Home »
Ulama Nusantara
» KH. AHMAD ASRORI AL-ISHAQI, KIAI PENYEJUK HATI UMAT
KH. AHMAD ASRORI AL-ISHAQI, KIAI PENYEJUK HATI UMAT
Written By Guruku Kyai Bukan Mbah Google on Rabu, 15 Maret 2017 | 09.55
Boleh jadi, hanya sebagian umat Islam di Indonesia yang mengenal sosok KH Ahmad Asrori al-Ishaqi. Namun, tidak bagi pengikut tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah. Bagi mereka, Kiai Asrori adalah sosok panutan yang sangat dihormati.
Semasa hidupnya, tokoh kelahiran 17 Agustus 1951 ini dikenal sebagai ulama sekaligus tokoh tasawuf terkemuka Indonesia yang dikenal hingga mancanegara. Ia pun dikenal sebagai mursyid (pimpinan tarekat) dengan lebih dari 300 ribu pengikut tarekat di seluruh kawasan Asia.
Kiai Asrori adalah ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menguasai ilmu tasawuf secara mendalam. Ia mengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Assalafi Al Fithrah yang bernaung di bawah Yayasan Al Khidmah.
Ponpes seluas tiga hektare di wilayah Kedinding Lor, Surabaya, Jawa Timur, itu menjadi pusat kegiatan dan kepengurusan tarekat Qadariyah Wa Naqsyabandiyah di seluruh Indonesia dan mancanegara.
Kiai Asrori adalah putra KH Utsman al-Ishaqi. Sang ayah adalah salah satu dari tiga pimpinan tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah. Dua mursyid lainnya adalah KH Makki dari Karangkates, Kediri, dan KH Bahri dari Mojosari, Mojokerto.
Sepeninggal Kiai Utsman pada 1984, kepemimpinan tarekat dilanjutkan oleh Kiai Asrori. Estafet kepemimpinan tarekat kepada Kiai Asrori memang sesuai dengan wasiat Kiai Utsman.
Saat itu, Kiai Asrori berusia 30 tahun dan dinilai masih terlalu muda untuk menjadi seorang mursyid. Namun, berkat kecerdasan dan ketawadhuannya (rendah hati), ia berhasil menjalankan perannya sebagai pemimpin tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah. Sikap istiqamahnya menjadi panutan jamaah tarekat dari seluruh dunia.
Di bawah kepemimpinan Kiai Asrori, tarekat Qodariyah Wa Naqsyabandiyah berkembang pesat, terutama di Indonesia. Terlebih, setelah dua kepemimpinan tarekat di Kediri dan Mojokerto mulai terseret dunia politik.
Tarekat Qadariyah Wa Naqsyabandiyah pimpinan Kiai Asrori pun menjadi alternatif di kalangan penganut tarekat karena dianggap lebih netral dan mengayomi umat.
Penyejuk Umat
Oleh para sahabat, santri, dan para pengikutnya, Kiai Asrori dikenal sebagai pribadi yang memiliki kesantunan luar biasa. Tak hanya di kalangan tarekat dan ponpes, Kiai Asrori juga mampu bergaul dengan kalangan profesional melalui pendekatan yang dianggap kalangan pondok tidak lazim.
Keluwesan sang kiai menyampaikan pesan Islam membuat beberapa kalangan profesional terpikat untuk bergabung ke dalam tarekat. Wijsnu menyebut, cukup banyak murid Kiai Asrori yang berlatar belakang akademisi, arsitek, pejabat, hingga pengusaha.
Bahkan, sejumlah warga keturunan Tionghoa dari Surabaya dan Semarang pun tertarik mengikuti pengajian beliau. Mereka tertarik mendengarkan petuah-petuah sang kiai karena pesan yang ia sampaikan selalu menyejukkan dan tidak pernah memvonis.
Merintis Pesantren
Setelah memegang posisi mursyid dan melanjutkan aktivitas pengajian di kediaman sang ayah di Jatipurwo, Surabaya, Kiai Asrori awalnya hanya menerima beberapa anak yang dititipkan jamaah pengajian tarekat untuk belajar agama.
Lambat laun, semakin banyak jamaah yang menitipkan anaknya untuk belajar. Kiai Asrori kemudian berinisiatif memindahkan aktivitas tarekatnya ke Kedinding Lor pada 1985. Di tempat ini, ia memiliki sepetak lahan yang di atasnya kemudian dibangun ponpes.
Seiring bergulirnya waktu, Ponpes Al Fithrah pun terus berkembang dan kini telah menempati lahan seluas tiga hektare. Tentu saja, pembangunan dan perluasan ponpes ini dilakukan secara bertahap, baik dengan dana pribadi maupun sumbangan dari para santri.
Dengan jumlah santri lebih dari 3.000 orang, Ponpes Al Fithrah kini mengelola semua jenjang pendidikan, mulai dari TK, Madrasah Ibtidaiyah, Aliyah Muadalah, Ma'had Aly, Taman Pendidikan Alquran (TPQ), hingga Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Fithrah.
Selain untuk sarana pendidikan, ponpes ini sering kali digunakan sebagai tempat untuk menggelar acara besar tarekat, seperti haul akbar yang dihadiri ribuan pengikut tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah.
Beberapa politisi kondang negeri ini juga pernah berkunjung ke ponpes ini. Namun, hal itu tak lantas membuat Kiai Asrori jemawa lalu terseret ke politik praktis. Di kalangan orang-orang terdekatnya, Kiai Asrori dikenal sebagai sosok yang tak haus publikasi. Ia pun sangat jarang marah. Seperti pernah dikatakan sang istri, Nyai Mutia, bahwa suaminya adalah sosok yang sangat menghormati orang lain.
Kiai 'Bandel' yang Cerdas
Walau pada usia dewasa Kiai Asrori dikenal dengan sifat tawadhu, sabar, dan istiqamah-nya, di masa kecil ia bukan tergolong anak yang patuh. Bahkan pada masa muda pun, ia dikenal sebagai pemuda yang bandel dan agak nyeleneh.
Yusuf Syamsudin, teman bermain sang kiai, bercerita, Asrori muda hampir tak pernah menyelesaikan setiap jenjang pendidikannya.
Di sekolah dasar, ia hanya sampai di kelas dua. Setelah itu, ia memilih belajar di pondok pesantren. Itu pun tak sampai tamat. Yusuf mengungkapkan, Asrori pernah belajar setidaknya di tujuh ponpes di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk nyantri tiga bulan di Makkah.
Namun, di semua ponpes itu, Asrori tak pernah belajar dalam waktu yang lama, apalagi sampai tamat. ''Paling lama hampir satu tahun,'' tutur Dosen Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya ini.
Sahabat-sahabatnya menduga, Asrori kerap berpindah-pindah pondok lantaran tidak mau dijodohkan dengan sanak keluarga kiai di pondoknya. Maklum, saat masih muda, Asrori tergolong pemuda yang tampan dan cerdas.
Nyai Mutia, yang kemudian menjadi istrinya, tidak berasal dari kalangan pondok atau keluarga ulama. Sang istri adalah wanita Sunda yang ia kenal berkat keluwesannya bergaul. Kiai Asrori menikahi wanita pujaan hatinya itu pada 1986 dan dikaruniai lima orang anak.
Karena kecerdasannya, Asrori muda tak pernah tertinggal ilmu meski tak pernah menamatkan pendidikan di sekolah formal maupun pondok pesantren. Sahabat-sahabatnya pun heran dengan kepintarannya.
Ketika mondok di Ponpes Rejoso, misalnya, Asrori telah mampu membaca dan mengajarkan isi kitab “Ihya Ulumuddin”, karya fenomenal Imam Ghazali, dengan sangat baik.
Sang ayah, Kiai Utsman, juga sangat terkesan dengan kecerdasan putranya. Bahkan, Kiai Utsman sempat berucap, ''Kalau saya bukan bapaknya, saya mau kok ngaji kepadanya."
Kata-kata Kiai Utsman itu termaktub dalam buku “Politik Tarekat” karya Dr Mahmud Sujuthi. Para sahabatnya yakin, Kiai Asrori memiliki kemampuan ilmu laduni, yakni ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT.
Karena kecerdasannya inilah, Kiai Utsman lebih memercayakan posisi mursyid kepada Kiai Asrori ketimbang saudara-saudaranya yang lain.
Semasa memimpin pondok dan tarekat, Kiai Asrori menghasilkan lima kitab tasawuf, yang kemudian menjadi panutan para pengamal tarekat, khususnya Qodariyah Wa Naqsyabandiyah.
Wafat pada Usia Muda
Namun, pada 18 Agustus 2009, tepat sehari setelah perayaan kemerdekaan RI, ulama yang sarat ilmu dan teladan ini harus pergi untuk selamanya meninggalkan keluarga, santri, dan para pengikut tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah.
Ia wafat karena kondisi kesehatannya yang terus menurun. ''Menjelang wafat, Kiai bahkan tidak mau merepotkan santri dan pengurus pondok. Hingga hanya keluarga yang mengurusnya," ungkap Wisjnu.
Ribuan pelayat menghadiri prosesi pemakamannya, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para pejabat Jawa Timur. Allah SWT terlampau mencintainya hingga memanggilnya lebih dini pada usianya yang ke 58 tahun. Lahul Fatihah..
kategori:
Ulama Nusantara
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !