Home »
Ke - NU - an
» MENGENAL KH. MUNASIR SANG KOMANDAN PERANG NU
MENGENAL KH. MUNASIR SANG KOMANDAN PERANG NU
Written By Guruku Kyai Bukan Mbah Google on Senin, 03 April 2017 | 12.12
KH Munasir Ali lahir pada tanggal 2 Maret 1919 di Modopuro, Mojasari, Mojokerto pada 2 Maret 1919 dari seorang ayah bernama H Ali yang merupakan seorang kepala desa yang dihormati di daerahnya.
Kiai Munasir (Pak Sir) adalah kiai yang memiliki keteguhan moral dan integritas pribadi yang tinggi, semuanya itu tidak dimiliki secara serta merta, melainkan ditempa melalui pengalaman panjang sejak masa kanak-kanak sudah menghadapi berbagai ketidakadilan. Tatkala masih remaja telah menghadapi diskriminasi Belanda, yakni ketika telah lulus ujian masuk MULO, tetapi tidak diperkenankan masuk sekolah tersebut sebab ia bukan anak seorang priyayi atau bangsawan.
Melihat kenyataan yang diskriminatif itu ia oleh orang tuanya dikirim ke pesantren, bahkan Munasir menjadi santri kelana, yang selalu pindah dari satu pesantren ke pesantren lain untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi.
Diceritakan, suatu saat, ketika beliau bersama rombongan santri sedang menikmati pemandangan pantai utara Rembang, tiba-tiba ia ditempeleng segerombolan konvoi Belanda yang sedang lewat, dan kerumunan masa sore itu langsung bubar. Berbagai ketidak adilan itu menjadi renungan dan mencari solusi bagaiman melenyapkannya, karena itu ia belajar keras baik ilmu agama, politik termasuk ilmu kanuragan.
Karena kecerdasan dan tingginya ilmu beliau, ketika nyantri di Tebuireng ia direkrut oleh KH Wahid Hasyim sebagai kader inti yang tergabung dalam Madrasah Nidzomiyah, beberapa santri terpilih yang masuk dalam kategori ini. Saat itulah Munasir berkenalan langsung dengan organisasi NU, yang kemudian diperjuangkan hingga akhir hayatnya dengan penuh ketegaran. Karena beliau juga sebagai santri kelana, sehingga terjalin networking dengan banyak pesantren, melalui pesantren itulah Munasir berkenalan dengan berbagai tokoh lain, yang kemudian menjadi mitra perjuangannya dalam melawan penjajah.
Selama perang kemerdekaan meletus Kiai Munasir aktif sebagai seorang pejuang dan berkarir di dunia kemiliteran. Karirnya dimulai dengan mengikuti latihan kemiliteran prajurit Jepang dengan masuk sebagai anggota penerangan Heiho. Aktif sebagai pasukan Hizbullah dengan menjadi Komandan Batalyon Condromowo dan turut andil dalam mendirikan Hizbullah Cabang Mojokerto. Dan ketika Hizbullah melebur ke dalam barisan TNI, Kiai Munasir juga terdaftar sebagai anggota aktif, hingga dirinya diangkat menjadi Komandan Batalyon 39 TNI AD.
Pada saat kampanye pemilu 1955, Kiai Munasir sudah pensiun dari TNI dan menjadi juru kampanye Partai NU. Pada kampanye di Jatirogo, daerah Tuban, Kiai Munasir hadir bersama almarhum Pak Hamid Widjaya. Kiai Munasir bercerita tentang angin besar dan angin kecil (yang sumilir). Keduanya ingin menjatuhkan seseorang yang sedang berada di atas sebatang pohon besar. Angin besar mengandalkan kebesarannya, menggoyang pohon supaya orang tersebut jatuh. Tetapi makin keras goyangan angin, makin erat dan kuat orang itu berpegang pada pohon. Kini, giliran angin kecil bekerja. Dengan sepoi-sepoi basah (sumilir), angin kecil berhembus lembut sehingga orang tersebut mengantuk dan akhirnya, dia terjatuh. Cerita ini sesuai dengan strategi dan taktik kampanye Partai NU pada masa itu. Mengimbangi sikap keras dan kasar Masyumi dan PKI, NU mengandalkan cara lemah lembut dan ternyata berhasil. Pada masa itu, belum ada ancaman dan intimidasi. Tidak ada rayuan, iming-iming uang dan sembako.
Ketika memberikan sambutan pada Muktamar NU ke 29 di Cipasung 1994, Kiai Munasir mengatakan bahwa dirinya betul-betul orang yang tak tahu diri, sebab di usia yang ke 70 tahun, masih berambisi menjadi Ketua panitia Muktamar, yang semestinya itu bagian anak muda.
Kiai Munasir berkata “Karena ambisi saya itu, maka proses regenerasi tersumbat. Padahal sudah selayaknya orang setua saya ini mengundurkan diri dari jabatan apapun dan menyerahkan pada yang muda karena lebih enerjik dan lebih berpengalaman, sementara saya ini sudah ketinggalan jaman,”
Sambutan Ketua panitia itu mendapat sambutan gemuruh dari hadirin, sebab hadirin tahu bahwa Kiai Munasir sedang menyindir Presiden Soeharto yang hadir dalam Muktamar itu. Yang dengan kekuasaannya yang tak terbatas berusaha mengintervensi NU dengan mendongkel kepemimpinan Abdurrahman Wahid, serta menawarkan tokoh yang dijadikan bonekanya. Tentu saja prakarsa itu ditentang keras oleh mayoritas NU, bukan karena Gus Durnya, tetapi demi kemandiriannya sebagaimana diamanatkan oleh khittah.
Berbagai penghargaan pernah diberikan kepadanya mulai dari Satya Lentjana peristiwa Perang Kemerdekaan I dan II, Bintang Gerilya dan lain sebagainya.
KH. Munasir Ali meninggal pada hari Jumat, 11 Januari 2002 dalam usia 83 tahun di RS Pelni Petamburan Jakarta, pukul 23.15. Kiai Munasir dikaruniai 14 orang anak, 23 cucu dan 3 orang cicit. Putra pertamanya, Rozy Munir pernah menjabat sebagai Menteri Negara Penanaman Modal dan Pemberdayaan BUMN. Jenazah beliau dimakamkan pada tanggal 12 Januari 2002 siang di pemakaman keluarga di Mojosari, Mojokerto.
Oleh majalah AULA Edisi November 2012 hal. 58-59, beliau termasuk 9 komandan perang NU, yang daftar lengkapnya sebagai berikut :
1. KH. Zainul Arifin
2. KH. Masjkur
3. KH. Munasir Ali
4. KH. Sullam Syamsun
5. KH. Iskandar Sulaiman
6. KH. Hasyim Latief
7. KH. Zainal Mustofa
8. H. Abdul Manan Widjaya
9. Hamid Roesdi
Lahu Al-Faatihah
kategori:
Ke - NU - an
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !