1. Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat menyatakan bahwa Allah tidak diliputi tempat, ada tanpa menempati tempat, ada tanpa membutuhkan tempat, ADA TANPA TEMPAT.
2. Salah satu sifat Allah yang wajib kita yakini adalah Mukhalafatuhu lil Hawadits : Allah berbeda dengan segala sesuatu. Sehingga wajib diyakini bahwa Allah tidak bersifat dengan sifat-sifat makhluk-Nya, seperti bertempat, berada di arah atas atau arah-arah yang lain, berbentuk, memiliki anggota badan dan lain-lain.
3. Salah satu sifat Allah yang juga wajib kita yakini adalah Qiyamuhu bi Nafsihi : tidak membutuhkan kepada segala sesuatu selain-Nya. Dengan demikian, wajib diyakini bahwa Allah tidak membutuhkan tempat, arah, tempat tinggal, ‘arsy, kursi, langit dan lain-lain.
4. Tidak boleh diyakini bahwa pada saat mi’raj, Allah di arah atas, lalu Rasulullah diperintahkan naik ke atas untuk sowan dan bertemu dengan Allah. Maksud dan tujuan isra’ dan mi’raj tidaklah seperti itu.
5. Maksud dan tujuan Isra’ dan Mi’raj adalah memuliakan Rasulullah dengan memperlihatkan pada beliau sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, serta menerima perintah shalat di tempat yang sangat suci, yang tidak pernah dilakukan dosa dan maksiat di dalamnya.
6. Tidak boleh dikatakan bahwa Rasulullah berjumpa dengan Allah pada saat mi’raj. Juga tidak boleh diyakini bahwa Allah mendekat secara fisik kepada Rasulullah sampai jarak antara keduanya hanya sebatas dua hasta, atau bahkan lebih dekat. Karena Allah bukan berupa benda, dan Mahasuci dari sifat-sifat benda.
7. Yang diperselisihkan para ulama adalah terkait apakah Rasulullah melihat Allah ketika Mi’raj atau tidak. Sayyidah Aisyah berpendapat bahwa Rasulullah tidak melihat Tuhannya ketika Mi’raj. Sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa Rasulullah melihat Tuhannya.
8. Pendapat yang kuat adalah bahwa Rasulullah melihat Tuhannya pada saat Mi’raj dengan hatinya, bukan dengan matanya. Dan penting untuk ditegaskan bahwa Nabi melihat Allah dengan hatinya, tanpa tempat, tanpa arah, tanpa bentuk, tanpa ukuran, tanpa bersifat dengan sifat-sifat makhluk, dan tanpa bisa dibayangkan serta tanpa bisa dibagaimanakan.
9. Ketika Mi’raj, Rasulullah mendengar kalam Allah yang azali (tidak bermula), abadi (tidak berakhir), yang bukan berupa suara, bahasa dan huruf. Rasulullah memahami dari kalam Allah tersebut kewajiban shalat lima waktu. Beliau juga memahami bahwa akan diampuni dosa-dosa besar bagi orang-orang yang dikehendaki oleh Allah, jika mereka mati dalam keadaan membawa keimanan. Sedangkan orang yang mati dalam keadaan kafir, maka ia tidak akan mendapatkan pengampunan dosa dari-Nya, dan akan dimasukkan ke dalam api neraka selama-lamanya. Beliau juga memahami bahwa orang yang melakukan satu kebaikan akan dicatat untuknya sepuluh kali lipat dan orang yang berkeinginan melakukan suatu kebaikan lalu tidak mengerjakannya maka dihitung satu kebaikan. Dan barangsiapa berkeinginan melakukan keburukan dan mengerjakannya maka dicatat sebagai satu keburukan.
10. Perkataan Nabi Musa kepada Nabi Muhammad : ارجع إلى ربك فاسأله التخفيف , artinya adalah “Kembalilah ke tempat di mana engkau menerima wahyu dari Tuhanmu dan mintalah pada-Nya keringanan”. Artinya bukanlah : “Kembalilah ke tempat Tuhanmu....”. Karena Allah Mahasuci dari tempat, ALLAH ADA TANPA TEMPAT.
11. Bagi setiap orang yang meyakini bahwa Allah adalah sesuatu yang memiliki ukuran dan berada di suatu tempat, atau Allah dengan Dzat-Nya mendekati Rasulullah, atau meyakini Allah duduk di atas ‘arsy, hendaknya melepaskan keyakinan-keyakinan tersebut, dan kembali masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Pada Bulan Rajab dan menjelang Peringatan Isra’ dan Mi’raj, mari kita gaungkan Aqidah “Allah ada tanpa tempat”. Supaya tidak ada ruang bagi Wahhabi untuk menyebarkan keyakinan-keyakinan sesat dan kufur mereka : bahwa Allah di atas, Allah duduk di atas ‘arsy dan meletakkan kaki-Nya di atas kursi, dan keyakinan bahwa Allah di langit.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !