Penulis pernah diajari secara pribadi ilmu falak ini, tapi karena memang bukan ahlinya, sampai sekarang masih belum mampu. Hal ini menunjukkan Kiai Fayumi sangat senang jika ilmunya berhasil diwarisi para santrinya. Memang sampai sekarang, ilmu falaq termasuk ilmu yang langka. Hanya orang-orang tertentu yang mampu memahami ilmu ini.
Penulis diberi kesempatan Allah SWT belajar di pondok asuhan Kiai Fayumi, yaitu Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Kajen Tengah selama kurang lebih 3 tahun. Bulan Dzulhijjah yang tahun masehinya 1995, setelah menyelesaikan studi di Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah Misbahul Ulum Pasucen Trangkil Pati, penulis diantar ayah Bapak Irham Asmani menginjakkan kaki di pondok pesantren Raudlatul Ulum.
Bulan safar tahun masehinya 1998 setelah haul Mbah Ronggokusomo penulis pamitan (boyong) dari pondok tercinta ini. Penulis sebenarnya sudah menyelesaikan pendidikan di Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) Kajen pada bulan Sya’ban. Tapi penulis menunggu teman-teman lain yang kebetulan belajar di Madrasah Salafiyah dan yang lain yang akhir studinya lebih lama, karena memakai tahun masehi, sedangkan PIM menggunakan tahun hijriyah.
Awal-awal hidup di pondok bagi penulis tentu sangat berat. Waktu itu, sehari di pondok seperti satu tahun. Biasanya bertemu dengan keluarga, mulai di pondok jauh dari keluarga. Alhamdulillah dengan bimbingan Kiai Fayumi dan ijazah yang diberikan, penulis merasa nyaman (kerasan) di pondok sampai selesai.
Selama tiga tahun di pondok Raudlatul Ulum, penulis melihat, merekam, dan mereguk lautan ilmu dan hikmah dari Sang Kiai. Kiai pesantren adalah pusat segala-galanya, sehingga semua ucapan, tindakan, dan perilakunya menjadi teladan para santri. Santri yang baik selalu menjadikan kiainya sebagai teladan, sehingga ia mampu menyerap dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat yang membawa berkah di dunia dan akhirat. Menurut KH. Ahmad Mustain Syafii (Asmani, 2007), kiai pesantren lebih mengedepankan aspek tarbiyah (mendidik santri dengan internalisasi nilai-nilai) dari pada ta’lim (mengajarkan ilmu-ilmu).
Inilah keunggulan utama pesantren sebagai lumbung pendidikan karakter bagi anak bangsa. Dari rahim pesantren, lahir tokoh-tokoh hebat, seperti KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hazbullah, KH. Bisyri Syamsuri, KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid, KH. MA. Sahal Mahfudh, KH. Zubair Dahlan, KH. Ahmad Fayumi Munji, KH. Maimun Zubair, dan KH. A. Nafi’ Abdillah.
Selama penulis di pondok, banyak kitab yang dikaji Kiai Fayumi, seperti Nuur al-Dhullam, Sullamul Munajat, Tahrir, Tausyih ala Fathil Qarib, Nashaihul Ibad, Anwarul Masalik, Al-Adzkar, dan masih banyak lagi. Kiai Fayumi termasuk kiai yang sangat mencintai kitab kuning, sehingga beliau akan tetap membaca kitab, meskipun kondisinya kurang sehat, terutama pita suaranya yang terganggu.
Pada saat pengajian Ramadhan, Kiai Fayumi membaca kitab-kitab besar, sehingga sampai larut malam. Beliau sangat menikmati pengajian kitab kuning, sehingga berjam-jam dihabiskan untuk membaca kitab kuning di hadapan para santri. Beliau berwasiat kepada para santri untuk serius mempelajari kitab kuning. Kitab kuning adalah penjaga paham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang di dalamnya ada materi akidah, fiqh, dan tasawuf.
Secara struktural, Kiai Fayumi termasuk pengurus teras NU. Beliau pernah menjadi Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Pati, kemudian menjadi Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah. Istri beliau, Hj. Yuhanidz Fayumi pernah menjadi Ketua Muslimat NU Cabang Pati. Putri beliau Hj. Niswah pernah menjadi Ketua Fatayat NU Pati. Putri beliau Hj. Ulfah adalah aktivis muslimat Rembang.
Adapun putri beliau yang berkarir sampai level pusat adalah Hj. Badriyah, aktivis Fatayat Pusat, pernah menjadi anggota DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan pernah menjadi ketua KPAI (Komisi Perlindungan Anak dan Ibu). Putri beliau yang lain Hj. Fathimah Al-Hafidzah mengikuti suami di Jakarta Selatan, berdakwah di tengah masyarakat dan mendidik anak-anak Al-Qur’an dan dasar-dasar Islam. Dua putra beliau, Gus Ismail aktif mengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum. Sedangkan Gus Abdullah Umar, selain aktif mengasuh pondok, juga aktif berdakwah di masyarakat yang diadakan di masjid-masjid, baik di Pati, Jepara, dan daerah-daerah lain.
KH. Ahmad Fayumi memberikan teladan yang baik bagi keluarga beliau dan para santri, baik dalam konteks kepala rumah tangga, pengasuh pondok, dan pemimpin organisasi.dalam konteks organisasi, beliau aktif mengikuti acara-acara penting NU, mulai level cabang, wilayah, dan pusat, seperti Muktamar, Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes). Penulis pernah dereake (menemani) Kiai Fayumi dalam acara Pengurus Wilayah NU Jawa Tengah yang bertempat di Pemalang.
Forum yang sangat digandrungi Kiai Fayumi adalah Bahtsul Masail Diniyah, sehingga meskipun beliau sudah menjadi pengurus NU Jawa Tengah, ketika acara bahtsul masail di Majlis Wakil Cabang NU (MWCNU) Margoyoso, beliau hampir selalu hadir untuk memberikan dukungan dan semangat kepada para santri dan yunior-yunior beliau. Memang idealnya, menjadi pengurus NU tidak diukur dari hirarki strukturnya, tapi dari geografis wilayahnya, sehingga ia mempunyai tanggungjawab menghidupkan organisasi NU di wilayahnya masing-masing, tentu dengan koordinasi dengan pengurus NU setempat.
Mencintai Fiqh
Kecintaan Kiai Fayumi terhadap fiqh tidak lepas dari pengembaraan intelektualnya. Beliau ditempa di Kajen di bawah asuhan bapaknya KH. Munji. Beliau belajar di Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM) di bawah asuhan KH. Abdussalam dan KH. Mahfudh Salam.
Salah satu guru istimewa beliau adalah KH. Muhammadun Abdul Hadi, murid dari KH. Mahfudh Salam yang pakar di bidang ushul fiqh. KH. Muhammadun inilah yang merekomendasikan Kiai Fayumi sebagai hakim pengadilan agama Pati sebagai pengakuan guru terhadap integritas dan kapabilitas anak didiknya.
Setelah dari PIM, Kiai Fayumi melanjutkan pengambaraan intelektualitasnya ke Pondok Sarang di bawah bimbingan Kiai Zubair Dahlan. Tidak lama Kiai Fayumi belajar di Sarang, selama kurang lebih sembilan bulan. Hal ini tidak lepas dari keterbatasan biaya. Meskipun hanya sebentar belajar di Sarang, KH. Ahmad Fayumi Munji sukses mereguk banyak ilmu dan hikmah dari KH. Zubair Dahlan, seorang kiai yang berhasil melahirkan banyak ulama besar.
Karakter Kiai Fayumi
Ada banyak karakter Kiai Fayumi yang menonjol. Pertama, istiqamah. Jika tidak ada udzur syar’i, Kiai Fayumi berusaha menjalankan rutinitas harian di pesantren, seperti menjadi imam shalat berjamaah dan mengaji kitab. Rutinitas kegiatan di pesantren menjadi sarana efektif seorang kiai dalam mentransfer ilmu dan internalisasi nilai-nilai karakter kepada para santri.
Hal ini tidak lepas dari tugas agung kiai dalam menanamkan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang kuat, memperbaiki akhlak, dan membekali para santri ilmu-ilmu agama yang dibutuhkan dalam kehidupannya, di dunia dan akhirat. Sebagai rule model, Kiai melaksanakan tugas tersebut dengan penuh kesungguhan, lahir maupun batin.
Kedua, telaten dan open (menyempatkan waktu). Beliau betul-betul meluangkan waktu mendidik para santri. Dalam konteks shalat berjamaah, beliau langsung turun ke kamar-kamar santri, membangunkan mereka untuk membantu pengurus pondok. Santri-santri langsung lari ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu’ ketika mengetahui yang membangunkan adalah kiainya sendiri.
Setelah pengajian ba’da shubuh, Kiai Fayumi juga keliling pesantren untuk memonitoring para santri, apakah mereka sudah berangkat sekolah atau ada yang absen. Jika ketemu santri yang tidak berangkat sekolah, beliau langsung bertanya alasannya, apakah sakit atau ada faktor lain. Ketelatenan Kiai Fayumi ini sungguh luar biasa. Amanah yang diberikan orangtua santri dijalankan dengan penuh kesungguhan, keikhlasan, keceriaan, dan ketekunan.
Memupuk Bibit Unggul
Ketiga, kaderisasi. Dalam konteks kaderisasi ini, Kiai Fayumi sangat gigih. Beliau menjadikan koleksi kitab beliau di ruang tamu sebagai tempat persiapan bahtsul masail para santri. Beliau sangat senang melihat para santri sungguh-sungguh membuka kitab kuning, membaca, memahami isinya, dan menjadikannya sebagai jawaban dari persoalan yang dibahas. Bahkan, beliau membolehkan kitab-kitab beliau dibawa ke perpustakaan pondok untuk pendalaman santri.
Penulis kebetulan menjadi seksi pendidikan pondok yang bertugas mengawal proses bahtsul masail di pondok, sehingga sering berinteraksi dengan Kiai Fayumi dalam hal persiapan bahtsul masail, baik internal pondok maupun ke luar. Ketika mengikuti forum bahtsul masail, Kiai Fayumi selalu mengajak santrinya supaya mereka termotivasi belajar kitab secara serius sebagaimana para santri dan kiai yang mampu memberikan jawaban persoalan-persoalan masyarakat dalam forum bahtsul masail dengan kemampuan membaca dan menyampaikan argumentasi yang memadai.
Keempat, sederhana. KH. Ahmad Fayumi adalah sosok yang tidak mengenal prestise. Beliau tidak canggung shilaturrahim ke rumah kiai dengan naik dokar dan bis. Penulis pernah menemani beliau mengunjungi temannya, Kiai Zuhdi Kayen, mertua Bapak Kiai Abdul Hamid Kajen dan mertua KH. Abdullah Bahij, salah satu rais Syuriyah PCNU Pati sekarang. Jalan kaki meskipun panjang, beliau jalani dengan biasa.
Ketika penulis datang ke Pondok Raudlatul Ulum dengan naik dokar dari perjalanan jauh dari Pondok Jombang, penulis dengan rahmat Allah sesampai ke pondok bertemu langsung dengan Kiai Fayumi yang kebetulan duduk di teras rumah. Penulis kemudian diingatkan Kiai Fayumi dengan dawuh “wes dadi santri kota numpak dokar” (sudah menjadi santri kota naik dokar).
Penulis sadar bahwa kesederhanaan harus menjadi karakter utama santri meskipun sudah hidup di kota. Kebetulan setelah dari PP. Raudlatul Ulum Kajen, penulis melanjutkan belajar di Pondok Pesanten Sunan Ampel Jombang yang berada di pusat kota Jombang.
Kelima, wira’i, yaitu menjaga diri dari hal-hal yang haram dan syubhat. Sebagai seorang kiai yang menanamkan nilai-nilai keikhlasan dan kecintaan ilmu, maka wira’i adalah keharusan. Kesuksesan internalisasi nilai ini tidak lepas dari kehati-hatian seseorang dalam menjaga diri dari perbuatan haram dan syubhat. Sebagai seorang hakim agama, Kiai Fayumi menolak keras risywah (suap) yang diberikan orang yang sedang berperkara dalam persidangan. Beliau menghindari betul-betul suap dan sejenisnya yang sangat dilarang dalam agama yang mencederai kejujuran, kebenaran dan keadilan.
Keenam, ikhlas. Ikhlas adalah melakukan sesuatu karena Allah, bukan karena yang lain. Sebagai pengasuh pondok pesantren dan pemimpin organisasi sosial keagamaan, KH. Ahmad Fayumi menekankan keikhlasan dalam berbuat supaya mendapat ridla Allah. Para santri didorong untuk sungguh-sungguh menuntut ilmu supaya mendapatkan ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu yang benar-benar diamalkan dan disebarluaskan kepada masyarakat dengan ikhlas. Tanpa keikhlasan, maka hilanglah kemanfaatan dan keberkahan ilmu. Keikhlasan itulah yang menjadikan ilmu berbuah manis, sehingga bisa dirasakan orang lain.
Ketujuh, shilaturrahim. Kiai Fayumi termasuk kiai yang senang shilaturrahim. Dalam shilaturrahim ini, salah satu yang diperhatikan Kiai Fayumi adalah alumni pondok. Penulis pernah diajak shilaturrahim ke rumah KH. Abdurrahman Adam yang kebetulan menjadi pengasuh pondok di daerah Gabus Pati. Perhatian Kiai Fayumi kepada alumni sangat besar.
Penulis merasakan sendiri perhatian ini.
Ketika penulis melanjutkan studi di Pondok Pesantren Sunan Ampel Jombang, Kiai Fayumi berkenan mengunjungi penulis di pondok asuhan KH. Taifiqurrahman Muhit Hasbullah ini. Kiai Fayumi melihat kamar penulis dan bercengkrama dengan akrab. Penulis menjadi rikuh dikunjungi kiainya yang telah mendidiknya dengan penuh keikhlasan.
Ketujuh karakter Kiai Fayumi ini menyinari ruh para santri dalam menjalani kehidupan di pesantren yang padat kegiatan.
Semoga maghfirah dan rahmah Allah SWT. menyirami ruh KH. Ahmad Fayumi Munji di alam barzakh, amiin.
الي روح شيخنا ومربي روحنا الشيخ الحاج احمد فايومي منجي الفاتحة ..... امين
* Jamal Ma'mur, Alumnus PP. Raudlatul Ulum Kajen Pati 1998.
Assalamualaikum.. Kalau keluar th. 1998 kira2 apa kita pernah saling kenal ya? Aku juga alumni PPRU keluar th. 1998.
BalasHapus