ETIKA MENGELUARKAN FATWA - JIHAD ILMIAH
Headlines News :
Home » » ETIKA MENGELUARKAN FATWA

ETIKA MENGELUARKAN FATWA

Written By Guruku Kyai Bukan Mbah Google on Jumat, 10 Maret 2017 | 08.56


Fatwa menempati kedudukan penting dalam masyarakat Islam. Untuk itulah para ulama telah menyusun seperangkat etika (code of conduct) bagi mereka yang memberi fatwa. Literatur klasik menyebutnya dengan istilah adabul fatwa wal mufti wal mustafti. Kode etik ini dibuat sampai terinci seperti cara menuliskan fatwa di lembaran kertas, tidak boleh berganti pena, memulai dengan kalimat hamdalah, mengakhiri dengan kalimat Wa Allahu a'lam, menulis nama mufti, dan seterusnya. Selain hal-hal teknis, kode etik juga mengatur cara mufti menjawab. Misalnya, berbeda dengan masa sekarang yang banyak meminta penjelasan dalil dengan detil, kode etik justru menyarankan untuk menjawab singkat dan jelas dengan kalimat: iya, hukumnya mubah atau haram, benar atau salah.

Di bawah ini saya petik penjelasan Imam Nawawi dari muqaddimah kitab al-Majmu' mengenai kode etik berfatwa tersebut. Mari kita ngaji bersama yuk.

‎اعْلَمْ أَنَّ هَذَا الْبَابَ مُهِمٌّ جِدًّا فَأَحْبَبْتُ تَقْدِيمَهُ لِعُمُومِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ وَقَدْ صَنَّفَ فِي هَذَا جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا مِنْهُمْ أَبُو الْقَاسِمِ الصَّيْمَرِيُّ شَيْخُ صَاحِبِ الْحَاوِي ثُمَّ الْخَطِيبُ أَبُو بَكْرٍ الْحَافِظُ الْبَغْدَادِيُّ ثُمَّ الشَّيْخُ أَبُو عَمْرِو بن الصلاح وكل منهم ذكر نفايس لَمْ يَذْكُرْهَا الْآخَرَانِ: وَقَدْ طَالَعْتُ كُتُبَ الثَّلَاثَةِ وَلَخَّصْتُ مِنْهَا جُمْلَةً مُخْتَصَرَةً مُسْتَوْعِبَةً لِكُلِّ مَا ذَكَرُوهُ مِنْ الْمُهِمِّ وَضَمَمْتُ إلَيْهَا نَفَائِسَ مِنْ مُتَفَرِّقَاتِ كَلَامِ الْأَصْحَابِ وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ

Ketahuilah bab ini sangat penting. Saya [Imam Nawawi] ingin mendahulukannya karena kebutuhan umum menghendaki demikian dan sejumlah kolega sudah menuliskan tentang ini [kode etik fatwa] diantaranya Abul Qasim al-Shaymari pengarang kitab al-Hawi; al-Khatib Abu Bakr al-Hafiz al-Baghdadi; dan Syekh Abu Amr bin al-Shalah. Masing-masing dari mereka telah menyebutkan hal-hal penting yang belum pernah dibahas sebelumnya. Saya telah mempelajari ketiga karya mereka dan saya akan mengutip ringkasannya dan menambahkan dari ucapan kolega yang lain, wa billahi taufiq.

‎* اعْلَمْ أَنَّ الْإِفْتَاءَ عَظِيمُ الْخَطَرِ كَبِيرُ الْمَوْقِعِ كَثِيرُ الْفَضْلِ لِأَنَّ الْمُفْتِيَ وَارِثُ الْأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عليهم وقائم بفرض الكفاية لكنه مُعَرِّضٌ لِلْخَطَأِ وَلِهَذَا قَالُوا الْمُفْتِي مُوقِعٌ عَنْ اللَّهِ تَعَالَى: وَرَوَيْنَا عَنْ ابْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ العالم بين الله تعالى وخلقه فينظر كَيْفَ يَدْخُلُ بَيْنَهُمْ.

Ketahuilah bahwa memberi fatwa adalah perkara yang sangat penting, posisi yang besar dan utama karena mufti itu adalah pewaris Nabi SAW, dan mufti ini posisi yang fardhu kifayah tapi dia juga bisa mengandung kesalahan. Itulah sebabnya dikatakan mufti itu memiliki kedekatan posisi dengan Allah. Riwayat dari Ibn Munzir, "orang alim itu antara Allah dan makhlukNya, maka lihatlah bagaimana ia masuk diantara mereka."

‎وَرَوَيْنَا عَنْ السَّلَفِ وَفُضَلَاءِ الْخَلْفِ مِنْ التَّوَقُّفِ عَنْ الْفُتْيَا أَشْيَاءَ كَثِيرَةً: مَعْرُوفَةً نَذْكُرُ مِنْهَا أَحْرُفًا تَبَرُّكًا:

setelah menguraikan posisi penting seorang mufti, Imam Nawawi mengutip keterangan betapa hati-hatinya para sahabat dan ulama salaf mengeluarkan fatwa. Berikut petikannya....

‎ وَرَوَيْنَا عَنْ عبد الرحمن ابن أَبِي لَيْلَى قَالَ أَدْرَكْتُ عِشْرِينَ وَمِائَةً مِنْ الْأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يسئل أَحَدُهُمْ عَنْ الْمَسْأَلَةِ فَيَرُدُّهَا هَذَا إلَى هَذَا وَهَذَا إلَى هَذَا حَتَّى تَرْجِعَ إلَى الْأَوَّلِ.

Kami meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Layla yang berkata: "saya bertemu dengan 120 sahabat Ansar radhiyallah 'anhum. Salah satu dari mereka ditanya suatu masalah, dan dia meminta yang lain menjawab, yang diminta kemudian meminta yg lain lagi menjawab, sampai akhirnya balik lagi ke orang pertama."

‎وَعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مَنْ أَفْتَى عَنْ كل ما يسئل فَهُوَ مَجْنُونٌ.
‎وَعَنْ الشَّعْبِيِّ وَالْحَسَنِ وَأَبِي حَصِينٍ بفتح الحاء التابعين قَالُوا إنَّ أَحَدَكُمْ لَيُفْتِي فِي الْمَسْأَلَةِ وَلَوْ وَرَدَتْ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لجمع لها أن أَهْلَ بَدْرٍ:

Dari Ibn Mas'ud dan Ibn Abbas: "siapa yang memberi fatwa mengenai setiap masalah maka ia orang gila (majnun)." Dari Tsa'bi, al-Hasan dan Abi Hashayn (tabi'in): "jika salah seorang dari kalian memberi fatwa dan perkara itu sampai ke Umar bin Khattab, beliau akan kumpulkan para ahli badr [untuk melawannya]."

‎وَعَنْ الشَّافِعِيِّ وَقَدْ سُئِلَ عَنْ مَسْأَلَةٍ فَلَمْ يُجِبْ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ حَتَّى أَدْرِيَ أَنَّ الْفَضْلَ فِي السُّكُوتِ أَوْ فِي الْجَوَابِ.
‎وَعَنْ الْأَثْرَمِ سَمِعْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لَا أَدْرِي وَذَلِكَ فِيمَا عُرِفَ الْأَقَاوِيلُ فِيهِ.
‎وَعَنْ الْهَيْثَمِ بْنِ جَمِيلٍ شَهِدْتُ ‎مَالِكًا سُئِلَ عَنْ ثَمَانٍ وَأَرْبَعِينَ مَسْأَلَةً فَقَالَ في ثنتين وَثَلَاثِينَ مِنْهَا لَا أَدْرِي.

Imam Syafi'i ketika ditanya satu masalah dan beliau tidak menjawabnya. Pas ditanya mengapa diam saja, beliau menjawab, "sampai saya tahu apakah lebih baik diam atau memberi jawaban". Dari Al-Atsram bahwa ia mendengar Ahmad bin Hambal seringkali berkata 'saya tidak tahu'. Dari al-Haytsam: saya meyaksikan Imam Malik ditanya 48 masalah, dan beliau menjawab saya "tidak tahu" dalam 32 masalah [hanya sedikit sekali yang beliau jawab].

‎وَعَنْ مَالِكٍ أَيْضًا انه ربما كان يسئل عَنْ خَمْسِينَ مَسْأَلَةً فَلَا يُجِيبُ فِي وَاحِدَةٍ مِنْهَا وَكَانَ يَقُولُ مَنْ أَجَابَ فِي مَسْأَلَةٍ فَيَنْبَغِي قَبْلَ الْجَوَابِ أَنْ يَعْرِضَ نَفْسَهُ عَلَى الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَكَيْفَ خَلَاصُهُ ثُمَّ يُجِيبُ: وَسُئِلَ عَنْ مَسْأَلَةٍ فَقَالَ لَا أَدْرِي فَقِيلَ هِيَ مَسْأَلَةٌ خَفِيفَةٌ سَهْلَةٌ فَغَضِبَ وَقَالَ لَيْسَ فِي العلم شئ خَفِيفٌ.

Diriwayatkan juga dari Imam Malik bahwa beliau ditanya 50 masalah dan tak satupun beliau memberi jawaban. Beliau sering berkata: "sesiapa yang suka memberi jawaban sebaiknya sebelum menjawab ia bayangkan dirinya berada di antara surga dan neraka, dan memikirkan bagaimana nasibnya kelak, baru kemudian ia memberi jawaban." Dalam satu kesempatan Imam Malik ditanya satu masalah dan ia menjawab 'saya tidak tahu'. Kemudian si penanya berkata, 'ini kan masakah ringan'. Imam Malik menjadi marah dan berkata: 'tidak ada hal ringan dalam ilmu pengetahuan!'

‎وقال أبو حنيفة لولا الْفَرَقُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى أَنْ يَضِيعَ الْعِلْمُ مَا أَفْتَيْتُ يَكُونُ لَهُمْ الْمَهْنَأُ وَعَلَيَّ الْوِزْرُ وَأَقْوَالُهُمْ فِي هَذَا كَثِيرَةٌ مَعْرُوفَةٌ

Berkata pula Abu Hanifah: "jika karena tidak takut kepada Allah bahwa ilmu akan lenyap saya tidak akan memberi fatwa. Mereka yang bertanya dapat keuntungan sementara saya kena beban tanggungjawab." Pernyataan para ulama diatas [mengenai kehati-hatian memberi fatwa] sangat banyak dan sudah diketahui bersama.

[Sekarang tiba saatnya saya mengutip satu bagian penting dari kode etik berfatwa ini yang cukup relevan dengan situasi aktual]
‎قَالَ الصَّيْمَرِيُّ وَالْخَطِيبُ إذَا سُئِلَ عَمَّنْ قَالَ أَنَا أَصْدَقُ مِنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَوْ الصَّلَاةُ لَعِبٌ وَشِبْهَ ذَلِكَ فَلَا يُبَادِرُ بِقَوْلِهِ هَذَا حَلَالُ الدَّمِ أَوْ عَلَيْهِ الْقَتْلُ بَلْ يَقُولُ إنْ صَحَّ هَذَا بِإِقْرَارِهِ أَوْ بِالْبَيِّنَةِ اسْتَتَابَهُ السُّلْطَانُ فَإِنْ تَابَ قُبِلَتْ تَوْبَتُهُ وَإِنْ لَمْ يَتُبْ فَعَلَ بِهِ كَذَا وَكَذَا وَبَالَغَ فِي ذَلِكَ وَأَشْبَعَهُ

Berkata al-Shaymari dan al-Khatib: "jika seseorang berkata 'saya lebih jujur ketimbang Nabi Muhammad' atau 'shalat itu cuma permainan' atau ucapan sejenis [yang berupa penistaan agama] maka seorang mufti tidak seharusnya terburu-buru mengeluarkan fatwa 'darah orang ini halal' atau 'orang ini harus dibunuh'.

Sebaiknya mufti berkata 'jika ucapan semacam itu sudah terverifikasi dan terkonfirmasi maka penguasa harus meminta orang tersebut bertaubat. Jika ia bertaubat/meminta maaf maka itu harus diterima. Tetapi kalau ia tidak mau bertaubat/memint amaaf maka penguasa dapat melakukan tindakan ini dan itu."

‎قَالَ وَإِنْ سئل عمن تكلم بشئ يَحْتَمِلُ وُجُوهًا يُكَفَّرُ بِبَعْضِهَا دُونَ بَعْضٍ قَالَ يسئل هَذَا الْقَائِلَ فَإِنْ قَالَ أَرَدْتُ كَذَا فَالْجَوَابُ كَذَا:

Dan jika mufti ditanya mengenai seseorang yang mengucapkan kalimat yang bisa membawanya kepada kekufuran, mufti sebaiknya merespon: 'orang yang mengucapkan hal ini harus ditanya terlebih dahulu. Jikalau yang dimaksud dari kalimatnya adalah demikian maka hukumnya seperti demikian.'

Kawan,
Demikian petikan dari Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu'. Ini adalah salah satu kitab rujukan utama dalam fiqh. Seperti kita telah mengaji bersama di atas, seorang mufti bukan saja harus berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa tapi juga harus melakukan verifikasi, konfirmasi dan klarifikasi akan ucapan seseorang sebelum kemudian mengeluarkan fatwa mengenai ucapan tersebut. Pendek kata, Imam Nawawi menghendaki tabayun dulu lah!

Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Kenalin Saya

Foto saya
GURUKU KYAI BUKAN MBAH GOOGLE Belajarlah agama kepada guru yang sanad keilmuannya sampai kepada Rasulullah. Belajar langsung dengan bertatap muka kepada guru fadhilahnya sangat agung. Dikatakan bahwa duduk di majelis ilmu sesaat lebih utama daripada shalat 1000 rakaat. Namun jika hal itu tidak memungkinkan karena kesibukan yang lain, maka jangan pernah biarkan waktu luang tanpa belajar agama, untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun tetap harus di bawah pantauan atau bimbingan orang yang ahli. HATI-HATI DENGAN GOOGLE Jika anda suka bertanya hukum kepada mbah google, pesan kami, hati-hati karena sudah banyak orang yang tersesat akibat tidak bisa membedakan antara yang salaf dengan yang salafi. Oleh karena itu untuk membantu mereka kaum awam, kami meluncurkan situs www.islamuna.info sebagai pengganti dari google dalam mencari informasi Islam. Mulai sekarang jika akan bertanya hukum atau info keislamna, tinggalkan google, beralihlah kepada Islamuna.info Googlenya Aswaja.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. JIHAD ILMIAH - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template