari dilema. Pendapat yang berbeda harus diterima, mau tidak mau. Yang terpenting bagaimana keyakinan akan kebenaran iman sendiri dapat dipertahankan, tanpa melukai atau malah menghina  keyakinan orang lain. 

Sekiranya perbedaan pendapat dirasakan mengganggu kesenangan dan ketika itu dikesampingkan atau dinafikkan, maka dialog tak mungkin terjadi. Yang terjadi hanyalah monolog yang akan menyulut api konflik. Dan dalam hal ini yang dikorbankan adalah kebenaran.

Dari buku ini, penulis mengutip dialog antara Kardinal Koenig dari Wina dan Fathi Utsman, salah satu ulama yang dibahas dalam buku ini. Dalam kuliah umumnya di Universitas Al-Azhar tentang monoteisme di dunia saat ini, Koenig mengajak semua kalangan baik Muslim maupun Kristiani untuk mengakhiri polemik ketuhanan.

Dengan menimbang bahwa gencarnya serangan pemikiran materialis tengah mengancam umat Kristiani maupun Muslim dengan cara yang sama. Kardinal Koenig mengatakan bahwa sekaranglah saatnya bagi kedua kelompok ini untuk saling mendengar guna menemukan kembali persamaan mereka, demi mengingat kesamaan basis monoteis mereka, tanpa perlu mengingkari perbedaan-perbedaan doktriner yang penting.

Fathi Utsman sepenuhnya mendukung seruan dari tokoh Katolik itu untuk membangun hubungan yang damai antar dua agama. Di sini penulis lebih menekankan bagaimana toleransi dan dialog antara agama mesti dilakukan.

*)Peresensi: Abdul Aziz Musaihi M.M, S.H.I
Penikmat Buku dan Pustakawan Mandiri

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Kenalin Saya

Foto saya
GURUKU KYAI BUKAN MBAH GOOGLE Belajarlah agama kepada guru yang sanad keilmuannya sampai kepada Rasulullah. Belajar langsung dengan bertatap muka kepada guru fadhilahnya sangat agung. Dikatakan bahwa duduk di majelis ilmu sesaat lebih utama daripada shalat 1000 rakaat. Namun jika hal itu tidak memungkinkan karena kesibukan yang lain, maka jangan pernah biarkan waktu luang tanpa belajar agama, untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun tetap harus di bawah pantauan atau bimbingan orang yang ahli. HATI-HATI DENGAN GOOGLE Jika anda suka bertanya hukum kepada mbah google, pesan kami, hati-hati karena sudah banyak orang yang tersesat akibat tidak bisa membedakan antara yang salaf dengan yang salafi. Oleh karena itu untuk membantu mereka kaum awam, kami meluncurkan situs www.islamuna.info sebagai pengganti dari google dalam mencari informasi Islam. Mulai sekarang jika akan bertanya hukum atau info keislamna, tinggalkan google, beralihlah kepada Islamuna.info Googlenya Aswaja.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. JIHAD ILMIAH - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template