Judul : Pedoman Berpolitik Warga NU
Penulis : Muh. Hanif Dhakiri
Penerbit : Pustaka Pesantren
Cetakan : I, 2013
Tebal : xvi+60 Halaman
ISBN : 602-8995-45-2
Peresensi : Fatmawati Ningsih S.Th.I
Maraknya praktek korupsi di pusaran politik mengakibatkan sikap skeptis
cara pandang berpolitik oleh sebagian masyarakat Indonesia. Politik dianggap
kotor dan jauh dari nilai-nilai Islam. Semua orang yang terjun ke lingkaran
politik terkesan memburu kekuasaan semata.
Asumsi politik itu kotor
bisa jadi berasal dari pemikiran Barat. Tokoh yang menyatakan secara
terang-terangan adalah Lord Acton. Dia mengatakan “Power tends to corrupt”,
artinya politik atau kekuasaan cenderung korup. Adanya fakta bahwa politik
kotor dan korup memang tak terbantah. Namun tidak bijak kiranya
megeneralisasikan semua politik sama.
Lembaga politik pada
dasarnya tak ubah seperti pisau. Di tangan orang baik, pisau akan menjadi alat
yang sangat berguna, seperti memasak. Di sisi lain, pisau dijadikan alat untuk
melukai bahkan membunuh orang lain bila berada di tangan orang jahat dan tidak
tepat. Demikian juga politik. Politisi yang amanah akan menjadikan politik
sebagai alat untuk membawa kemaslahatan bagi umat. Sebaliknya, politisi yang
tidak bertanggungjawab memanfaatkan politik sebagai panggung kekuasaan.
Buku Pedoman Berpolitik
Warga NU karya Muh. Hanif Dhakiri berkeinginan meluruskan asumsi masyarakat
tentang politik. Islam sebenarnya tumbuh berkembang dan di sebarkan ke seluruh
jagat raya ini melalui politik. Nabi Muhammad dan para sahabat berkecimpung di
dalam politik demi mempertahankan dan menjaga eksistensi Islam.
Di Madinah misalnya, Nabi
Muhammad disamping sebagai pemimpin agama juga pemimpin politik. Islam diterima
oleh penduduk Madinah pada saat itu karena ditopang sistem politik yang kuat.
Diplomasi lintas agama dilakoni Nabi demi terjaganya kerukunan antar penduduknya.
Piagam Madinah adalah bukti perjanjian politik Nabi bersama suku, ras dan agama
untuk saling menghormati satu sama lain.
Muh. Hanif Dhakiri,
penulis buku ini merumuskan setidaknya ada dua perspektif untuk meninjau
politik dari konteks Syar’i Islami. Pertama, perspektif maslahah
atau asas manfaat. Penulis mengungkapkan hendaknya berpolitik jauh lebih banyak
memberi maslahah dan manfaat bagi umat.
Dengan menjadi politisi, seseorang bisa bermanfaat bagi banyak orang. Kalau
seorang pengusaha bisa dikatakan hanya bermanfaat bagi karyawannya. Tetapi
seorang politisi bisa bermanfaat bagi pengusaha, pekerja dan dunia usaha secara
umum. Politisi melindungi pengusaha, menjamin hak-hak tenaga kerja dan menjaga
kelangsungan hidup dunia usaha dengan merumuskan dan menetapkan undang-undang
perindustrian yang adil. (Halaman 7-9)
Kedua, perspektif akidah. Dalam konteks ini, berpolitik adalah upaya
mempertahankan akidah dari agresi dan subordinasi ideologi lain yang sesat dan
merusak. Seumpama warga NU, berpolitik sudah menjadi kewajiban kolektif untuk
menjaga akidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Bisa dibayangkan bila tak
seorang pun warga NU ikut andil dalam berpolitik, maka cepat atau lambat,
akidah dan ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah akan terpinggirkan. (Halaman
9)
Tanpa politik, kelangsungan hidup akidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah
bisa berada dalam bahaya tatkala kekuasaan politik dipegang mereka yang
memusuhi Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Melalui politik, ajaran Ahlu Sunnah
wal Jama’ah dapat terus dipelihara, dilestarikan dan dikembangkan dalam
masyarakat.
Guna membendung arus politik yang tidak tentu arah di era demokrasi, buku
ini mengajak pembaca terutama warga NU kembali pada Khittah NU 1926. Doktrin
kembali ke Khittah 1926 mempunyai konteks sosio politik yang khas.
Khittah NU 1926 tidak bisa dipahami terpisah dari sejarah kelahiranya.
Doktrin kembali pada Khittah diambil dari pengalaman sejarah yang menyakiti
hati warga Nahdliyin. Ketika NU menitipkan aspirasi pada partai-partai Islam
ternyata NU hanya dimanfaatkan dan berakhir tragis.
Karena itulah ulama NU memutuskan membuat wadah resmi untuk menampung
aspirasi dan menyalurkan kepentingan NU. NU tidak akan lagi menitipkan
aspirasinya pada parpol lain. Sejarah penitipan aspirasi politik di Indonesia
selalu berakhir pengkhianatan.
Muh. Hanif Dhakiri sebagai kader muda NU yang terjun ke dunia politik
menyayangkan kiai atau ulama NU yang acuh pada politik NU. Ketika umat bertanya
tentang politik, kiai atau ulama tidak mengarahkan umat mengikuti khittah NU
1926. Padahal umat perlu bimbingan dan arahan untuk menentukan pilihan partai
politik yang membawa maslahah dan barokah bagi dirinya,
masyarakat dan bangsanya.
Buku ini sangat menarik, setidaknya bisa dijadikan pedoman berpolitik
menghadapi pesta demokrasi yang sebentar lagi akan digelar. Juga sebagai panduan
berpolitik dengan niat, cara dan orientasi yang sesuai dengan tuntunan Nabi
Muhammad, sahabat dan ulama terdahulu.
Diresensi oleh Fatmawati Ningsih S.Th.I
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !