Home »
Ulama Nusantara
» KH. MUNTAHA AL-HAFIDZ, PECINTA DAN PENGABDI AL-QUR'AN
KH. MUNTAHA AL-HAFIDZ, PECINTA DAN PENGABDI AL-QUR'AN
Written By Guruku Kyai Bukan Mbah Google on Rabu, 15 Maret 2017 | 09.34
Menyebut nama KH Muntaha al-Hafidz artinya kita sedang berbicara tentang sosok ulama legendaris berjuluk Sang Maestro Alquran. Sepanjang hidupnya, ia selalu memberi contoh untuk selalu menjadikan Alquran sebagai pegangan hidup.
Kiai yang akrab disapa Mbah Mun ini dikenal sebagai penghafal Alquran yang disayangi para santrinya di Pondok Pesantren al-Asy'ariyyah, Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Menyebut namanya saja, para santri langsung bergetar hatinya. Ada wibawa dan kharisma tersendiri yang memancar dari sosok alim ini.
Kepada mereka, Kiai Muntaha kerap menasihati sekaligus memberi semangat untuk mengkhatamkan Alquran minimal seminggu sekali. Sementara, dalam perjuangan memasyarakatkan Alquran, ia mendirikan Yayasan Himpunan Penghafal Alquran yang menghimpun para hafiz-hafizah se-Kabupaten Wonosobo.
Kiai Muntaha adalah salah satu ulama besar yang pernah dimiliki negeri ini. Ketika para elite negeri ini terjerembab pada keserakahan mengejar kehidupan duniawi, ia memberi teladan dengan sikap zuhud dan selalu ringan tangan untuk berbagi kepada masyarakat sekitarnya tanpa pamrih.
Tak heran jika sosok sekelas Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sangat menaruh hormat kepada Mbah Mun. Dalam sejarah Nahdlatul Ulama (NU), Mbah Mun pernah dinobatkan sebagai salah satu ulama khas yang sangat dihormati. Kiai Muntaha lahir di Desa Kalibeber, kawasan berhawa sejuk di kaki Pegunungan Dieng, Wonosobo pada 1908.
RIHLAH ILMIAH
Seperti kebanyakan ulama NU, Kiai Muntaha pun menghabiskan banyak waktu untuk memperdalam ilmu agama dengan berkelana ke sejumlah pesantren. Ia terlahir dari keluarga santri. Ayahnya adalah KH Asy'ari bin KH Abdurrahim bin K Muntaha bin K Nida Muhammad.
Sementara, ibunya bernama Hj Syafinah. Sang ayah merupakan generasi kedua pengurus Ponpes Al-Asy'ariah. Adapun generasi pertamanya adalah Kiai Abdurrahman, sang kakek yang merupakan ulama seperjuangan dengan Pangeran Diponegoro.
Seperti kebanyakan ulama NU, Kiai Muntaha pun menghabiskan banyak waktu untuk memperdalam ilmu agama dengan berkelana ke sejumlah pesantren. Dalam hal ini, peran sang ayah sangat besar. Dari ayahnya, Muntaha kecil mendapatkan bekal pertama untuk mengakrabi Alquran.
Setelah memperoleh bekal keilmuan dari sang ayah, Muntaha mulai berkelana. Pendidikan formal agamanya diawali sebagai santri di Darul Ma'arif, Banjarnegara. Pengasuh perguruan ini adalah Syekh Muhammad Fadhlullah as-Suhaimi yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Muntaha.
Tamat dari Darul Ma'arif, Muntaha mondok di Pesantren Tahfidzul Qur'an Kaliwungu, Kendal. Di tempat ini, ia dibimbing langsung oleh KH Utsman dan berhasil menghafal Alquran. Saat itu, Muntaha masih berusia 16 tahun.
Meski telah hafal Alquran, bukan berarti perjalanan Muntaha dalam menuntut ilmu, berhenti. Sejarah mencatat, ia kemudian berguru kepada Kiai Munawwir Alhafidz di Pondok Pesantren Krapyak. Dari Krapyak, ia nyantri di Pesantren Termas, Pacitan. Di pesantren ini, ia mendalami ilmu hadis, fikih, dan tafsir di bawah asuhan Kiai Dimyati yang banyak melahirkan ulama besar di negeri ini.
Sebuah catatan menyebut, Muntaha memiliki kebiasaan yang jarang dilakukan orang lain, utamanya dalam menempuh perjalanan menuju pesantren yang akan menjadi tempatnya belajar. Kebiasaan yang dimaksud adalah berjalan kaki menuju Pesantren Kaliwungu, Pesantren Krapyak hingga Pesantren Termas. Hal unik ini dilakukan semata-mata untuk mempertegas keikhlasannya dalam mencari keberkahan ilmu.
Berjalan kaki menuju pesantren-pesantren tersebut tentu butuh waktu cukup lama. Nah, saat beristirahat di perjalanan, ia selalu berusaha memanfaatkan waktu untuk mengkhatamkan Alquran.
Pengelanaannya ke sejumlah pesantren berakhir pada 1950. Ia tak lagi menjadi santri di pesantren orang.
Muntaha kembali ke Kalibeber untuk melanjutkan estafet kepemimpinan ayahnya dalam mengasuh Pondok Pesantren al-Asy'ariyyah. Dari sinilah babak baru kehidupannya berawal. Selama memimpin ponpes ini, banyak ide yang tercetus dari buah pemikiran Kiai Muntaha. Tak heran, di bawah kepemimpinannya, al-Asy'ariyyah mengalami kemajuan sangat pesat. Jumlah santri terus bertambah dari hari ke hari hingga mencapai ribuan.
Lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Ponpes al-Asy'ariyyah juga kian banyak, mulai dari Taman Kanak-Kanak Hj Maryam, Madrasah Diniyah Wustho, Madrasah Diniyah 'Ulya, Sekolah Madrasah Salafiyah al-Asy'ariyyah, Tahfizul Qur'an, SMP Takhassus Al-Qur'an, SMU Takhassus Al-Qur'an, SMK Takhassus Al-Qur'an, hingga Universitas Sains Al-Qur'an (UNSIQ).
Kiai Muntaha juga dikenal sebagai penggagas ditulisnya mushaf Alquran akbar Wonosobo. Ini adalah Alquran 30 juz yang berukuran raksasa. Ia juga pernah membentuk Tim Sembilan untuk menyusun tafsir tematik yang diberi judul “Tafsir al-Muntaha”. Semua itu dilakukan Kiai Muntaha untuk menyebarkan nilai-nilai Alquran kepada masyarakat luas. Hatinya gelisah ketika melihat banyak orang Islam enggan, bahkan tak mau membaca Alquran.
Karena itu, dalam berbagai kesempatan, ia selalu menyeru umat untuk mencintai Alquran. Tak hanya di depan para santrinya, tapi juga di hadapan umat Islam di mancanegara, seperti Turki, Yordania, Mesir, Irak, dan negara lainnya.
Di Ponpes al-Asy'ariyyah, Mbah Mun setiap pagi selalu membaca ulang hafalan Alquran. Selepas memimpin shalat Subuh, ia pun senantiasa sabar menunggu para santrinya “menyetor” hafalan Alquran.
Sepanjang hidupnya, Mbah Mun telah memberikan contoh kepada kaum Muslimin untuk selalu menjadikan Alquran sebagai pegangan hidup. Namun, hafalan ayat-ayat Alquran dari Mbah Mun tak lagi terdengar sejak Rabu, 29 Desember 2004. Hari itu, ia tak kuasa lagi berucap karena malaikat maut telah menjemput. Pada usia 94 tahun, Mbah Mun, sang hafiz berjiwa teduh itu, berpulang dengan tenang.
Lahumul Fatihah..
kategori:
Ulama Nusantara
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !