Dimuat di HARIAN BHIRAWA, Jumat 28 Maret 2014
Judul : Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an
Penulis : Taufik Adnan Amal
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Oktober 2013
Tebal : xviii+484 Halaman
ISBN : 978-602-9193-34-3
Peresensi : Fatmawati Ningsih S.Th.I
Setiap kitab suci agama mempunyai sejarah
masing-masing. Sejak awal kemunculannya hingga kini selalu menarik untuk dikaji.
Kitab suci selalu mendapat tempat tertinggi di hati pemeluknya karena di
samping ajaran Nabi, juga diyakini sebagai wahyu Tuhan dalam bentuk verbal.
Al-Qur’an
kitab suci agama Islam diyakini pemeluknya sebagai Kalam Allah, ucapan
Allah. Keyakinan ini tidak begitu saja diterima pihak oposisi. Pada zaman Nabi
Muhammad, orang kafir menuduh Muhammad memperoleh wahyu dari bisikan ruh-ruh
jahat. Sebagian lagi beranggapan al-Qur’an hanyalah dongeng dari orang-orang
terdahulu yang dipelajari Muhammad.
Dewasa ini, kajian tentang al-Qur’an tak luput
dari penelitian sarjana Barat. Sama halnya oposan era Nabi, orientalis modern
dari kalangan Yahudi seperti Abraham Geiger memusatkan perhatian pada anasir
Yahudi dalam al-Qur’an. Dalam penelitiannya, Geiger sampai kepada kesimpulan
bahwa seluruh ajaran Muhammad yang tertuang di dalam al-Qur’an sejak semula
telah menunjukkan sendiri asal usul Yahudiyahnya.
Sementara
para sarjana Kristen juga melakukan upaya senada. Karl Friedrich Gerock
berusaha membuktikan al-Qur’an tidak lebih dari gema sumbang tradisi Kristiani.
Berbeda dari orientalis Yahudi dan Kristen, umat Muslim justru meyakini seluruh
kitab suci baik Injil, Taurat dan al-Qur’an bersumber dari Allah. Para Nabi
diutus untuk menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya, namun risalah mereka tetap
bersifat universal.
Al-Qur’an merupakan kitab suci paling mapan dan
konsisten setelah diresmikan unifikasi bacaan sebagai standar al-Qur’an umat
muslim pada pemerintahan khalifah Usman bin ‘Affan. Meskipun mengalami
problematika dan gejolak pada awal pengumpulannya, pada akhirnya umat Islam di seluruh
penjuru dunia memegang satu mushaf yang sama dan tak seorangpun mempunyai
otoritas mengubah satu kata bahkan satu huruf dari kitab tersebut.
Taufik
Adnan Amal, penulis buku ini berusaha merekonstruksi sejarah pengumpulan al-Qur’an
dari masa Nabi hingga stabilisasi teks dan bacaan meliputi penyempurnaan
ortografi al-Qur’an. Taufik setidaknya membagi dua cara pengumpulan al-Qur’an di
masa Nabi Muhammad. Pertama, pemeliharan hafalan oleh Nabi dan sahabat. Kedua,
perekaman dalam bentuk tertulis. (Halaman 142-143)
Dalam tulis menulis wahyu,
Nabi memerintahkan beberapa sekertaris untuk mencatatnya. Meskipun masyarakat
pada waktu itu mendapat julukan Jahiliyah, yang diartikan sementara sejarawan
kaum bodoh, tidak mengenal baca tulis, faktanya mereka sudah akrab dunia
administrasi. Terbukti bangsa Arab pandai dalam urusan perniagaan. Al-Qur’an
merekam masalah hutang piutang agar supaya diantara keduanya mencatat dan
disaksikan dua orang laki-laki.
Penulis menyangkal
pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa pengumpulan al-Qur’an dilakukan
setelah wafatnya Nabi. Teori paling populer di kalangan ortodoksi Islam menyatakan
pengumpulan pertama pada masa khalifah Abu Bakar. Cerita paling masyhur yaitu
Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit merekam jejak al-Qur’an atas desakan
Umar bin Khattab. Kegelisahan Umar atas gugurnya sahabat-sahabat penghafal
al-Qur’an pada perang Yamamah mendorong gagasan intelektual pengumpulan
al-Qur’an. (Halaman 157)
Taufik Adnan Amal tidak
menyangkal bahwa Nabi dipastikan tidak meninggalkan kodeks al-Qur’an dalam
bentuk lengkap. Akan tetapi, terdapat upaya sadar dan serius di zaman Nabi dari
kalangan sahabat untuk memelihara wahyu-wahyu dalam bentuk tertulis. Tidak
hanya sekertaris yang ditunjuk Nabi untuk medokumentasikan, tetapi banyak
sahabat yang sukarela mencatat wahyu secara pribadi. Sebab itu, belakangan
timbul variae lectiones, yaitu keragaman bacaan al-Qur’an yang kemudian
pada masa pemerintahan Usman bin ‘Affan dimusnahkan dan diseragamkan demi
persatuan umat.
Salah satu sebab yang
melatarbelakangi munculnya variae lectiones adalah ketidaksempurnaan
aksara arab, yakni screptio devectiva, yang tidak memiliki tanda-tanda
vokal dan titik diakritis pembeda konsonan berlambang sama.(Halaman 329)
Pada mulanya, Usman
mengirim salinan mushaf ke tiap wilayah dalam screptio devectiva. Masyarakat
daerah tersebut tetap mengikuti bacaan yang mereka pelajari dari sahabat
tertentu. Dari sinilah tumbuh para qurra’ yang terkenal ulama Qira’ah
Sab’ah.
Usman selalu berusaha
mengupayakan standarisasi teks al-Qur’an, yang dalam kenyataannya juga mengarah
unifikasi bacaan meskipun pemusnahan teks non usmaniy harus dilakukan. Pada
tataran praxis, teks utsmani berhasil memapankan diri sebagai textus
receptus, yaitu satu-satunya teks al-Qur’an yang disepakati.
Buku Rekonstruksi
Sejarah Al-Qur’an karya Taufik Adnan Amal ini sangat lengkap dalam
memaparkan sejarah al-Qur’an. Ia mempertemukan tiga arus keilmuan, yaitu
tradisi Barat, Timur Tengah dan ranah keilmuan Indonesia. Didasarkan pada riset
ilmiah, buku ini berhasil mengungkapkan perjalanan panjang teks al-Qur’an dan
perjumpaannya dengan para analis Islam maupun orientalis Barat.
Diresensi oleh Fatmawati Ningsih S.Th.I
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !