NU dan Gaya Politik Ta’ridh (Bagian 3-habis) - JIHAD ILMIAH
Headlines News :
Home » » NU dan Gaya Politik Ta’ridh (Bagian 3-habis)

NU dan Gaya Politik Ta’ridh (Bagian 3-habis)

Written By Guruku Kyai Bukan Mbah Google on Jumat, 07 April 2017 | 02.14

Gelar Waliyyul Amri Ad Dlaruri Bis Syaukah adalah ta’ridh politik NU di era orde lama. Sifatnya mirip dengan status hukum Indonesia sebagai negara Islam pada Muktamar Banjarmasin. NU pasti melihat ketidaksempurnaan Soekarno baik dari sisi agama maupun politik, tapi NU tak pernah berniat melawan Soekarno secara radikal sebagaimana dilakukan DI-TII.
Ta’ridh ini terlihat dalam sejumlah hal. Pertama, lafal dharuri (darurat) dalam Waliyyul Amri Ad Dlaruri Bisy Syaukah merupakan sindiran tajam bagi Soekarno bahwa kepemimpinannya adalah darurat, tak sempurna dan jauh dari idealitas demokrasi. Soekarno terpilih melalui revolusi bukan pemilihan umum. Ta’ridh inipun sebenarnya juga diarahkan kepada semua komponen nasional agar mau memperbaiki pemerintahan sesuai garis yang diperjuangkan sejak masa pergerakan.
Kedua, ta’ridh ini dilakukan untuk menjaga kesatuan bangsa dan negara yang terancam gerakan DI-TII era itu, juga oposisi dari kaum modernis Masyumi. Penyebutan keabsahan Soekarno menunjukkan satu legalitas formal secara hukum Islam atas status politik Soekarno. Sekali lagi ini pada status politik, bukan status lain. Karenanya, bagi NU, persoalan istri-istri Soekarno yang menurut Dhurorudin Masad (1997)  berjumlah tujuh orang terabaikan sama sekali.
Ketiga, konsep Waliyyul Amri Ad Dlaruri Bisy Syaukah merupakan ta’ridh yang lagi-lagi mengabarkan kepada publik tentang satu adab politik. Adab yang seharusnya dilakukan setiap muslim agar tak tergesa-gesa dalam melakukan perubahan di pemerintahan. Secara fiqih siyasah, Soekarno jelas tak sempurna, namun NU tak berniat menggusur Soekarno secara radikal. NU masih berharap adanya perbaikan yang dilakukan Soekarno. Tapi ketika situasi politik berubah, maka NU tak cukup lagi mempertahankan Soekarno.
Melalui Resolusi Djamaludin Malik yang sebelumnya diawali Resolusi Nuddin Lubis, Soekarno diakhiri kekuasaannya. Adab politik yang berpola tadarruj (bertahap) dalam siyasah politik sekali lagi merupakan tindakan NU yang terinspirasi Surat Maryam. Ayat yang menceritakan adab Bani Isral dalam bertanya kepada Maryam dengan cara tidak tergesa-gesa. Apakah tindakan NU mengakhiri kekuasaan Soekarno tahun 1966 merupakan pengkhianatan terhadap konsep Waliyyul Amri yang disematkan 12 tahun sebelumnya. Tentu saja tidak. Bukankah NU tegas menyebut Soekarno sebagai pemimpin Daruroh dan bukan pemimpin yang kamil seperti Amirul Mukminin. Jika kedaruratan itu bisa dihapus oleh adanya maslahat baru, maka penghentian Soekarno adalah keniscayaan.
Sikap serupa juga terlihat pada masuknya NU kedalam Nasakom. Suatu hal yang boleh jadi problematis. Namun tidak apabila mengandung maslahat yang lebih besar di masa depan dan mengantisipasi mudharat yang lebih lebar. Apakah NU berdusta dengan seakan-akan mau bergandengan dengan PKI. Tentu saja tidak. NU takkan pernah sepaham dengan Soekarno yang sejak era 1926 bercita-cita menyatukan nasionalisme, Islam dan Komunisme. NU hanya menerapkan prinsip ta’ridh yang diajarkan kanjeng Nabi Muhammad SAW bahwa dalam ta’ridh terdapat jalan keluar dari berbuat dusta.
NU tak pernah berdusta kepada siapapun termasuk kepada PKI kalau NU sangat anti PKI. Fakta dibentuknya Banser dan CBP IPNU untuk menghadapi PKI adalah bukti nyata NU anti PKI. Bentrokan BTI dengan massa NU di desa-desa adalah fakta terang bahwa NU tak pernah akan akur dengan komunis. Inilah ta’ridh itu. Digaungkannya Shalawat Badar untuk menandingi Genjer-genjer adalah strategi lain menghadapi komunis. Ketika tiba saatnya, PKI bisa diakhiri dengan sangat cerdik. NU telah mampu menjaga keutuhan bangsa dengan manis dan dinamis.
Ta’ridh politik NU ini sedikit banyak telah menjaga Indonesia dari perpecahan dan separatisme berdasar agama dan ideologi. Tentu saja, ta’ridh takkan pernah layu dari beragam pola dan hujjah baru dalam berpolitik. Ta’ridh adalah spirit menjaga nilai-nilai NU sejak Tawassuth, i’tidal, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar secara benar sesuai garis Aswaja. Gerakan NU yang berdasar ta’ridh ini adalah bukti bahwa NU bergerak berdasar pola-pola yang digariskan Quran dan sunnah serta contoh ulama salaf. NU selalu berupaya meminimalisir kerugian atas setiap gerakannya.
Gaya ta’ridh NU ini jelas sesuai spirit kitab suci daripada gaya gerakan pentahapan ala kelompok Ikhwanul Muslimin yang berpura-pura menerima demokrasi di negeri ini namun sebenarnya sedang mengarahkan diri kedalam bentuk negara Islam global. Kita tahu bahwa Ikhwanul Muslimin memiliki lima tahap perjuangan. Masing-masing adalah Islahul Afrad (Memperbaiki diri sendiri), Takwinul Baitul Muslim (membentuk keluarga muslim), takwinul Mujtama’ul muslimin (membentuk masyarakat muslim), Tahrirul Wathan (membebaskan tanah air), Islahul Hukumah (Masuk ke pemerintahan), Iqamatud Daulah (Mendirikan daulah atau khilafah).
Tahap-tahap ini disadari atau tidak justru memecah potensi keutuhan negara karena melihat negara dan masyarakat masih belum Islami. Pada gilirannya akan menimbulkan disorientasi, disintegrasi di tubuh republik tercinta. Dalam tataran manapun, strategi kaum Wahabi dan Ikhwanul Muslimin di Indonesia bukanlah ta’ridh yang mengedepankan Tasamuh dan Tawazun. Mereka bukan pemegang teguh akidah dan prinsip politik Aswaja. Mereka sedang berpura-pura dan bukan berta’ridh. Takkan ada yang bisa meniru ta’ridh NU jika tak memahami Aswaja. Sikap radikalisme akan dengan mudah muncul dan mengoyak republik ini beserta seluruh pilarnya jika kepura-puraan mereka dibiarkan di negeri ini.
Aswaja mampu melahirkan telaah filosofis secara makrokopis maupun mikrokopis. Nash-nash quran dan sunnah tak ditelan mentah-mentah secara tekstual tapi diinisiasi kedalam penafsiran terbuka. Sifat kontekstual ini menjadikan aswaja dari sisi budaya, politik dan keberagamaan mampu bertahan terhadap serangan politik lawan. Aswaja mampu berkelit dan selamat dari persoalan politik sejak zaman penjajahan sampai reformasi meski dengan pengorbanan.
Sumber : Syarif Hidayat Santoso, Kader NU Sumenep, alumni hubungan internasional FISIP Universitas Jember
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Kenalin Saya

Foto saya
GURUKU KYAI BUKAN MBAH GOOGLE Belajarlah agama kepada guru yang sanad keilmuannya sampai kepada Rasulullah. Belajar langsung dengan bertatap muka kepada guru fadhilahnya sangat agung. Dikatakan bahwa duduk di majelis ilmu sesaat lebih utama daripada shalat 1000 rakaat. Namun jika hal itu tidak memungkinkan karena kesibukan yang lain, maka jangan pernah biarkan waktu luang tanpa belajar agama, untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun tetap harus di bawah pantauan atau bimbingan orang yang ahli. HATI-HATI DENGAN GOOGLE Jika anda suka bertanya hukum kepada mbah google, pesan kami, hati-hati karena sudah banyak orang yang tersesat akibat tidak bisa membedakan antara yang salaf dengan yang salafi. Oleh karena itu untuk membantu mereka kaum awam, kami meluncurkan situs www.islamuna.info sebagai pengganti dari google dalam mencari informasi Islam. Mulai sekarang jika akan bertanya hukum atau info keislamna, tinggalkan google, beralihlah kepada Islamuna.info Googlenya Aswaja.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. JIHAD ILMIAH - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template