KH Ali Maksum adalah putra pertama dari KH Ma’shum bin KH Ahmad Abdul Karim dengan Nyai Hj. Nuriyah binti KH Muhammad Zein Lasem, yang lahir pada tanggal 02 Maret 1915 di desa Soditan Lasem kabupaten Rembang, di tengah gencarnya kaum modernis (pembaharu) melancarkan serangan terhadap keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang dipandang menghambat kebebasan berijtihad, mengembangkan pemikiran iirasional semacam khurafat, takhayul, dan bid’ah, serta dianggap sulit diajak untuk maju.
Keluarga KH Ali Maksum adalah keluarga yang kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari nilai-nilai kepesantrenan. KH Ma’shum yang terkenal dengan panggilan Mbah Ma’shum ini merupakan pendiri sekaligus pengasuh pesantren Al-Hidayah di desa Soditan, Lasem, Rembang. Sejak kecil, KH Ali Maksum belajar dan dididik secara keras di pesantren ayahnya sendiri yang saat itu menjadi pusat rujukan para santri dari berbagai daerah, terutama dalam pengajaran kitab Alfiyah Ibnu Malik beserta syarahnya Ibnu ‘Aqil dan kitab Jam’ul Jawami’.
Pada usia 12 tahun, Mbah Ma’shum menitipkan pendidikan anaknya itu kepada temannya, yakni KH Dimyathi yang memimpin pesantren Tremas Pacitan Jawa Timur. Dengan kondisi pesantren Tremas yang sangat mendukung pengembangan keilmuan tersebut, maka pada tahun 1927 M, Ali Maksum dikirim ke pesantren Tremas untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Oleh KH Dimyathi, Ali Maksum secara istimewa diminta untuk tidak tinggal di kamar-kamar santri pada umumnya, akan tetapi tinggal di komplek ‘ndalem’, yakni komplek keluarga pak Kiai. Dalam hal ini KH Ma’shum menitipkan putranya yang bernama Ali Maksum kepada KH Dimyathi di pesantren Tremas, sementara KH Dimyathi sendiri menitipkan putranya yang bernama Hamid Dimyathi dan Habib Dimyathi kepada KH Ma’shum di pesantren Al-Hidayah Lasem.
Ali Maksum, yang dikalangan para santri, teman-teman dan keluarga pesantren lebih dikenal dengan panggilan Wak Ali ini, nampak paling menonjol diantara para santri yang lain dan sudah menampakkan bakat-bakat keulamaannya. Hal ini bukan disebabkan oleh kebesaran nama ayahnya, melainkan karena kejeniusan otaknya, ketekunan belajarnya, kedalaman ilmunya, keluasan wawasannya, penguasaan terhadap kitab-kitab kuning, kreatif, inovatif, jiwa kepemimpinannya, dan hal-hal yang lain.
Wak Ali sangat semangat dalam belajarnya sampai-sampai kamarnya berantakan karena di sana-sini banyak kitab-kitabnya berserakan dalam keadaan terbuka. Yang dipelajari Wak Ali bukan hanya terbatas pada kitab-kitab mu’tabarah karya ‘ulama salaf saja, akan tetapi juga mempelajari kitab-kitab tulisan ‘ulama pembaharu sperti kitab Tafsir Al-manar karya Rasyid Ridha murid Muhammad Abduh, kitab Tafsir Al-Maraghi dan lain-lain. Wak Ali juga gemar mempelajari Ilmu Tafsir Al-Qur’an yang nantinya mengantarkan dirinya menjadi seorang ‘ulama ahli tafsir yang terkemuka di Indonesia.
KH Ali Maksum menunjukkan pengusaannya di bidang bahasa Arab beserta cabang-cabangnya, dan inilah yang mengantarkan beliau berhasil menciptakan metode baru dalam pembelajaran ilmu shorof yang dinilai cukup praktis dan efektif, berjudul “Ash-Sharful Wadhih”. Metode ini berbeda dengan metode shorof yang sudah familiar saat itu, misalnya metode tashrif susunan Kiai Muhammad Ma’shum bin Ali dari Jombang dalam kitabnya yang berjudul “Al-Amtsilah at-Tashrifiyah”. Mengingat kejeniusannya, ketekunan belajarnya, kedalaman, dan keluasan ilmunya, sebelum ‘boyong’ ke Lasem, Wak Ali dipercaya oleh KH Dimyathi untuk mengajar para santri dalam usia yang sangat muda.
Sepulangnya ke Lasem pada tahun 1935, KH Ali Maksum membantu ayahnya mengajar di pesantren Al-Hidayah. Dan juga membenahi sistem pendidikan dan pengajaran pesantren. Pembaharuan yang beliau lakukan tetap berpedoman pada prinsip “Al-muhafadzatu ‘ala al qadimi ash shalih, wa al akhdzu bi al jadidi al ashlah”, yaitu mempertahankan tradisi lama yang masih baik (layak) dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.
Pada tahun 1938, KH Ali Maksum menikahi Nyai Hj. Hasyimah putri KH. Muhammad Munawwir Krapyak Yogyakarta. Beberapa hari setelah pernikahannya, KH Ali Maksum mendapat tawaran untuk haji ke Baitullah, kesempatan ini digunakan oleh beliau untuk thalabul ‘ilmi, mengaji kepada beberapa ‘ulama besar di Makkah Al-Mukarramah. Di antaranya berguru kepada Sayyid Alwi Abbas Al-Maliki (ayah sayyid DR. Muhammad Alwi Abbas Al-Maliki, syaikh Umar Hamdan dan lain sebagainya.
Sepeninggal KH. Muhammad Munawwir, kepemimpinan pesantren Krapyak kemudian diambil alih oleh kakak beradik, KH.R. Abdullah Affandi Munawwir sebagai penanggung jawab dalam urusan sarana prasarana pesantren dan hubungan dewngan luar pesantren, dan KH.R. Abdul Qadir Munawwir sebagai penanggung jawab dalam urusan pengajaran Al-Qur’an. Namun, bersamaan dengan itu, masuknya penjajah Jepang ke Indonesia semakin memperparah kondisi pesantren. Apalagi pesantren masih berkabung dengan wafatnya KH. Muhammad Munawwir pada hari Jum’at, 11 Jumadil Akhirah 1361 H.
Akhirnya, setelah keluarga Bani Munawwir musyawarah, memutuskan untuk mengirim utusan kepada KH. Ali Maksum untuk memboyong beliau ke Krapyak. Setelah tiga kali diminta keluarga Krapyak, meskipun dengan berat hati KH Ali menerima ajakan itu. KH Ma’shum dan semua keluarga Lasem pun merelakan Kiai Ali diboyong ke Krapyak. Selain itu, pada tahun 1960-an, tatkala PKI tengah gencar-gencarnya memusuhi kaum muslimin dan mengancam para kiai, Kiai Ali diminta menjadi Rais Syuriah PWNU propnsi DI Yogyakarta secara terus menerus sampai beliau dikukuhkan sebagai Rais ‘Am PBNU menggantikan posisi KH Bisri Syansuri yang wafat.
Pembawaan Kiai Ali yang santun, tenang dan mengesankan, serta sifatnya yang lemah lembut, grapyak (mudah bergaul) dengan siapa saja yang ditemui, tutur katanya yang manis, serta raut wajahnya yang selalu ceria dan sumringah dengan hiasan senyumannya yang khas menyebabkan beliau disukai oleh siapa saja. Kiai Ali dikenal sebagai tokoh modernis NU, ide-ide segarnya menjadi motor penggerak terjadinya perubahan dan pembaharuan.
Ketika dilangsungkannya muktamar NU ke-28 di pesantren Al-Munawwir Krapyak Kiai Ali dalam keadaan sakit, tetapi Kiai Ali masih menerima para tamu dengan berbaring di kamarnya. Seminggu setelah Muktamar, KH Ali Maksum dibawa dan dirawat di RS dR Sardjito selama seminggu, kemudian wafat pada pukul 17.55 pada hari Kamis malam Jum’at, tanggal 07 Desember 1989 dalam usia 74 tahun. Beliau wafat meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Hasyimah Munawwir dan 8 orang putra- putri yaitu, 1) Adib (wafat saat masih kecil), 2) KH Atabik Ali, 3) KH Jirjis Ali, 4) Nyai Hj. Siti Hanifah Ali, 5) Nyai Hj. Durroh Nafisah Ali, 6) Nafi’ah (wafat masih kecil), 7) M. Rifqi Ali (Gus Kelik), 8) Nyai Hj. Ida Rufaida Ali.
Jenazahnya dilepas dari masjid pesantren Krapyak setelah shalat jum’at dan dikebumikan berdampingan dengan makam KH Muhammad Munawwir di dusun Senggotan, Dongkelan. [] (Nur Hikmah)
GUBAHAN SYIIR ALI MAKSUM
Pak Ali, demikian para santrinya menyapa, banyak melahirkan karya baik buku maupun syiir (syair bernada) penggugah jiwa. Isi kandungan dari “syiir shalawatan” gubahan Kiai Ali mengingatkan kaum muslimin tentang kondisi kehidupan yang mesti dialami oleh setiap orang yang wafat. Ketika wafat, seseorang akan berpisah dari keluarga dan harta bendanya.
Setelah mengantar ke kuburan, mereka lalu meninggalkannya. Seluruh harta yang ditinggalkan tidak akan dibawa, kecuali selembar kain kafan. Ironisnya, bahkan harta warisannya bakal menjadi rebutan. Saat menghadap kehadirat Allah dalam keadaan sendirian nyaris tanpa teman seorang pun.
Berikut petikan syiir karya Mbah Ali Ma’shum dalam bahasa Jawa:
Kulo sowan nang Pangeran // Kulo miji tanpo rencang //
(Aku menghadap Tuhan. Aku sendirian tanpa teman)
Tanpo sanak tanpo kadang // Bondho kulo ketilaran //.
(Tanpa keluarga tanpa famili. Hartaku pun ketinggalan)
Yen manungso sampun pejah // Uwal saking griyo sawah //
(Jika manusia sudah mati, berpisahlah dari rumah dan sawah)
Najan nangis anak simah // Nanging kempal boten betah //.
(Meski anak istri menangis, [mereka] tak akan betah menemani)
Senajan berbondho-bondho // Morine mung sarung ombo //
(Kendati kaya raya, kain kafannya hanya sarung besar)
Anak bojo moro tuwo // Yen wis nguruk banjur lungo //.
(Anak, istri, mertua, kalau selesai menimbun [makam] lalu pergi)
Yen urip tan kebeneran // Bondho kang sak pirang-pirang //
(Jika hidupnya penuh kebetulan, harta yang bertumpuk-tumpuk)
Ditinggal dienggo rebutan // Anak podho keleleran //.
(Ditinggal dibuat rebutan, anak pun jadi terabaikan)
Yen sowan kang Moho Agung // Ojo susah ojo bingung //
(Jika menghadap Tuhan Maha Agung, jangan susah jangan bingung)
Janji ridhone Pangeran // Udinen nganggo amalan.
(Janji ridlo Tuhan, carilah dengan amal sholeh).
Home »
Ulama Nusantara
» KIAI ALI MAKSUM, MENANTU YANG TAKZIM MERTUA
KIAI ALI MAKSUM, MENANTU YANG TAKZIM MERTUA
Written By Guruku Kyai Bukan Mbah Google on Selasa, 14 Maret 2017 | 09.28
kategori:
Ulama Nusantara
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !