Sebelum pecah perang Revolusi yang berpuncak pada peristiwa 10 Nopember 1945, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU) Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Fatwa Jihad. Itulah Resolusi Jihad NU yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945. Bagaimana kisah para ulama NU dan kaum santri di balik peristiwa besar yang mengawali perang di Surabaya itu? Lalu pertimbangan apa hingga Bung Tomo meneriakkan “Allahu Akbar” berulang-ulang?
Peran dan perjuangan para ulama, khususnya di lingkungan pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU), dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, tak bisa diabaikan apalagi dihapuskan, meski penulisan sejarah resmi sangat minim mengungkap peran tersebut, bahkan cenderung menghapuskannya. Kalau pun menyebut, sekadar singgungan tanpa secara jelas mencantumkan ketokohan ulama atau kiai pesantren yang dimaksud.
Sejak zaman penjajahan Belanda, sejumlah nama bisa diketengahkan berperan aktif dalam perjuangan. Seperti Rais Akbar NU Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah (selain tokoh NU, juga pendiri Majelis Islam ‘Ala Indonesia, 1937), KH Machfudz Siddiq (Jember), KH Ma’shum (Lasem), dll. Mereka lebih banyak melakukan perjuangan diplomasi lewat organisasi dan mengiringi proses pembentukan watak dan karakter bangsa (nation and character building).
Bila perjuangan dimaknai sebagai mengangkat senjata bisa dilacak lewat perlawanan KH Zainal Mustafa dari Pesantren Sukamanah (Ketua PCNU Tasikmalaya) pada tahun 1944. Perlawanan ini sebenarnya sebagai prolog dari perlawanan di daerah lain, Cirebon, Cianjur, hingga Blitar atau yang terkenal dengan Pemberontakan Supriyadi Blitar. Juga peran KH Abbas di Cirebon (ayahanda KH Abdullah Abbas) dalam melawan Jepang dan KH Ruchiyat (ayahanda KH Ilyas Ruchiyat, mantan Rais Aam PBNU), yang pesantrennya pernah diberondong Belanda pada masa revolusi.
Pada masa-masa Jepang, aktivitas persiapan perang sudah dilakukan. Bagi kalangan pesantren telah dikenal adanya Laskar Hizbullah (kader-kader pesantren) dan Laskar Sabilillah (para kiai dan ulama). Mereka dilatih di Cibarusah, dekat Bogor sejak 1943. Dari mereka inilah, ketika mempertahankan kemerdekaan 1945-1949 (revolusi) mereka tampil menjadi komandan pasukan. Seperti KH Masjkur (dari Singosari, ayah mertua KH Tolchah Hasan) dan KH Zainul Arifin sebagai pemimpin Laskar Sabilillah. Sedang di Laskar Hizbullah terdapat nama KH M. Hasyim Latief (pendiri YPM Sepanjang) dan KH Munasir Ali (Sekjen PBNU).
Perjuangan di Daerah
Dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, tokoh NU yang langsung terlibat dalam pelbagai perjuangan, antara lain KH Wahid Hasyim dan KH Masjkur. Mereka adalah founding fathers (Bapak Pendiri) negeri ini, 17 Agustus 1945, bersama Soekarno, Hatta, Sjahrir, H Agus Salim. Dalam deretan ini, dari Muhammadiyah terdapat KH Kahar Muzakkir dan KH Mas Mansur.
Di luar semua itu, kerap perjuangan para kiai dan ulama di daerah-daerah yang mengangkat senjata, dilupakan. Di sejumlah daerah, para kiai bahu-membahu dalam melakukan perjuangan mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945, ketika pasukan Belanda berusaha menjajah kembali Tanah Air kita.
Para pelaku sejarah kita telah tiada, seperti KH Masjkur (Singosari), KH Wahid Hasyim, KH M Hasyim Lathief (Sepanjang), KH Munasir Ali (Mojokerto), KH Sholeh Iskandar (sekitar Bogor), KH Ilyas (Lumajang). Yang bisa dilakukan bagi generasi Nahdliyin adalah mempelajari sekaligus mewarisi semangat mereka dalam lini perjuangan, sesuai bidang masing-masing, tetapi dalam kerangka untuk mengembangkan dan memperjuangkan NU.
Sebelum meletusnya perang 10 November 1945 di Surabaya, didahului dengan Resolusi Jihad NU tertanggal 22 Oktober 1945, yang ditandatangani Hadlaratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Intinya menekankan fatwa perjuangan melawan Belanda merupakan jihad fisabilillah yang wajib dilakukan kaum muslimin. Sayangnya, perjuangan ulama dan kaum santri ini kerap dilupakan orang. Juga dalam penulisan sejarah nasional Indonesia.
Diambil dari Harian Umum Duta Masyarakat
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !