Home »
Karya Ulama Nusantara
» FATWA ULAMA MADINAH UNTUK MASALAH ISLAM NUSANTARA PASCA WALI SONGO
FATWA ULAMA MADINAH UNTUK MASALAH ISLAM NUSANTARA PASCA WALI SONGO
Written By Guruku Kyai Bukan Mbah Google on Selasa, 11 April 2017 | 09.14
“al-Jawâbât al-Gharâwiyyah li al-Masâil al-Jâwiyyah al-Juhriyyah”; Fatwa Ulama Madinah untuk Masalah Islam Nusantara Pasca Wali Songo (1070 H/ 1659 M)
Ini adalah halaman pertama dari manuskrip langka berjudul “al-Jawâbât al-Gharâwiyyah li al-Masâil al-Jâwiyyah al-Juhriyyah” karangan Syaikh Burhân al-Dîn Ibrâhîm ibn Hasan al-Kûrnânî al-Kurdî tsumma al-Madanî (w. 1689 M), ulama besar Madinah yang juga mahaguru para ulama Nusantara di abad ke-17 M.
Manuskrip ini dikatakan manuskrip pusaka nan langka, yang mana ia sudah lama dicari-cari oleh para sejarawan, filolog, dan juga peneliti kajian Islam Nusantara, seperti Prof. Azyumardi Azra dan Prof. Oman Fathurrahman.
Burhân al-Dîn Ibrâhîm ibn Hasan al-Kurdî al-Kûrânî al-Madanî (dikenal dengan Ibrâhîm al-Kûrânî) adalah mahaguru ulama Nusantara yang bermukim di kota Madinah. Beliau hidup di abad ke-17 M. Di antara para ulama Nusantara yang menjadi murid beliau adalah Syaikh ‘Abd al-Raûf ibn ‘Alî al-Fanshîrî al-Âsyî al-Jâwî (Abdul Rauf Singkel, w. 1693 M), Syaikh Yûsuf Tâj al-Khalwatî al-Maqâshîrî al-Jâwî (Yusuf Makassar, w. 1697 M), Syaikh ‘Abd al-Syakûr al-Bantanî al-Jâwî (Abdul Syakur Banten), dan lain-lain.
Saya menemukan manuskrip kitab ini dari Perpustakaan Universitas Islam Madinah (Maktabah al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah bi al-Madînah al-Munawwarah), KSA. Naskah “al-Jawabat” ini merupakan naskah salinan, yang “nyelip” di dalam satu bundel kodeks manuskrip yang menghimpun banyak judul lainnya.
Kitab “al-Jawâbât al-Gharâwiyyah li al-Masâil al-Jâwiyyah al-Juhriyyah” ini menghimpun fatwa Syaikh Ibrâhîm al-Kûrânî al-Madanî atas lima permasalahan yang dikemukakan oleh umat Muslim Nusantara dari wilayah “Johor” di Semenanjung (kini Malaysia). Karena itu pulalah, dalam judul disebutkan “al-Masail al-Jâwiyyah al-Juhriyyah” (Soalan-soalan [dari] Negeri Jawi Johor).
Prof. Azra dan Prof. Oman semula menyebut judul kitab ini “al-Jawâbât al-Gharâwiyyah ‘alâ al-Asilah al-Jâwiyyah al-Jahriyyah (bukan al-Juhriyyah, yang berarti Soalan-soalan [dari] Negeri Jawi yang Jelas)”. Saya sempat sedikit mendiskusikan tentang judul dan keberadaan naskah ini dengan al-Fadhil Duktur Zacky Umam.
Di halaman pertama manuskrip, di bahagian paling atas, tertulis tujuh baris kalimat membentuk kerucut yang menegaskan judul manuskrip sekaligus pengarangnya. Tertulis di sana;
الجَوَابَات الغَرَاوِيَّة للمسائل الجَاوِيَّة الجُهْرِيّة
تأليـــف العالم الفاضـــــل العـــارف بالله
ذي التحقيقات سيدي الشيخ إبراهيم
بن حسن الكوراني
الشهــــــزوري
غفر الله له
ورحمه
Dalam kata pengantar, dikatakan bahwa; “ini adalah soalan-soalan yang datang dari negeri Johor (yang merupakan bahagian dari negeri) Jawi (Nusantara) yang terletak di pesisir Laut Cina yang (wilayah tersebut letaknya) dekat dengan negeri Cina sekitar jarak tiga belas hari jalur laut sebagaimana yang diceritakan oleh sang pembawa soalan-soalan ini”.
أما بعد. فهذه سؤالات وردت من بلدة جُهْرْ من بلاد جاوة بساحل بحر الصين القريب الى الصين نحو ثلاثة عشر يوما في البحر كما أخبر به الوارد منها.
Dikatakan oleh pengarangnya, bahwa pada mulanya soalan-soalan dari negeri Johor itu disampaikan kepada guru pengarang, yaitu Syaikh Shafiy al-Dîn Ahmad ibn Muhammad al-Dajjânî al-Madanî al-Qusyasyî (dikenal dengan Ahmad al-Qusyâsyî, w. 1660 M), ulama besar Madinah yang juga guru para ulama Nusantara pada masa itu. Syaikh Ahmad al-Qusyâsyî kemudian meminta pengarang (Syaikh Ibrâhîn al-Kûrânî) untuk membuatkan risalah yang menjawab soalan-soalan tersebut.
Terdapat lima buah soalan yang datang dari Johor dan diajukan ke ulama Madinah tersebut. Kelima persoalan (al-Asilah al-Jâwiyyah al-Juhriyyah) itu berkutat seputar permasalaan teologis (‘aqîdah) dan yurisprudensis (fiqh), yaitu (1) apakah keimanan seorang mukmin bersifat “qadim” atau “hadits”, (3) bagaimanakah status keimanan seseorang yang menganut faham panteisme (wahdah al-wujûd), (4) apakah boleh melaksanakan sembahyang jumaat di luar batas teritori sebuah “baldah” (negeri)?, dan (5) bagaimana hukum seorang lelaki yang pada saat upacara pernikahan memakai “hullah” (mahkota) yang bersepuh emas atau perak.
Kelima persoalan di atas kemudian dijawab oleh Syaikh Ibrâhîm al-Kûrânî melalui risalah “al-Jawâbât al-Gharâwiyyah” dengan gamlang dan rinci. Dalam kolofon naskah, disebutkan jika risalah ini selesai ditulis pada hari Selasa, 25 Shafar tahun 1070 Hijri (11 November 1659 M).
Temuan atas sumber datangnya pertanyaan yang diajukan dalam risalah “al-Jawâbat” di atas, yaitu negeri Johor, memberikan sebuah fakta baru dalam peta jaringan intelektual ulama Nusantara-Haramain pada abad ke-17 M, sekaligus fakta baru dalam peta sejarah Islam Nusantara di masa tersebut. Keberadaan “Johor” dalam gugusan “Sejarah Islam Nusantara Pasca Wali Sanga” dan hubungannya dengan Haramain-Timur Tengah belum banyak dikupas.
Pertanyaannya, siapakah tokoh ulama Nusantara asal Johor yang mengajukan lima pertanyaan di atas, yang keberadannya berjejaring dengan Syaikh Abdul Rauf Singkel, Syaikh Yusuf Makassar, dan Syaikh Abdul Syakur Banten tersebut?
Selain risalah “al-Jawâbât”, Ibrâhîm al-Kûrânî juga memiliki karya lain yang khusus ditulis untuk para muridnya yang berasal dari Nusantara. Karya tersebut adalah “Ithâf al-Dzakî bi Syarh al-Tuhfah al-Mursalah ilâ Rûh al-Nabî”, yang berisi ulasan dan penjelasan yang mengupas duduk perkara faham panteisme (wahdah al-wujûd) yang saat itu marak berkembang di Nusantara.
Madinah, Januari 2017
A. Ginanjar Sya’ban
kategori:
Karya Ulama Nusantara
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !