Judul buku : 10 Ulama Bicara Isa
Al-Masih dan Ajarannya
Penulis :
Olaf Schumann
Penerbit :
Elex Media Komputindo
Cetakan : Desember 2013
Tebal :
338 hlm
Peresensi: Abdul Aziz Musaihi M.M
Islam dan Kristen
pada dasarnya bersaudara. Isa Al-Masih yang melahirkan Kristen dan Muhammad SAW
yang membawa agama baru Islam, keduanya berasal dari nenek moyang yang sama,
Nabi Ibrahim. Muhammad SAW sampai kepada Ibrahim melalui jalur Hajar yang
melahirkan Ismail, sementara Isa Ibn Maryam sampai kepada Ibrahim melalui Sarah
yang melahirkan Ishaq. Terlahir dari ibu yang berbeda, tapi dengan agama yang
satu.
Tampaknya
kedekatan tidak hanya terjadi dalam silsilah nasab biologis saja, melainkan
juga silsilah teologis. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah, bahwa perumpamaan
antara aku dengan para nabi sebelumnya adalah ibarat seorang yang membangun
sebuah rumah, rumah itu didesain dengan indah, kecuali tersisa satu ubin di
sebuah sudut. Orang-orang disekelilingnya pun dibuat takjub, kenapa ubin itu
dibiarkan kosong begitu saja. Kata Nabi akulah ubin itu, akulah penutup para
nabi.
Perumpamaan ini
menunjukkan bahwa pokok ajaran yang dibawa Nabi Muhammad sama dengan pokok
ajaran yang dibawa para nabi sebelumnya. Kehadiran nabi yang belakangan
merupakan kelanjutan dari nabi sebelumnya. Itu sebabnya, Nabi Muhammad diutus
untuk membawa risalah bukanlah yang pertama dalam deretan nabi-nabi. Ia hanya
salah satu dari sekian nabi-nabi sebelumnya untuk menyempurnakan agama nabi
terdahulu. Sekiranya Yesus Kristus
datang untuk mengukuhkan Kitab Taurat Nabi Musa, maka Nabi Muhammad datang
untuk membenarkan ajaran Taura Nabi Musa dan Injil Nabi Isa (Yesus).
Nabi Muhammad
tidak memandang Yesus dan agama Kristen secara negatif. Cara pandang negatif
terhadap Kristen muncul ketika umat Islam dan Kristiani terlibat dalam
pertarungan sosial politik. Pertarungan itu turut mempengaruhi corak pemikiran
tafsir para ulama. Akhirnya mufasir Islam dan teolog Kristen terlibat dalam
polemik. Orang Kristiani menghajar Islam dengan paradigma kekristenan.
Sebaliknya, orang Islam melancarkan kritik keras terhadap teolog Kristen dengan
tolak ukur keislaman.
Berabad-abad
penganut dua agama ini terjebak dalam polemik tak berkesudahan. Buku yang
ditulis Olaf Schumann ini menunjukan dengan baik bagaimana polemik itu
berlangsung, dari zaman klasik hingga modern. Secara khusus Schumann menyebutkan
sepuluh ulama Islam dengan perspektif keilmuan dan latar belakang berbeda, mengkritik
teologi Kristen baik secara lunak maupun keras.
Misalnya Ali
al-Thabari, ia melancarkan kritik keras terhadap Kristiani yang mempercayai
empat tuhan, Bapa, Anak, Roh Kudus dan Yeus Kristus. Menurutnya, Yesus atau Isa
adalah seorang nabi utusan Allah untuk umat manusia. Yesus tidak akan pernah
bisa menduduki kedudukan Allah. Beberapa kelebihan dan mukjizat Isa, bagi al-Thabari, tidak berarti bahwa Isa adalah
Allah. Penyangkalan terhadap doktrin ketuhanan Yesus juga diberikan para teolog
Islam lain, seperti Ibn Hazm dan al-Ghazali. Jika Ibn Hazm menampik perkara
penyaliban Yesus, maka al-Ghazali menolak ketuhanan Yesus.
Polemik dogmatis seperti
itu tak pernah berhasil direlai. Alih-alih bisa disudahi, yang terjadi justru
debat teologis di timur Tengah semakin menjadi akibat banyaknya para penulis
Muslim yang gencar mengkritik teologi Kristen. Demikian keras kritik para
penulis Muslim terhadap kristologi, maka respon serupa pun bermunculan dari
kalangan Kristen menghujat Islam.
Debat yang tidak
ada habisnya bahkan tak berujung antara para teolog Islam dan Kristen telah
menghabiskan energi otak, hanya untuk memikirkan argumentasi masing-masing.
Padahal sangat jelas dan terang bahwa polemik ketuhanan tak pernah berakhir di
meja perundingan. Salah satu langkah upaya untuk menjalin hubungan harmonis antar
umat beragama adalah mengakui dan menerima perbedaan iman suatu kelompok yang
didasarkan atas kesungguhan dan kesetiaan masing-masing pemeluk.
Buku ini hendak
membantu kita untuk masuk ke dalam dialog yang bermakna, artinya tidak luput
dari dilema. Pendapat yang berbeda harus diterima, mau tidak mau. Yang
terpenting bagaimana keyakinan akan kebenaran iman sendiri dapat dipertahankan,
tanpa melukai atau malah menghina keyakinan orang lain.
Sekiranya
perbedaan pendapat dirasakan mengganggu kesenangan dan ketika itu
dikesampingkan atau dinafikkan, maka dialog tak mungkin terjadi. Yang terjadi
hanyalah monolog yang akan menyulut api konflik. Dan dalam hal ini yang
dikorbankan adalah kebenaran.
Dari buku ini, penulis
mengutip dialog antara Kardinal Koenig dari Wina dan Fathi Utsman, salah satu
ulama yang dibahas dalam buku ini. Dalam kuliah umumnya di Universitas Al-Azhar
tentang monoteisme di dunia saat ini, Koenig mengajak semua kalangan baik
Muslim maupun Kristiani untuk mengakhiri polemik ketuhanan.
Dengan menimbang
bahwa gencarnya serangan pemikiran materialis tengah mengancam umat Kristiani
maupun Muslim dengan cara yang sama. Kardinal Koenig mengatakan bahwa
sekaranglah saatnya bagi kedua kelompok ini untuk saling mendengar guna
menemukan kembali persamaan mereka, demi mengingat kesamaan basis monoteis
mereka, tanpa perlu mengingkari perbedaan-perbedaan doktriner yang penting.
Fathi Utsman
sepenuhnya mendukung seruan dari tokoh Katolik itu untuk membangun hubungan
yang damai antar dua agama. Di sini penulis lebih menekankan bagaimana
toleransi dan dialog antara agama mesti dilakukan.
*)Peresensi: Abdul Aziz Musaihi M.M, S.H.I
Penikmat Buku dan
Pustakawan Mandiri
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !