JEJAK KARTINI NYANTRI YANG BELUM BANYAK DIKETAHUI
Tanggal 21 April biasa kita peringati sebagai Hari Kartini. Raden Ajeng (RA) Kartini, begitu nama lengkapnya, merupakan salah seorang wanita yang menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia. Ia di masa kini, menjadi simbol perjuangan akan kesamaan harkat dan martabat wanita Indonesia, istilah keren-nya kesetaraan gender.
RA Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Pernah suatu ketika, ia menuturkan kegalauannya kepada sahabatnya, Stella Zihandelaar. Surat yang bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;
Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.
Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?
RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.
"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya."
"Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini terlalu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya."
Kalau membaca surat surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari Belanda, terkesan Kartini sudah jadi sekuler dan penganut feminisme. Surat-surat RA Kartini yang notabene sudah diedit dan dalam pengawasan Abendanon yang notabene merupakan aparat pemerintah kolonial Belanda plus Orientalis itu.
Namun, Kartini tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang -- lebih dikenal dengan sebutan Kiai Sholeh Darat. Adalah Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kiai Sholeh Darat, yang menuliskan kisah ini.
Menurut catatan Nyai Fadihila Sholeh, bahwa pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat. Ketika pengajian yang diselenggarakan di rumah Pangeran Ario Hadiningrat berlangsung, Kartini dan Pangeran Ario, yang juga paman dari Kartini ikut serta mendengarkan wejangan agama yang disampaikan oleh Kiai Sholeh Darat.
Kiai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini menyimaknya dengan seksama beserta dengan Raden Ayu atau Raden Ajeng yang lainnya. Ia tertegun mendengarnya. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kiai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang Kiai Sholeh.
Ia kagum dengan apa yang disampaikan oleh Kiai Sholeh Darat, sebab selama hidupnya, arti ayat-ayat al-Qur'an, terlebih al-Fatihah yang merupakan surat pertama yang diajarkan kepada Kartini dari guru ngajinya begitu asing.
Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca al-Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.
"Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini saya menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami." kata Kartini usai mendapatkan kepuasan dalam mengetahui makna surat al-Fatihah yang disampaikan Kiai Sholeh Darat.
Karena masih penasaran dengan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur'an, Kartini meminta pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat agar berkenan mempertemukannya dengan Kiai Sholeh Darat. Permintaan Kartini tersebut di-iya-kan oleh pamannya. Ketika keduanya bertemu, maka berlangsunglah sebuah dialog yang berkenaan dengan makna yang terkandung dalam al-Quran. Berikut dialog Kartini dengan Kiai Sholeh.
"Kiai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?" Kartini membuka dialog.
Kiai Sholeh tertegun, lalu menimpalinya dengan sebuah pertanyaan.
"Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?" tanya Kiai Sholeh.
"Kiai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Alquran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku", ujar Kartini.
Kiai Sholeh tertegun mendengar jawaban dari Kartini. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Lalu Kartini melanjutkan;
"Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"
Dialog berhenti sampai di situ. Nyai Fadhila menulis Kiai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali "subhanallah". Kartini telah menggugah kesadaran Kiai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; yaitu menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.
Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. Kiai Sholeh Darat melanggar larangan ini, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Setelah pertemuan itu, Kiai Sholeh menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 juz terjemahan diberikan sebagai hadiah perkawinan Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia.
Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan:
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu:
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqoroh: 257).
Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.
Surat yang diterjemahkan Kiai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Sayangnya, Kartini tidak pernah mendapat terjemahan ayat-ayat berikut, karena Kiai Sholeh meninggal dunia.
Kiai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis; Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.
Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis; "Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
Dari usaha menterjemahkan dan menafsirkan ayat-ayat al-Quran oleh Kiai Sholeh Darat ini, kemudian karyanya ini diberi nama "Faidh al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan".
Karya itu mulai ditulis pada malam Kamis 20 Rajab 1309 H / 19 Februari 1892 M, atau sebelum Kartini masuk pingitan (sekitar umur 12 tahun), dan selesai pada hari selasa 17 Safar 1312 H / 20 Agustus 1894 M.
Dalam pembukaan kitab "Faidh al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan" yang memakai bahasa Arab Pegon, Kiai Sholeh Darat menulis alasannya mengapa ia harus menulis tafsir terjemahan al-Quran tersebut. Berikut tulisannya;
اع حالى انيعالي اعسن غالبي ووع عجم اورا فدا اعن-اعن اع معناني قرأن كران اورا عرتي جاراني لن اورا عرتي معناني كران قرأن تموروني كلون بسا عرب مكا اع معكونو دادي اعسن كاوي ترجمهاني معناني قرأن
"saya melihat umumnya orang-orang awam tidak ada yang memperhatikan tentang maknanya al-Quran karena tidak tahu caranya dan tidak tahu maknanya karena al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, maka dari itu saya bermaksud membuat terjemqhan arti al-Quran."
Tentang alasan mengapa Kiai Sholeh Darat memakai bahasa Arab Pegon dalam menulis tafsirnya, hal ini disebabkan adanya faktor salah satunya agar tidak diketahui Belanda yang diwaktu itu melarang penerjenahan al-Quran kedalam bahasa Melayu atau Jawa.
https://www.radarbangsa.com/opini/2270/jejak-kartini-nyantri-yang-belum-banyak-diketahui
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !