Islamkah Orang Tua Nabi Muhammad SAW? - JIHAD ILMIAH
Headlines News :
Home » » Islamkah Orang Tua Nabi Muhammad SAW?

Islamkah Orang Tua Nabi Muhammad SAW?

Written By Guruku Kyai Bukan Mbah Google on Kamis, 09 Maret 2017 | 11.44



Persoalan ini sebenarnya hanyalah persoalan ijtihadiyyah bukan persoalan I’tiqadiyyah yang menyebabkan kafirnya atau bid’ahnya orang yang bertentangan. Sejak mulai ulama pertama hingga terakhir, memang telah terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Ada yang berpendapat kedua orangtua Nabi masuk neraka, ada yang berpendapat sebaliknya yaitu kedua orangtua Nabi Saw masuk surga dan ada juga yang memilih diam tidak mau berkomentar atas perosalan ini. Namun di anatara mereka hanyalah sekedar berijtihad dan berpendapat tanpa adanya saling membid’ahkan dan mengkafirkan di anatara mereka yang bertentangan. Setelah itu mereka lepas dan tak ada yang berani membicarakannya lagi.

Namun kita lihat sekarang, begitu beraninya segilintir manusia yang mengaku pengikut manhaj salaf, mempersoalkan kasus ini lagi, meramaikan kasus ini lagi dan menetapkan bahwa pendapat merekalah yang paling benar tanpa memandang hujjah-hujjah ulama yang berbeda pendapat sebelumnya.

Sebenarnya saya tidak ingin mengupas masalah ini, karena saya khawatir termasuk orang yang memperpanjang masalah ini. Namun karena banyak keresahan dikalangan orang awam tentang pemahaman ini, maka saya terpaksa harus menyajikan penjelasan persoalan khilafiyah ini yang memang sudah pernah dibahas di kalangan ulama salaf dahulu. 

Yang perlu dicermati dalam pengkajian ini adalah soal dalil yang sering dijadikan sebagai argumentasi kelompok salafi (wahabi), yakni tentang orang tua Nabi Saw berada di neraka dengan berhujjah pada hadis muslim berikut ini:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَن ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ فِي النَّارِ، فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ، فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
Artinya: Menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, menceritakan kepada kami ‘Affan, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Anas: Bahwasanya seorang laki-laki berkata: "Ya Rasulullah, dimanakah ayahku..?" Nabi Saw menjawab: "Di dalam neraka". Ketika orang itu pergi, Nabi memanggilnya kembali dan berkata: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka”.

Jawaban : Memahami hadis atau al-Quran tanpa merujuk pada pendapat ulama dan mencukupkan dengan pendapat sendiri, maka akan menjerumuskan pada kerancuan pemahaman dan pertentangan dengan mayoritas ulama.

Hadits tersebut walaupun disebutkan dalam shohih Muslim, bukan berarti boleh dibuat hujjah terlebih dalam hal I’tiqad / aqidah. Kita harus meneliti terlebih dahulu hadits-hadits lain yang terkait dengannya demikian pula ayat al-Qurannya.

Para ulama Ahlus sunnah mengatakan bahwa hadits Muslim tersebut merupakan hadis Ahad yang matruk ad-Dhahir. Hadits Ahad jika bertentangan dengan nash Al-Quran atau hadits mutawatir maka dhahir hadits tersebut ditinggalkan dan tidak boleh dibuat hujjah dalam hal aqidah.

Nash al-Quran menyatakan bahwa ahli fatrah (umat yang hidup di masa kekosongan nabi) tidak akan disiksa dan tidak dimasukkan neraka sebelum diutusnya seorang Rasul dan sampainya dakwah pada mereka. Sebagaimana firman Allah Swt :
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

“Dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.”(Q.S Al Isra' : 15).

Sabda Nabi Saw yang mengatakan “Bapamu dan bapaku di neraka” itu dikatakan hadis ahad yang bertentangan dengan dalil qat’i ayat diatas.

Jelas sekali ayat tersebut adalah qot’iy matan dan qot’iy dilalah. Berbeda dengan hadits: إن أبي وأباك في النار، hadits ini dhanniy matan dan dhanniy dilalah. Ada kemungkinan أبي (bspaku) maknanya paman nabi. Karena orang arab terkadang memanggil paman dengan الأب. Bahkan Al-Qur’an sendiri menyebutkan hal ini:

وَإِلَهَ ءَابَائِكَ إِبْرَاهِيْمَ وَإِسْمَاعِيْلَ

“Dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail.” (QS Al-Baqarah [1]: 133) Padahal yang dimaksud adalah paman Ayyub as.

Setelah melihat derajat hadis di atas yang sering dijadikan tendensi terhadap kedua orang tua Rasulullah, semuanya kurang relevan dan kontradiktif. Haditsnya-pun derajatnya ahad. Oleh karenanya, hadis tersebut tidak bisa dijadikan hujjah atau pegangan dalam hal akidah atau yang berhubungan dengan kepercayaan. sebab dalam hal akidah atau kepercayaan yg dipakai adalah hadits mutawatir.

Kedua orang tua Rasulullah Saw menurut pendapat yang kuat termasuk ahli fatrah. Karena mereka hidup di masa kekosongan antara dua Nabi, yaitu antara nabi Isa as dan nabi Muhammad Saw. Sedangkan masa fatrah di antara nabi Isa dan diutusnya nabi Muhamaad adalah 600 (enam ratus) tahun. Di mana masa tersebut penuh dengan kejahiliaan di timur maupun barat apalagi masa antara nabi Ibrahim dan nabi Muhammad sejauh 3000 (tiga ribu) tahun. Terlebih kitab suci nabi Isa yaitu injil telah mengalami perubahan. Dan juga kedua orang tua Nabi Saw berusia pendek, ayahandanya wafat di usia 18 tahun demikian pula ibundanya wafat diusia tidak lebih dari 20 tahun. Di usia-usia muda itu sangat dimungkinkan mereka tidak pernah melakukan perbuatan jahiliyah terlebih berbuat kesyirikan.

Di masa itu juga dikatakan oleh para ulama ahli sejarah bahwa ibunda nabi adalah seorang wanita yang selalu menjaga kehormatan dirinya, selalu mengurung diri dalam rumah dan tidak pernah berkumpul dengan kaum lelaki lainnya. Dan juga kaum lelakinya saat itu tidak mengetahui perkara agama dan syare’at apalagi kaum wanitanya. 

Fakta ini telah dikuatkan oleh Allah Swt saat nabi mengumandangkan kenabiaanya pada penduduk Makkah dengan reaksi kaget mereka berkata :
أبعث الله بشرا رسولا

“ Apakah Allah akan mengutus manusia sebagai Rasul (utusan) “ (Al-Isra : 93).

Seandainya mereka tahu, akan adanya utusan seorang Rasul, maka mereka tidak akan mengingkari hal itu. Dengan demikian, orang tua Nabi hidup dalam masa fatrah yang penuh kejahiliaan, namun mereka terjaga dari prilaku kejahiliaan, dakwah para nabi sebelumnya tidak sampai pada mereka. Dan mereka juga tidak mengetahui akan adanya pembawa peringatan. Sebab kurun waktu yang begitu lama antara nabi sebelum dan setelahnya. 

Hal ini dikuatkan dengan ayat-ayat sebagai berikut :
لِتُنذِرَ قَوْمًا مَّا أُنذِرَ آبَاؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُونَ

“Agar kamu memperingatkan suatu kaum yang nenek moyang mereka belum mendapat peringatan dan mereka dalam keadaan lalai “. (Yasin : 6)

Allah juga berfirman :

لِتُنذِرَ قَوْمًا مَّا أَتَاهُم مِّن نَّذِيرٍ مِّن قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُون

“Agar kamu memperingatkan suatu kaum yang tidak ada seorang pemberi peringatan pun pada mereka sebelum kamu, supaya mereka mendapat petunjuk “ (As-Sajdah : 3)

Dan ayat :
لِتُنذِرَ قَوْمًا مَّا أَتَاهُم مِّن نَّذِيرٍ مِّن قَبْلِكَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Agar kamu memperingatkan suatu kaum yang tidak ada seorang pemberi peringatan pun pada mereka sebelum kamu, supaya mereka sadar “ (Al-Qashash: 46)

Ayat-ayat di atas dengan jelas menyatakan bahwa orang tua Nabi  tidak mendapatkan dakwah dari para nabi sebelumnya pada mereka. Maka orang-orang yang wafat sebelum diutusnya nabi Muhammad Saw terutama kedua orang tua beliau, termasuk ahli fatrah dan tidak akan disiksa oleh Allah Swt.

Maka hadits riwayat imam Muslim di atas sangat bertentangan dengan nash-nash al-Quran yang sharih di atas dan nyatalah teks hadits tersebut harus ditinggalkan atau mengharuskan untuk ditakwil. Dengan demikian hadits tersebut gugur dan tidak bisa dibuat hujjah untuk memvonis kedua orang tua Nabi Saw di neraka.

Pendapat para ulama yang menyatakan kedua orang tua Nabi Saw termasuk ahli fatrah adalah sebagai berikut;

Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam berkata :
كل نبي إنما أرسل إلى قومه إلا نبينا صلى الله عليه وسلم قال فعلى هذا يكون ما عدا قوم كل نبي من أهل الفترة إلا ذرية النبي السابق فإنهم مخاطبون ببعثة السابق إلا أن تدرس شريعة السابق فيصير الكل من أهل الفترة

“Sesungguhnya setiap nabi diutus hanyalah kepada kaumnya kecuali nabi kita Muhammad Saw, maka atas hal ini selain kaum setiap nabi adalah masuk ahli fatrah kecuali keturunan nabi yang sebelumnya. Karena keturunan seorang nabi mendapat khithab dengan diutusnya nabi sebelumnya. kecuali jika syare’at nabi tersebut telah hilang, maka semuanya masuk ahli fatrah “.

Maka dengan ini nyatalah bahwa orang tua nabi Saw termasuk ahli fatrah tanpa diragukan lagi. Karena orang tua Nabi Muhammad bukan lah keturunan nabi Isa as dan juga bukan termasuk kaumnya.

Syaikh Al-Islam Syarafuddin Al-Manawi ketika beliau ditanya apakah ayah Nabi Saw di dalam neraka, maka beliau menjawab :
إنه مات في الفترة ، ولا تعذيب قبل البعثة

“ Sesungguhnya ia wafat dalam masa fatrah dan tidak ada adzab baginya sebelum diutusnya Nabi “. (Masalik Al-Hunafa : 14)

Al-Imam Az-Zarqani berkata :
وإما لأنهما ماتا في الفترة قبل البعثة ولا تعذيب قبلها ، كما جزم به الأبي وإما لأنهما كانا على الحنيفية والتوحيد ولم يتقدم لهما شرك ، كما قطع به الإمام السنوسي والتلمساني

“Atau sebab kedua orang tua Nabi Saw wafat di masa fatrah sebelum diutusnya nabi dan tidak akan disiksa sebelum adanya pengutusan, sebagaimana ditetapkan oleh Al-Aabiy. Atau sebab keduanya masih memegang ajaran lurus dan tauhid dan tidak berbuat kesyirikan pun, sebagaimana ditetapkan imam As-Sanusi dan At-Tilmisaani” (Syarh Al-Mawahib Al-Ladunniyyah : 1/349)

Al-Allamah Al-Baijuri berkata :
إذا علمت أن أهل الفترة ناجون على الراجح ، علمت أن أبويه صلى الله عليه وسلم ناجيان لكونهما من أهل الفترة ، بل جميع آبائه صلى الله عليه وسلم وأمهاته ناجون ومحكوم بإيمانهم ، لم يدخلهم كفر ، ولا رجس ، ولا عيب ، ولا شيء مما كان عليه الجاهلية بأدلة نقلية كقوله تعالى : (( وتقلبك في الساجدين )) وقوله صلى الله عليه وسلم : (( لم أزل أنتقل من الأصلاب الطاهرات إلى الأرحام الزاكيات )) ، وغير ذلك من الأحاديث البالغة مبلغ التواتر.

“ Jika kamu telah mengetahui bahwa ahli fatrah selamat atas pendapat yang rajah, maka kamu mengetahui bahwasanya kedua orangtua Nabi Saw selamat sebab keduanya termasuk ahli fatrah. Bahkan seluruh datuk beliau selamat dan ditetapkan keimanan mereka. Tidak disusupi kekufuran, kekejian, aib dan sesuatu pun dari perbuatan jahiliyyah dengan dalil-dalil naqliyyah seperti firman AllH Swt : “ Dan perubahan gerak-gerikmu di antara orang-orang yang sujud “, juga sabda Nabi Saw“Aku selalu berpindah dari sulbi-sulbi laki-laki yang suci menuju rahim-rahim perempuan yang suci pula”dan selain itu dari hadits-hadits kuat yang mutawatir “. (Tuhfah Al-Murid Syarh Jauhar At-Tauhid).

Imam Suyuthi menjelaskan tentang Ahli Fatroh: “Ketika dalil yang pasti dan tidak terbantahkan lagi telah menunjukkan bahwasannya tiada penyiksaan (di akhirat) kecuali setelah datangnya hujjah atau agama (di dunia), maka kami bisa mengetahui bahwa mereka Ahli Fatrah tidak akan disiksa.”

Para ulama Maturidiyah berkata: “Orang yang mati sebelum melewati waktu yang sekiranya bisa berangan-angan tentang agama, sedangkan dia belum sampai iman atau kufur, maka tiada siksaan baginya (selamat). Berbeda jika dia telah mempercayai kekufuran atau meninggal setelah melewati waktu sekira bisa berangan-angan dan dia tidak mempercayai apa-apa, maka dia tidak selamat.”

Sementara kalangan Asy'ari menempatkan ahli fatrah adalah sebagai berikut :

واختلف هل يكتفي بدعوة أي رسول كان ولو آدم أو لا بد من دعوة الرسول الذي أرسل إلى هذا الشخص. والصحيح الثاني. وعليه فأهل الفترة ناجون وإن غيروا و بدلوا وعبدوا الأوثان. وإذا علمت أن أهل الفترة ناجون علمت أن أبويه صلى الله عليه وسلم ناجيان لكونهما من أهل الفترة بل هما من أهل الإسلام لما روي أن الله تعالى أحياهما بعد بعثة النبي صلى الله عليه وسلم فآمنا به... ولعل هذا الحديث صح عند بعض أهل الحقيقة... وقد ألف الجلال السيوطي مؤلفات فيما يتعلق بنجاتهما فجزاه الله خيرا.

Artinya, “Ulama berbeda pendapat perihal ahli fatrah. Apakah kehadiran rasul yang mana saja sekalipun Nabi Adam AS yang jauh sekali dianggap cukup bahwa dakwah telah sampai (bagi masyarakat musyrik Mekkah) atau mengharuskan rasul secara khusus yang berdakwah kepada kaum tertentu? Menurut kami, yang shahih adalah pendapat kedua. Atas dasar itu, ahli fatrah selamat dari siksa neraka meskipun mereka mengubah dan mengganti keyakinan mereka, lalu menyembah berhala. Kalau ahli fatrah itu terbebas dari siksa neraka, tentu kita yakin bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW selamat dari neraka karena keduanya termasuk ahli fatrah. Bahkan keduanya termasuk pemeluk Islam berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Allah menghidupkan keduanya setelah Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai rasul sehingga keduanya berkesempatan mengucapkan dua kalimat syahadat. Riwayat hadits ini shahih menurut sebagian ahli hakikat. Syekh Jalaluddin As-Suyuthi menulis sejumlah kitab terkait keselamatan kedua orang tua Rasulullah SAW di akhirat. Semoga Allah membalas kebaikan Syekh Jalaluddin atas karyanya,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Al-Baijuri ala Matnis Sanusiyyah, Dar Ihya’il Kutub Al-Arabiyyah, Indonesia, Halaman 14).

Al-Imam Abu Hanifah, juga mengutarakan bahwa semua para nabi itu maksum (terpelihara) dari hakikat kekufuran begitu pula segenap orang tuanya. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa kelahiran para nabi harus dari kedua orang tua yang muslim atau matinya orang tua yang bukan muslim sebelum kelahiran mereka. Akan tetapi yang kedua ini, sangatlah langka ditemukan. Bahkan tidak mungkin dan tidak terjadi dikalangan orang tua perempuan (karena ia yang melahirkan).

Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam karyanya Nuruz Zhalam Syarah Aqidatil Awam menegaskan sebagai berikut:

قال الباجوري فالحق الذي نلقى الله عليه أن أبويه صلى الله عليه وسلم ناجيان على أنه قيل أنه تعالى أحياهما حتي آمنا به ثم أماتهما لحديث ورد في ذلك وهو ما روي عن عروة عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سأل ربه أن يحيي له أبويه فأحياهما فآمنا به ثم أماتهما. قال السهيلي والله قادر على كل شيء له أن يخص نبيه بما شاء من فضله وينعم عليه بما شاء من كرامته.

Artinya, “Syekh Ibrahim Al-Baijuri mengatakan, ‘Yang benar adalah bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW selamat dari siksa neraka berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Allah SWT menghidupkan kembali kedua orang tua Rasulullah SAW sehingga keduanya beriman kepada anaknya, lalu Allah SWT mewafatkan kembali keduanya. Sebuah riwayat hadits dari Urwah dari Sayidatina Aisyah RA menyebutkan bahwa Rasululah SAW memohon kepada Allah SWT untuk menghidupkan kedua orang tuanya sehingga keduanya beriman kepada anaknya, lalu Allah SWT mewafatkan kembali keduanya. As-Suhaili berkata bahwa Allah maha kuasa atas segala sesuatu, termasuk mengistimewakan karunia-Nya dan melimpahkan nikmat-Nya kepada kekasih-Nya Rasulullah SAW sesuai kehendak-Nya,” (Lihat Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Syarah Nuruzh Zhalam ala Aqidatil Awam, Karya Toha Putra, Semarang, Tanpa Tahun, Halaman 27).

Bagaimana mengenai pendapat Imam Nawawi yang mengomentari hadis di atas bahwa orang yang mati dalam keadaan kufur dan mati di masa fatrah yang masih menyembah berhala itu bertempat di neraka? Berikut keterangannya dalam kitab Syarah Muslim yang ditulisnya:

قوله ( أن رجلا قال يا رسول الله أين أبي قال في النار فلما قفى دعاه فقال إن أبي وأباك في النار ) فيه أن من مات على الكفر فهو في النار ولا تنفعه قرابة المقربين وفيه أن من مات في الفترة على ما كانت عليه العرب من عبادة الأوثان فهو من أهل النار وليس هذا مؤاخذة قبل بلوغ الدعوة فان هؤلاء كانت قد بلغتهم دعوة ابراهيم وغيره من الأنبياء صلوات الله تعالى وسلامه عليهم وقوله صلى الله عليه و سلم أن أبي وأباك في النار هو من حسن العشرة للتسلية بالاشتراك في المصيبة ومعنى قوله صلى الله عليه و سلم قفي ولى قفاه منصرفا 

Artinya, “Pengertian hadits ‘Seorang lelaki bertanya, ‘Wahai Rasulullah, di manakah kini ayahku?’ dan seterusnya......, dalam hadis ini bahwa orang yang meninggal dalam keadaan kufur bertempat di neraka. Kedekatan kerabat muslim tidak akan memberikan manfaat bagi mereka yang mati dalam keadaan kafir. Hadits ini juga menunjukkan bahwa mereka yang meninggal dunia di masa fatrah (masa kosong kehadiran rasul) dalam keadaan musyrik yakni menyembah berhala sebagaimana kondisi masyarakat Arab ketika itu, tergolong ahli neraka. Kondisi fatrah ini bukan berarti dakwah belum sampai kepada mereka. Karena sungguh dakwah Nabi Ibrahim AS, dan para nabi lainnya telah sampai kepada mereka. Sedangkan ungkapan ‘Sungguh, ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka’ merupakan ungkapan solidaritas dan empati Rasulullah SAW yang sama-sama terkena musibah seperti yang dialami sahabatnya perihal nasib orang tua keduanya. Ungkapan Rasulullah SAW ‘Ketika orang itu berpaling untuk pergi’ bermakna beranjak meninggalkan Rasulullah SAW.” (lihat Imam An-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim Ibnil Hajjaj, Dar Ihyait Turats Al-Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1392 H). 

Untuk mengetahui maksud sebenarnya dari komentar imam Nawawi tersebut, maka alangkah baiknya kita dengarkan penjelasan dari seorang ulama pengikutnya yang lebih memahami ucapan beliau yaitu imam As-Suyuthi berikut :

الذي عندي أنه لا ينبغي أن يفهم من قول النووي في شرح مسلم في حديث (( أن رجلا قال يا رسول الله : أين أبي … الخ )) أنه أراد بذلك الحكم على أبي النبي صلى الله عليه وآله وسلم ، بل ينبغي أن يفهم أنه أراد الحكم على أبي السائل ، وكلامه ساكت عن الحكم على الأب الشريف

“Menurut pemahamanku hendaknya tidak memahami ucapan imam Nawawi di dalam syarh hadits Muslim tentang Hadits“ Sesungguhnya seseorang berkata kepada Rasul Saw di mana ayahku…dst “, bahwasanya yang beliau maksud adalah ayah nabi Saw. Akan tetapi hendaknya dipahami bahwasanya beliau menghendaki hokum pada ayah orang yang bertanya. Dan beliau diam, tidak mengomentari atas hokum ayah nabi Saw “.(At-Ta’dzhim wal minnah : 171)

Dan banyak lagi para ulama lainnya yang sepandapat dengan mereka seperti imam As-Syakhawi, imam Ghazali, A-Suyuthi dan lainnya.

Setelah menelusuri beberapa pandangan ulama mengenai orang tua Rasulullah Saw dapat disimpulkan bahwa kedua orang tua Nabi yg hidup di masa fatrah tidak dihukumi kafir sebagaimana tuduhan  oleh sekelompok orang.

Orang tua Rasul adalah orang yang ta’at saat diuji.

Ayahanda dan ibunda Rasul Shallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang ta’at ketika diuji kelak. Sebagaimana hadits berikut telah mengisyaratkannya:

Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadraknya dan beliau menilainya shahih dari Ibnu Mas’ud beliau berkata :

شاب من الأنصار لم أر رجلا كان أكثر سؤالا لرسول الله صلى الله عليه وسلم منه يا رسول الله أرأيت أبواك في النار فقال ما سألتهما ربي فيطيعني فيهما وإني لقائم يومئذ المقام المحمود.
Ada seorang pemuda dari Anshor yang aku belum pernah melihat seseorang yang banyak bertanya kepada Rasululullah Saw darinya. “Wahai Rasul Allah, apakah engkau melihat kedua orangtuamu di neraka ?“, beliau Saw menjawab “Aku belum memohon pada Tuhanku agar orang tuaku kelak ta’at padaku, dan sungguh aku pada hari itu benar-benar menempati al-maqam al-mahmud (kedudukan tertinggi) “.

Dalam hadits ini menunjukkan bahwa ada harapan baik bagi kedua orang tua Nabi Saw ketika telah tegak maqam mahmudnya beliau. Demikian itu dengan beliau memberikan syafa’at pada keduanya sehingga keduanya ta’at pada Nabi Saw saat penduduk fatrah mendapat ujian. Dan tidak diragukan lagi ketika itu beliau mendapat seruan “Mintalah, niscaya kau akan dikabulkan dan berilah syafa’at, niscaya kau akan diberi wewenang syafa’at“, sebagaimana telah kita ketahui dalam hadits-hadits yang shahih.

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat berikut :
ولسوف يعطيك ربك فترضى
“Dan sungguh kelak Tuhanmu akan memberikanmu hingga kamu puas “Beliau menafsirkan :
من رضا محمد صلى الله عليه وسلم أن لا يدخل أحد من أهل بيته النار
“Termasuk keridhaan nabi Muhamamd adalah tidak ada satupun keluarga Nabi yang masuk neraka “.

Ibnu Hajar al-Atsqalaani berkata: “Hendaknya berprasangka baik bahwa semua keluarga nabi akan ta’at ketika diuji“. (Al-Haafi lil Fatawi : 207)

Hal ini dapat dilihat melalui firman Allah swt:
وتقلُّبَك فى السَّاجدين

“Dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS Asy-Syuara’ [26]: 219).

Menurut salah satu penafsiran ayat tersebut, bahwa yang dimaksud dari ayat tersebut adalah pindahnya nur Muhammad dari orang yang sujud kepada orang yang sujud.. Ayat ini merupakan legalisasi bahwa garis keturunan nabi Muhammad Saw diwariskan dan diturunkan dengan jalur suci dari masing masing individu yang dipilih alloh Saw dari nabi adam. Dan sabda Nabi Muhammad Saw:

(لمْ أَزَلْ أُنْقَلُ مِن الأَصْلَابِ الطّاهراتِ إلى الأَرحام الزَّكِيَّات)

“Tiada henti-hentinya aku dipindah dari punggung-punggung yang suci ke rahim-rahim yang bersih.”

Hadis ini merupakan pengejawantahan bahwasannya tidak ada sama sekali dari sekian banyak utusan nabi yang menyekutukan Allah Swt. Dan garis keturunannya merupakan garis keturunan yang terpilih.

Imam Alusi dalam tafsir Ruhul Ma`ani ketika berbicara mengenai ayat tersebut berkata :
واستدل بالآية على إيمان أبويه صلى الله تعالى عليه وسلم كما ذهب اليه كثير من أجلة أهل السنة وأنا أخشى الكفر على من يقول فيهما رضي الله تعالى عنهما

“Aku menjadikan ayat ini sebagai dalil atas keimanan kedua orang tua Nabi sebagaimana yang dinyatakan oleh banyak daripada tokoh-tokoh ahlus sunnah. Dan aku khawatir kufurnya orang yang mengatakan kekafiran keduanya, semoga Allah meridhai kedua orang tua Nabi…”(Ruh Al-Ma’ani : 19/138).

Berhati hatilah dalam menyebutkan kekurangan kedua orang tua Rasulullah Saw. tentusaja itu akan menyakiti beliau. Karena menyakiti beliau, akibatnya akan fatal dengan adanya hadits yang diriwayatkan Ath-Thabari: “Janganlah kalian semua menyakiti orang-orang hidup dengan memaki orang-orang yang sudah meninggal.”

orang tua nabi bukan orang sembarangan, ayahnya Abdulloh Bin Abdul Mutholib lelaki tampan yang jauh dari pergaulan jahiliyah,.beliau juga saat bayi tidak jadi disembelih dan diganti dengan fidyah 100 ekor unta. hal ini senada dengan syair pujian atas Ayahanda Nabi yang dilantunkan ibundanya menjelang wafat dan pengakuan ibundanya atas kenabiannya. Sambil menangis Aminah berkata:

بارك الله فيك من غلام * يابن الذي من حومة الحمام
نجا بعون الملك المنعام * فودي غدات الضرب بالسهام
بمائة من ابل سوام * ان صح ما ابصرت في المنام
فأنت مبعوث الى الانام * من عند ذي الجلال والاكرام
تبعث في الحل وفي الحرام * تبعث بالتحقيق والاسلام
دين ابيك البر ابراهاما * فالله انهاك عن الاصنام

Sementara ibundanya sendiri merupakan wanita cantik, suci yang jauh dari pergaulan jahiliyah. bahkan disaat wafatnya segenap Jin menangis dan melantunkan syair:

تبكي الفتات البرة الامينة * ذات الجمال العفة الرزينة
زوجة عبد الله والفرينة * أم نبي الله ذي السكينة
وصاحب المنبر في الندينة * صارت لدى حفرتها رهينة

Kesimpulannya bahwa Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah bersepakat bahwa orang tua nabi termasuk Ahli surga atas dua kemungkinan yaitu keimanannya setelah di bangkitkan atau karena mereka berada pada masa Fatroh. Sementara yang bersikukuh mengatakan bahwa orang tua Nabi kafir adalah muktazilah dan pengikutnya.

Kita harus mengindari agar tidak mengingkari kejadian ini. Sebab jika kita mengingkari maka kita bertentangan dengan Al-Qur’an dan Ijma’, selain itu kejadian bangkitnya orang tua nabi ini sangat mungkin terjadi secara akal dan syara’ atas dasar kemulyaan dan kehususan yang tidak tertolak oleh Al-Qur’an dan Ijma’. Adapun perkataan yang mengatakan bahwa tidak berguna iman setelah wafat dikecualikan bagi yang mendapat kehususan dan kemulyaan..

~ Dinukil dari berbagai sumber...
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Kenalin Saya

Foto saya
GURUKU KYAI BUKAN MBAH GOOGLE Belajarlah agama kepada guru yang sanad keilmuannya sampai kepada Rasulullah. Belajar langsung dengan bertatap muka kepada guru fadhilahnya sangat agung. Dikatakan bahwa duduk di majelis ilmu sesaat lebih utama daripada shalat 1000 rakaat. Namun jika hal itu tidak memungkinkan karena kesibukan yang lain, maka jangan pernah biarkan waktu luang tanpa belajar agama, untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun tetap harus di bawah pantauan atau bimbingan orang yang ahli. HATI-HATI DENGAN GOOGLE Jika anda suka bertanya hukum kepada mbah google, pesan kami, hati-hati karena sudah banyak orang yang tersesat akibat tidak bisa membedakan antara yang salaf dengan yang salafi. Oleh karena itu untuk membantu mereka kaum awam, kami meluncurkan situs www.islamuna.info sebagai pengganti dari google dalam mencari informasi Islam. Mulai sekarang jika akan bertanya hukum atau info keislamna, tinggalkan google, beralihlah kepada Islamuna.info Googlenya Aswaja.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. JIHAD ILMIAH - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template