Home »
Ulama Nusantara
» MBAH FAYUMI MUNJI KAJEN DAN MBAH ZUBAIR SARANG
MBAH FAYUMI MUNJI KAJEN DAN MBAH ZUBAIR SARANG
Written By Guruku Kyai Bukan Mbah Google on Rabu, 08 Maret 2017 | 11.16
KH. Ahmad Fayumi memulai pendidikan formalnya di Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen Margoyoso Pati, Pada waktu itu di Mathole’ (orang biasa menyebut) belum terdapat pendidikan di tingkat Aliyah. Jadi, beliau hanya berhenti sampai di tingkat Tsanawiyah. Meskipun hanya sebatas itu, kualitas ilmunya luar biasa. Terutama dalam bidang agama. Beliau merupakan penghafal yang handal. Tidak hanya hafal 1000 bait Alfiyah, namun hampir semua kitab beliau hafalkan. Dan kebanyakan orang yang menyelesaikan pendidikan di Mathali’ul Falah pada masa itu adalah orang yang alim.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Mathali’ul Falah, KH. Ahmad Fayumi kemudian melanjutkan dengan mengaji surau (bandongan) kepada Kiai Muhammadun, yang merupakan pengasuh juga sekaligus pendiri Pondok APIK Kajen. Mbah Muhammadun mengajarkan keteladanan atas keilmuan dan sikap yang selalu dibawa serta telah tertanam di dalam benak Mbah Fayumi. Beliau merupakan guru besar bagi Mbah Fayumi.
Karena sifat KH. Ahmad Fayumi yang terus haus akan ilmu pengetahuan. Maka beliau melanjutkan mengajinya di Pondok Sarang Rembang yang pada saat itu diasuh oleh KH. Zubair, bapak dari KH. Maimoen Zubair. Di Sarang beliau mengaji selama 9 bulan. “Bapak disik mondok sangang wulan dibagi telu” kenang Gus Ismail Fayumi mengingat cerita dari sang bapak, KH. Ahmad Fayumi. Bahwasanya dalam 3 bulan pertama Mbah Fayumi membawa beras sendiri dari ndalem (rumahnya) untuk kebutuhan makan. Kemudian 3 bulan setelahnya mbah Fayumi diutus untuk makan ikut ndalem (di rumah kiainya) karena beliau dipercaya oleh Mbah Zubair untuk membantunya dalam berbagai urusan. Nah, kebetulan di Rembang terkenal dengan kampung nelayan. Maka, disana banyak diadakan pergelaran berbagai macam acara. Berhubung Mbah Fayumi adalah santri senior beliaupun sering diundang oleh warga kampung untuk mengisi acara, baik tahtiman, tasyakuran ataupun yang lainnya. Hal tersebutlah yang membuat Mbah Fayumi bisa bertahan 3 bulan berikutnya.
Di pondoknya, beliau sudah di kenal oleh santri yang lain sebagai santri yang sudah terampil baca kitab. Sehingga mereka sering meminta kepada Mbah Fayumi untuk diajarkan membaca kitab-kitab ringan, seperti halnya kitab Nahwu. Ketika Mbah Zubair mengetahui hal itu, Mbah Fayumi diutus untuk menghadap beliau. Mbah Fayumi yang telah menduga sebelumnya, beliau merasa takut. Takut dianggap lancang karena telah berani mengajar di pondok tanpa seizin pengasuh. Pikirnya, santri macam apa dirinya yang seharusnya mengaji justru malah mengajar. Namun ketika Mbah Fayumi nyuwun ngapura (meminta maaf) kepada Mbah Zubair, beliau justru mempersilakan Mbah Fayumi untuk melanjutkan (mengajarnya). “Mboten kula sa’estu nyuwun ngapunten, kula ting mriki badhe ngaos” ungkap Mbah Fayumi. “Aku wes gawene ndungu kowe ngaji, bener ngajimu, wes teko terusno” jelas Mbah Zubair.
Terlebih lagi setiap kitab yang dibaca oleh Mbah Fayumi sering kali diberi sanad langsung oleh Mbah Zubair. Sanad sendiri adalah silsilah orang yang belajar kitab kepada mualifnya (pengarangnya). “Pokoke kitab seng dak waca kabeh mau oleh sanade mbok nisbatna ning aku” kata Mbah Zubair menajamkan penjelasannya kepada Mbah Fayumi.
Harapan seorang santri memang seperti itu. Ilmu yang didapat telah diridhai oleh gurunya. Lalu ketika Mbah Fayumi telah merasa cukup dengan semua yang didapat di Sarang. Beliapun memutuskan untuk pulang lagi ke tanah kelahirannya di Kajen.
Pesan beliau Mbah Fayumi yang selalu diingat oleh Santri2 beliau saat Ngaji kitab kuning di Ponpes Raudlatul Ulum (PPRU Kajen) yaitu "Ngajio kitab kuning, besok kitab kuning dadi Mutiara"
kategori:
Ulama Nusantara
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !