Keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim adalah meyakini bahwa Allah Maha Sempurna dan Maha Suci dari segala kekurangan. Allah Maha Suci dari menyerupai makhluk-Nya. Allah swt tidak berada di suatu tempat, tidak di langit tidak di bumi. Allah Maha Suci dari tempat dan arah. Allah ada tanpa tempat.
Inilah keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim. Dalam ilmu akidah atau teologi, keyakinan semacam ini dibahasakan bahwa Allah memiliki sifat Mukhalafatuhu lil-Hawaditsi, yaitu Allah swt tidak menyerupai makhluk-Nya.
Berikut ini penjelasan dan pernyataan dari para sahabat Rasulullah SAW dan ulama madzhab, serta para ulama lainya dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah dalam penjelasan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya dan penjelasan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.
Abd al-Qahir al-Bagdadi (w. 429 H) dalam kitabnya al-Farq baina al-Firaq mengatakan:
واجمعوا على انه لا تحويه السماء ولا يجري عليه الزمان
“Telah terjadi ijmak (kesepakatan) ulama bahwa Allah Ta’ala itu tidak diliputi oleh langit dan tidak berlaku zaman atas-Nya.”
Untuk menguatkan pernyataan beliau di atas, al-Baghdadi mengutip perkataan Sayyidina Ali r.a. (w 40 H) sebagai berikut :
إنّ اللهَ خَلَقَ العَرْشَ إْظهَارًا لِقُدْرَتهِ وَلَمْ يَتّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan arasy untuk menampakkan kekuasaan-Nya, bukan untuk tempat bagi zat-Nya.”
dan perkataan Sayyidina Ali r.a yang lain :
كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَان وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَليْه كَانَ
“Allah ada tanpa tempat, dan Dia (Allah) sekarang tetap sebagaimana pada sifat-Nya yang azali (ada tanpa tempat)”.
Al-Imam Ja’far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal ‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain (w 148 H) adalah dari kalangan tabi'in, ia berkata:
مَنْ زَعَمَ أنّ اللهَ فِي شَىءٍ أوْ مِنْ شَىءٍ أوْ عَلَى شَىءٍ فَقَدْ أشْرَكَ، إذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَىءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً وَلَوْ كَانَ فِي شَىءٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىءٍ لَكَانَ مُحْدَثًا أىْ مَخْلُوْقًا
“Barang siapa berkeyakinan bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu maka ia adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baru (makhluk)” (Diriwayatkan oleh al-Imam al-Qusyairi dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah, hal: 6).
Ahli fiqih terkemuka; al-Imam Abu Ishaq asy-Syirazi asy-Syafi’i al-Asy’ari (w 476 H) pada kitab ‘Aqidah asy-Syirazi dalam Muqaddimah Kitab Syarh al-Luma’, juz. 1, hal. 101 yg beliau tuliskan berkata:
وإن استواءه ليس باستقرار ولا ملاصقة لأن الاستقرار والملاصقة صفة الأجسام المخلوقة، والرب عز وجل قديم أزلي، فدل على أنه كان ولا مكان ثم خلق المكان وهو على ما عليه كان
“Dan sesungguhnya istiwa’ Allah bukan dalam pengertian bertempat (bersemayam) menempel, karena bertempat dan menempel adalah sifat segala benda yg merupakan makhluk, sementara Allah maha Qadim dan Azaliy (tidak bermula), dengan demikian itu menunjukan bahwa Allah ada pada azal tanpa tempat, dan setelah Dia menciptakan tempat maka Dia sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat (karena Allah tidak berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain)”.
Ibnu al-Jauzi (w. 597 H), salah seorang ulama hadits bermazhab Hanbali menyebut dalam kitabnya, Daf’u Syubah al-Tasybih bi Akaffi al-Tanzih sebagai berikut :
قد ثبت عند العلماء أن الله تعالى لا تحويه السماء والارض ولا تضمه الاقطار ، وإنما عرف بإشارتها تعظيم الخالق عندها
“Telah ditetapkan di kalangan para ulama bahwa Allah Yang Maha Tinggi tidak diliputi oleh langit dan bumi dan tidak pula dihimpun oleh penjuru. Akan tetapi ditunjuk kearah langit sebagai pengagungan Dzat Maha Pencipta.”
Mulla Ali al-Qarii (w. 1014 H), seorang ulama hadits terkenal dalam kitabnya Syarh Fiqh al-Akbar karya Abu Hanifah, mengatakan bahwa Syeikh al-Imam Ibnu Abdussalam dalam kitabnya Hall al-Rumuz mengatakan :
قال الامام ابو حنيفة رضي الله عنه : من قال لا اعرف الله تعالى في السماء هو ام في الارض فقد كفر لان هذا القول يوهم ان للحق مكانا ومن توهم ان للحق مكانا فهو مشبه
“Imam Abu Hanifah mengatakan, Barangsiapa yang mengatakan saya tidak tahu apakah Allah berada di langit ataukah berada di bumi maka dia telah kafir, karena perkataan ini memberikan persangkaan bahwa Allah bertempat, dan barang siapa yang menyangka bahwa Allah bertempat maka ia adalah musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluq-Nya).”
Ibnu Hajar al-Asqalany (w. 852 H), seorang ahli hadits terkenal bermazhab Syafi’i mengatakan dalam kitabnya, Fathul Barri sebagai berikut :
فإن إدراك العقول لاسرار الربوبية قاصر فلا يتوجه على حكمه لم ولا كيف ؟ كما لا يتوجه عليه في وجوده أين
“Sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan untuk menetapkan-Nya, mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Zat-Nya, di mana?.”
Keyakinan adanya Allah di langit bertentangan dengan penjelasan al-Asqalani di atas yang mengatakan bahwa wujud Allah tidak dapat diisyaratkan dengan kata-kata : “di mana?”. Karena langit merupakan tempat yang dapat menjadi jawaban pertanyaan “di mana”.
Al-Imam al-Mujtahid Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 204 H), perintis madzhab Syafi’i, dalam salah satu kitab karyanya, al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, menuliskan:
فصل) وَاعْلَمُوْا أنّ اللهَ تَعَالَى لاَ مَكَانَ لَهُ، وَالدّلِيْلُ عَلَيْهِ هُوَ أنّ اللهَ تَعَالَى كَانَ وَلاَ مَكَانَ فَخَلَقَ الْمَكَانَ وَهُوَ عَلَى صِفَةِ الأزَلِيّةِ كَمَا كَانَ قَبْلَ خَلْقِهِ الْمَكَانَ لاَ يَجُوْزُ عَلَيْهِ التَّغَيُّرُ فِي ذَاتِهِِ وَلاَ التَّبَدُّلُ فِي صِفَاتِهِ، وَلأنّ مَنْ لَهُ مَكَانٌ فَلَهُ تَحْتٌ، وَمَنْ لَهُ تَحْتٌ يَكُوْنُ مُتَنَاهِي الذّاتِ مَحْدُوْدًا، وَالْمَحْدُوْدُ مَخْلُوْقٌ، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا، ولِهذَا الْمَعْنَى اسْتَحَالَ عَليْه الزّوْجَةُ وَالوَلدُ، لأنّ ذلِك لاَ يَتِمّ إلاّ بالْمُبَاشَرَةِ والاتّصَالِ والانْفِصَال
Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Argumentasi atas ini ialah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Maka setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang azali sebelum Dia menciptakan tempat; yaitu ada tanpa temapt. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik perubahan pada Dzat-Nya maupun pad asifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah. Dan bila demikian maka ia pasti memiliki bentuk tubuh dan batasan. Dan sesuatu yang memiliki batasan pasti sebagai makhluk, dan Allah maha suci dari pada itu semua. Karena itu mustahil pada haknya terdapat istri dan anak. Sebab hal semacam itu tidak akan terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel dan terpisah. Allah mustahil pada-Nya sifat terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya istilah suami, astri dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (Lihat al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama dalam pembahasan firman Allah QS. Thaha: 5, al-Imam as-Syafi’i menuliskan sebagai berikut:
فَإنْ قِيْل: أليْسَ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى (الرّحْمنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى)، يُقَال: إنّ هذِهِ الآيَة مِنَ الْمُتَشَابِهَاتِ، وَالّذِيْ نَخْتَارُ مِنَ الْجَوَابِ عَنْهَا وَعَنْ أمْثَالِهَا لِمَنْ لاَ يُرِيْدُ التّبَحُّر فِي العِلْمِ أنْ يُمِرَّ بِهَا كَمَا جَاءَتْ وَلاَ يَبْحَثُ عَنْهَا وَلاَ يَتَكَلّمُ فيْهَا لأنّهُ لاَ يَأمَنُ مِنَ الوُقُوْعِ فِي وَرَطَةِ التّشْبِيْهِ إذَا لَمْ يَكُنْ رَاسِخًا فِي العِلْمِ، وَيَجِبُ أنْ يَعْتَقِدَ فِي صِفَاتِ البَارِي تَعَالَى مَاذَكَرْنَاهُ، وَأنّهُ لاَ يَحْويْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِي عَليْهِ زَمَانٌ، مُنَزَّهٌ عَنِ الحُدُوْدِ وَالنّهَايَاتِ، مُسْتَغْنٍ عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَاتِ، وَيَتَخَلَّصُ مِن َالمَهَالِكِ وَالشُّبُهَاتِ
“Jika dikatakan bukankah Allah telah berfirman: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa”? Jawab: Ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ini agar supaya mngimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya atau membicarakannya. Sebab seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam hal ini ia tidak akan aman, ia akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk dan segala penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah. Dengan demikian orang ini menjadi selamat danri kehancuran dan kesesatan” (al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal (w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada ini as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:
وَمَا اشْتُهِرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إلَى هذَا الإمَامِ الأعْظَمِ الْمُجْتَهِدِ مِنْ أنّهُ قَائِلٌ بِشَىءٍ مِنَ الْجِهَةِ أوْ نَحْوِهَا فَكَذِبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ
“Apa yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya” (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144).
Dengan penjelasan ini menjadi sangat terang dan gamblang bahwa Aqidah yang benar adalah sepertihalnya apa yang disampaikan para sahabat, tabi'in dan ulama salaf yaitu “ ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN ARAH“.
Orang yg mengatakan dirinya pengikut salafi (Wahabi) justru banyak bertentangan dengan pendapat-pendapat dari ulama salaf, ini kan aneh dan lucu. Orang wahabi akan bertanya "mana dalil Al-Quran dan hadis yg menunjukkan Allah ada tanpa tempat ???". Inilah pertanyaan orang yg tidak punya modal, akibat tidak mau mengkaji karya para ulama.
Dalil-dalil yang menegaskan keyakinan bahwa Allah tidak bertempat adalah Firman Allah Ta’ala yg berbunyi :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat".(Q.S. al-Syuraa : 11)
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Seandainya Allah mempunyai tempat seperti langit dan arah, maka akan serupa dengan makhluk. Karena dengan demikian, berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan tinggi), sedangkan panjang, lebar dan tinggi merupakan sifat yang khusus terdapat pada benda yang baharu.
Ijmak para ulama bahwa tidak ada yang azali dan qadim selain Allah ini sesuai dengan firman Allah Q.S al-Hadid : 3, berbunyi :
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ
"Dia (Allah) yang awal dan yang akhir." (Q.S al-Hadid : 3)
Dalam ayat lain Allah berfirman, yakni Q.S. al-An’am : 101, berbunyi :
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"Dia (Allah) menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu".( Q.S. al-An’am : 101)
Allah Ta’ala dengan gamblang menjelaskan melalui firman-Nya ini bahwa semua yang ada merupakan ciptaan-Nya, jadi tidak ada sesuatupun selain-Nya yang bukan ciptaan Allah. Sesuatu disebut sebagai ciptaan tentu merupakan sesuatu yang ada sesudah tidak ada. Dengan demikian, tidak ada yang qadim dan azali selain Allah.
Hadits Nabi SAW di bawah ini juga mendukung keyakinan bahwa tidak ada yang qadim selain Allah, yakni sabda Nabi SAW yang berbunyi :
كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ
"Ada Allah tidak ada sesuatupun selain-Nya" (H.R. Bukhari) [9]
Berdasarkan firman Allah dan hadits di atas, maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat (langit) dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baharu (makhluk). Seandainya Allah berada pada suatu tempat (langit), maka Allah tentu menyerupai makhluq, yakni berpindah dari azal kepada langit yang datang kemudian (yang diciptakannya).
CATATAN :
Jangan pernah seorang muslim berkayakinan bahwa Allah berada di atas arsy atau berada di langit. mustahil Allah bertempat pada makhluk-Nya sendiri. Arsy dan langit adalah makhluk Allah.
Monggo like dan share tulisan ini supaya orang muslim awam dapat memahami aqidah dengan benar sesuai dg penjelasan ulama ahlussunnah wal jamaah.
Oleh Abdul Aziz Musaehi Ridwan
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !