SYEKH JUMADIL KUBRO - JIHAD ILMIAH
Headlines News :
Home » » SYEKH JUMADIL KUBRO

SYEKH JUMADIL KUBRO

Written By Guruku Kyai Bukan Mbah Google on Senin, 03 April 2017 | 20.21


Sayyid Jumadil Kubro adalah salah seorang Ulama yang memiliki karomah cukup besar. Beliau adalah seorang yang mempunyai garis keturunan cukup dekat dari Rasulullah SAW. Hal ini dapat kita lihat dari silsilah berikut : Sayyid Jumadil Kubro bin Sayyid Zainul Khusen bin Sayyid Zainul Kubro bin Sayyid Zainul Alam bin Sayyid Zainal Zainal Abidin bin Sayyid Khusen bin Siti Fatimah binti Rasulullah Muhammad SAW.

Beliau lahir pada tahun 1349 M di kota Samarkhand, dekat kota Bukhoro, wilayah Negara Azarbaijan. Di sana beliau dididik dan dibesarkan oleh ayahanda Sayyid Zainul Khusen, sampai akhirnya beliau menikah dan dikaruniai tiga putra. Ketiga putra beliau itu adalah : 1. Sayyid Ibrahim (Ibrahim As-Samarkhandi) 2. Maulana Iskha’ 3. Sunan Aspadi yang dikawin oleh Raja Rum.

Datang ke Chempa

Syeh Jumadil Kubro datang ke Chempa sekitar tahun 1399 M. Chempa adalah nama sebuah kerajaan yang berada di wilayah Negara Muangthai. Kedatangan beliau ke sana bertujuan untuk berdakwah sambil berdagang selain juga bersilaturahmi menemui putra dan cucu beliau. Di Chempa (Muangthai) sebelumnya telah ada kegiatan dakwah Islam yang dilakukan sejak tahun 1395 M oleh Maulana Ibrahim (putra Sayyid Jumadil Kubro), sehingga tugas Sayyid Jumadil Kubro hanya mengembangkan dan meningkatkan pemahaman ajaran Islam, termasuk Raja Chempa yang bernama Kuntoro. Sayyid Ibrahim menikah dengan Dewi Candrawulan putri Raja Kuntoro. Dari perkawinan itu, beliau dikaruniai dua putra yaitu : 1. Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) 2. Sayyid Ali Murtadho/Raja Pandito (beliau bertempat tinggal di kerajaan Chempa bersama Raja Kuntoro).

Datang Pertama Ke Pulau Jawa

Setelah tugas-tugas Sayyid Jumadil Kubro di Chempa selesai maka beliau meneruskan perjalanannya berdagang dan berdakwah ke pulau Jawa, beliau datang abad ke 14 atau tepatnya pada tahun 1399 M. Kegiatan dakwah beliau banyak dilakukan dilingkungan kerajaan karena barang-barang dagangan beliau lebih banyak diminati dan dibutuhkan oleh keluarga kerajaan Majapahit atau kaum bangsawan yakni berupa emas, intan zamrud, dll. Dalam perjalanan dakwah dan dagangnya ke pulau Jawa, Sayyid Jumadil Kubro merasakan banyak kesulitan. Hal ini disebabkan karena masih kuatnya pengaruh ajaran agama Hindu dan Budha yang didukung besarnya pengaruh kerajaan saat itu. Kepercayaan Animisme (pemuja roh-roh nenek moyang) serta kepercayaan Dinamisme (pemuja benda-benda yang dianggap keramat) merupakan hambatan tersendiri di dalam mengembangkan ajaran Islam, sehingga masyarakat pada masa itu sangat sulit untuk dimasuki ajaran Islam. Terlebih lagi dengan maraknya pemujaan-pemujaan pada roh nenek moyang dan benda-benda yang dianggap punya keramat atau kekuatan gaib, ini mendatangkan dukungan kekuatan Ïstidraj”dari jin, setan, genderuwo sehingga kebanyakan wilayah di pulau Jawa menjadi daerah yang angker. Beliau hanya sempat melakukan kegiatan dakwah dan perdagangan dari lingkungan kerajaan secara sembunyi-sembunyi. Tentunya hasil yang dicapai jelas sangat tidak mengembirakan. Kegiatan dakwah secara terang-terangan tidak memungkinkan beliau lakukan, karena hal tersebut tentu akan mengundang kemurkaan kerajaan Majapahit serta kemurkaan kekuatan-kekuatan gaib dari bangsa jin, setan dan sejenisnya. Kesulitan Sayyid Jumadil Kubro agak berkurang setelah beliau bertemu dengan seorang Tumenggung Mojopahit yang bernama Tumenggung Satim Singomoyo. Karena hanya beliaulah seorang pejabat kerajaan yang bisa diajak musyawarah tentang kesulitannya di dalam berdakwah untuk mengembangkan ajaran Islam. Kala itu beliau sudah memeluk agama Islam walaupun hal ini tidak berani dilakukan secara terang-terangan. Dengan keberadaan Tumenggung Satim Singomoyo, akhirnya sedikit demi sedikit masyarakat Mojopahit memeluk Islam, termasuk yang berada di lingkungan kerajaan. Walaupun hal ini masih dinilai kurang memuaskan. Setelah beliau wafat, beliau dimakamkan disebuah tempat yang sekarang menjadi satu dengan makam Sayyid Jumadil Kubro.

Melawan Penguasa dan Kekuatan Gaib

Pada masa itu, Majapahit telah mencapai puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Raja hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Pengaruhnya sangatlah besar dan luas hingga hampir mencakup seluruh wilayah Nusantara sebagaimana tekad Patih Gajah Mada yang sangat terkenal dengan sumpahnya “Amukti Palapa”. Kemasyhuran dan kejayaan kerajaan Majapahit ini dikenal hingga ke luar negeri, seperti halnya kerajaan Tiongkok. Dalam situasi yang demikian, Sayyid Jumadil Kubro akhirnya menyimpulkan bahwa untuk mengembangkan Islam dan melakukan dakwah pada masyarakat Jawa harus digunakan strategi atau cara yang dapat mempengaruhi penguasa kerajaan serta mengurangi dan mengalahkan pengaruh kekuatan gaib yang membuat hampir seluruh wilayah pulau Jawa menjadi angker.

Menyusun Kekuatan dan Pembentukan Wali Songo.

Kuatnya pengaruh kerajaan Hindu Majapahit maupun pengaruh keangkeran daerah-daerah di pulau Jawa tersebut, dirasakan Sayyid Jumadil Kubro sebagai sebuah tantangan dakwah yang harus dihadapi, namun untuk menghadapi tantangan penyiaran agama Islam yang sangat kuat tersebut, beliau merasakan kurang kuat jika dilakukan hanya dengan seorang diri. Oleh karenanya, pada sekitar 1404 M Sayyid Jumadil Kubro meninggalkan pulau Jawa untuk kembali ke kampung halamannya di Samarkhan dengan maksud melaporkan kepada kekhalifahan Islam Turki Sultan Muhammad I sekaligus beliau mengusulkan untuk segera menyusun kekuatan dakwah yang akan ditugaskan untuk menyiarkan agama Islam ke Pulau Jawa.

Dalam pertemuannya dengan Sultan Muhammad I (Raja Turki) saat itu, Sayyid Jumadil Kubro mengusulkan agar Sultan Muhammad I mengundang beberapa Ulama dari wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara yang memiliki karomah besar untuk diajak musyawarah membahas kegiatan dakwah Islam dan pengembangannya di Pulau Jawa. Setelah mendengar dan memperhatikan cerita pengalaman dan temuan Sayyid Jumadil Kubro tentang situasi dan keadaan agama Islam di daerah Pulau Jawa, Akhirnya disepakati bahwa untuk melakukan kegiatan dakwah ke Pulau Jawa ditugaskan 9 (Sembilan) orang Ulama (Auliya’) dengan berbagai keahliannya masing-masing. Sembilan orang itu akan dibagi jadi tiga bagian, Jawa Timur tiga orang Ulama, Jawa Tengah tiga orang Ulama, Jawa Barat tiga orang Ulama, dengan masa bhakti satu abad (seratus tahun) apabila terjadi ada yang wafat atau pindah dari Pulau Jawa harus mengadakan rapat untuk mencari penggantinya. Kesembilan Ulama tersebut selanjutnya dilembagakan dan ditetapkan dengan sebutan WALI SONGO yang untuk pertama kalinya beranggotakan Sembilan Ulama, beliau-beliau adalah :

1. Maulana Malik Ibrahim, ahli Tata Negara dan pengobatan. Berdakwah di Jawa Timur.
2. Maulana Ishak dari Samarkhan beliau putra dari Sayyid Jumadil Kubro, ahli pengobatan. Berdakwah di Jawa Timur. Setelah tugas di Blambangan Banyuwangi beliau pindah ke Pasai. Menurut KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) beliau wafat dan dimakamkan di Jombang, di Jl. Garuda Dusun Tambak Beras Desa Tambak Rejo Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang (Jawa Timur).
3. Maulana Jumadil Kubro dari Samarkhan Azarbaijan, ahli militer. Berdakwah di lingkungan kerajaan Majapahit, wafat di Troloyo Mojokerto tahun 1465 M.
4. Maulana Ahmad al Maghroby (Sunan Geseng) dari Maroko Afrika Utara. Beliau terkenal sebagai orang yang kuat dan sakti berdakwah di Jawa tengah, wafat di daerah Majapahit dan dimakamkan di Pesantrennya Jati Anom Klaten tahun 1465 M.
5. Maulana Malik Isroil dari Turki ahli mengatur Negara. Berdakwah di Jawa Tengah, wafat di daerah Gunung Santri Cilegon Jawa Barat tahun 1435 M.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar dari Persia (Iran) ahli pengobatan dan pertanian. Berdakwah di Jawa tengah, wafat di daerah Gunung Santri Cilegon Jawa Barat tahun 1435 M.
7. Maulana Hasanuddin dari Palestina, berdakwah di Jawa Barat dan wafat tahun 1462 M, dimakamkan di samping Masjid Banten Lama.
8. Maulana Alayuddin dari Palestina, berdakwah di Jawa Barat, wafat tahun 1462 M, dimakamkan di samping Masjid Banten Lama.
9. Syekh Subakir dari Persia (Iran) ahli supranatural (tumbal tanah angker, mengusir jin setan), tugasnya di Pulau Jawa, beliau kembali ke negerinya Persia tahun 1462 M setelah selesai tugasnya.

Dari Sembilan Ulama (Wali Songo) generasi pertama ini yang ditunjuk sebagai pemimpin atau Mufti adalah Maulana Malik Ibrahim yang bertempat tinggal di Gresik. Sembilan Ulama Wali Songo diberangkatkan oleh Sultan Muhammad I dari Turki ke Pulau Jawa pada tahun 1404 M dengan mengendarai kapal dagang dan membawa barang dagangan yang diperkirakan laku diperdagangkan di Pulau Jawa.

Datang Di Pulau Jawa Yang Kedua

Untuk kedua kalinya Sayyid Jumadil Kubro datang di pulau Jawa bersama rombongan 9 Ulama yang terorganisir dalam lembaga dakwah WALI SONGO. Kedatangan Wali Songo ini membuat semakin geram dan galaknya kekuatan gaib yang selama ini menguasai Pulau Jawa. Semakin mengamuknya keangkeran jin, setan, dan makhluk sejenisnya disebabkan karena kekhawatiran akan hilangnya pengaruh dan berkurangnya pemuja-pemuja mereka, sebab kehadiran dan kegiatan dakwah para ulama wali songo yang akan berlawanan dengan apa yang selama ini dilakukan oleh masyarakat yang ada di Pulau Jawa yakni memuja jin, setan dan lain sebagainya.

Memasang Tumbal Di Pulau Jawa

Melihat situasi keangkeran pulau Jawa yang semakin menjadi-jadi, Syeikh Maulana Malik Ibrahim selaku Mufti Wali Songo yang pertama ini memberikan tugas kepada Syeikh Subakir salah satu anggota Wali Songo yang ahli dalam bidang metafisika (ahli mengusir jin, setan, genderuwo dan sejenisnya) untuk segera melakukan tugasnya memasang tumbal pada daerah-daerah angker di Pulau Jawa sehingga dapat melumpuhkan kekuatan-kekuatan gaib yang selama ini menguasai pulau Jawa. Setelah Syeikh Subakir memasang tumbal di puncak gunung tidar Magelang, selanjutnya Sayyid Jumadil Kubro dan semua wali membagi tugas dakwah. Sayyid Jumadil Kubro memilih wilayah dakwah di lingkungan kerajaan Majapahit dengan alasan beliau sudah memiliki jalur masuk lingkungan kerajaan Majapahit karena istri Prabu Kertawijaya (Brawijaya I) yakni Dewi dwarawati/Darawati Murdaningrum putri Raja Chempa adalah adik kandung dari menantu beliau Dewi Chandrawulan(istri Sayyid Ibrahim As-Samarkhandi).

Perang Saudara Kerajaan Majapahit

Setelah wafatnya Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk sekitar abad 14 mulai surut pamor dan kejayaan Majapahit. Perang saudara antara Wikramawardhana dengan Wirabumi mengakibatkan melemahnya kendali pusat pemerintahan kerajaan Majapahit. Penduduk Majapahit terutama dari Kasta Sudra dan Waisya (golongan masyarakat buruh dan petani) yang selama ini menempati derajat rendah dan hina mulai mengalami pembangkangan dan pemberontakan. Mereka merasa tidak dapat menerima adanya perbedaan derajat manusia. Kondisi yang demikian ini sangat menguntungkan bagi penyebaran agama Islam yang mengajarkan persamaan harkat, martabat dan derajat manusia. Ajaran ini menjadi berkembang, utamanya dikalangan masyarakat petani, nelayan, buruh dan pegawai kerajaan. Perlahan tapi pasti, masyarakat kelas bawah mulai berbondong-bondong memeluk agama Islam, mengikuti ajaran Wali Songo yang dengan bijak dan santun menyampaikan misi dalam dakwahnya.

Mohon Pertolongan untuk Mengatasi Kekacauan.

Keadaan di sekitar pusat kerajaan Majapahit semakin lama semakin memprihatinkan, baik akibat terjadinya perang saudara maupun akibat sering terjadinya perselisihan diantara pegawai kerajaan yang sudah memeluk Islam dan pegawai kerajaan yang masih beragama Hindu. Situasi ini ternyata membawa manfaat yang cukup besar bagi Sayyid Jumadil Kubro, penampilan yang sejuk tutur bicara yang santun ketika beliau beranjangsana ke keluarga kerajaan menjumpai Dewi Dwarawati (Darawati Murdaningrum) ternyata dapat membawa ketentraman di hati Prabu Kertawijaya. Hingga suatu saat, Dewi Dwarawati menyampaikan usul pada Prabu Majapahit atas saran pandangan Sayyid Jumadil Kubro supaya Prabu Majapahit mengundang seorang tokoh yang dianggap mampu menentramkan situasi kerajaan yang sedang dilanda kekacauan itu.

Saat kondisi kerajaan seperti itu maka Prabu Kertawijaya mengundang semua adipati dan para Tumenggung diajak rapat bersama yang intinya mencari orang (Ulama) yang bisa menenteramkan Majapahit. Keputusan rapat menyetujui Sayyid Ali Rahmatullah dari Chempa Muangthai (Putera Sayyid Ibrahim Samarkhani) akan diminta untuk menentramkan Majapahit. Maka para adipati yang telah ditunjuk untuk berangkat ke Chempa dan diantarkan oleh Maulana Iskhak bersama-sama berangkat menuju Chempa menemui Sayyid Ali Rahmatullah.

Rombongan Majapahit Tiba di Chempa

Setelah rombongan adipati Majapahit dan Maulana Iskhak tiba di Chempa disambut baik oleh Raja Chempa dan mengadakan musyawarah di ruangtamu kerajaan juga ditemui oleh Sayyid Ibrahim Samarkhandi dan anaknya Sayyid Ali Rahmatullah. Setelah hasil musyawarah ada kesepakatan maka berangkatlah semua adipati Majapahit, Sayyid Maulana Iskhak besertaSayyid Ali Rahmatullah yangdiantar oleh ayahnya Sayyid Ibrahim As-Samarkhandi dan saudaranya Sayyid Ali Murtadho (Raja Pandhito), bersama-sama berangkat naik kapal menuju pulau Jawa. Kapal yang ditumpangi rombongan tersebut berlabuh di Gresik. Setibanya di Gresik, tiba-tiba Sayyid Ibrahim As-Samarkhandi sakit dan dibawa ke Tuban, yang akhirnya wafat dan dimakamkan di Tuban (Kecamatan Palang). Sayyid Ali Murtadho (Raja Pandhito) meneruskan perjalanan dakwah keliling ke Nusa tenggara, Madura sampai ke Bima. Beliau disana mendapat julukan Panditho Bima. Setelah itu beliau kembali ke Gresik dan akhirnya wafat di Gresik. Beliau di Gresik mendapat julukan Raden Santri. Beliau mempunyai anak bernama Haji Ustman (Sunan Ngudung) yang menikah dengan Siti Syariáh binti Sunan Ampel mempunyai seorang anak bernama Amir Hasan. Dan Haji Ustman (Sunan Ngudung) juga menikah dengan dewi Sarah binti Tumenggung Wilwatikta Tuban mempunyai 2 anak : 1. Dewi Sujana yang dinikahkan dengan Umar Said (Sunan Muria) 2. Amir Haji (Sunan Kudus) menikah dengan Dewi Rukhila binti Sunan Bonang.

Adapun Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanannya ke Mojopahit. Beliau beserta rombongan utusan raja Mojopahit dari Gresik naik kapal mendarat di Canggukemudian menuju Kerajaan Mojopahit. Adapun dalam silsilah Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) adalah anak Sayyid Ibrahim As-Samarkhandi sedangkan Sayyid Ibrahim As-Samarkhandi anak Sayyid Jumadil Kubro. Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali Murtadho adalah cucu Sayyid Jumadil Kubro. Sedangkan Maulana Iskhak adalah anak kandung Sayyid Jumadil Kubro.

Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit

Setelah tiba di Majapahit Sayyid Ali Rahmatullah disambut baik oleh Prabu Brawijaya I (Prabu Ketawijaya) dan permaisurinya, Dewi Dwarawati (bibinya). Sedangkan Maulana Iskhak pergi ke Gresik.

Setelah mengadakan musyawarah dengan keluarga kerajaan, Sayyid Ali Rahmatullah mohon supaya semua Adipati dan Tumenggung dikumpulkan di ruang sidang kerajaan. Dengan semangat semua Adipati dan Tumenggung bahkan para prajurit berkumpul di ruang sidang Kerajaan Majapahit bahkan tidak ketinggalan Ki Ageng Supo Bungkul juga ikut hadir. Setelah Sayyid Ali Rahmatullah memberi nasehat tentang hokum syariát Islam, Tauhid dan Akhlaq semua sama takjub karena belum pernah mendengar. Apalagi pada waktu menerangkan tentang larangan-larangan hokum Syariát Islam dan akibat-akibat larangan agama Islam, banyak orang yang merasa ketakutan karena kenyataannya memang begitu. Yang hingga sekarang sering dikenal : MOH – LIMO (tidak mau dengan lima larangan), selama Sayyid Ali Rahmatullah berada di Kerajaan Majapahit, Sayyid Jumadil Kubro sering datang ke kerajaan perlu menawarkan barang dagangannya yang berupa emas, berlian, dan lain-lain pada warga kerajaan, sambil memberi saran pada Sayyid Ali Rahmatullah yang masih cucunya itu.

Berdakwah di Lingkungan Kerajaan

Sayyid Ali Rahmatullah berdakwah dengan cara terbuka memberi nasehat dengan lunak dan sabar. Mengangkat martabat umat yang miskin dan janda-janda apalagi yatim piatu. Dan pada waktu Sayyid Ali Rahmatullah membuat santunan pada janda-janda dan yatim piatu membuat kerajaan jadi tenteram. Raja Kertawijaya semakin kagum atas pemberian santunan yang dilakukan Sayyid Ali Rahmatullah karena hal itu belum pernah dilakukan di kerajaan. Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu oleh Prabu Ariyotejo Tuban, dijodohkan dengan anaknya yang bernama Dewi Candrawati dan setelah menikah Sayyid Ali Rahmatullah memberi nama baru pada istrinya dengan nama : Nyai Ageng Manila, selain itu Sayyid Ali Rahmatullah juga diberi hadiah wilayah di Surabaya dan bangunan rumah yang tepatnya di Ampel Denta.

Sayyid Ali Rahmatullah Datang ke Ampel

Keberangkatannya dari kerajaan Majapahit menuju Ampel denta Surabaya, Sayyid Ali Rahmatullah diantarkan para penduduk yang sudah masuk Islam dan Ki Ageng Sopa Bungkul juga ikut mengantarkan sambil berdakwah di Krian, Wonokromo dan Kembang Kuning Surabaya. Pada tahun 1421 M Wali Songo mengadakan rapat di Ampel denta untuk mengangkat Sunan Ampel masuk anggota Wali Songo sebagai pengganti Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 M. Rapat Wali songo yang pertama kali diselenggarakan ini, banyak dihadiri Adipati Majapahit. Bahkan Prabu Kertawijaya juga ikut hadir dan mendukung Sunan Ampel sebagai Mufti, karena beliau mengenang jasa Sunan Ampel di kerajaan Majapahit. Terbentuklah anggota Wali Songo Periode II. Pelaksanaan rapat tersebut diselenggarakan pada tanggal 17 Ramadhan, maka setiap bulan Ramadhan di masjid dan makam Sunan Ampel penuh sesak dikunjungi ribuan peziarah bertujuan untuk memperingati pengangkatan Sunan ampel menjadi Mufti Wali songo.

Sayyid Jumadil Kubra Wafat

Sayyid Jumadil Kubro memiliki semangat tinggi dalam memperjuangkan agama Islam. Bahkan usianya yang sudah lebih dari seratus tahun belum pernah surut perjuangannya. Dalam usia yang sangat tua itu Sayyid Jumadil Kubro punya niat ingin mati syahid. Dengan niatnya yang baik itu Sayyid Jumadil Kubro bertapa empat puluh hari memohon kepada Allah semoga akhir hayatnya dijadikan orang yang mati syahid.

Pada tahun 1465 M Wali Songo sedang membangun Masjid Demak, sedangkan kerajaan Majapahit mengadakan rapat mendadak. Semua Adipati hadir, kecuali Raden Patah, atas usulan Adipati yang beragama Hindu, Raden Patah harus dipanggil dan diadili karena tidak mentaati peraturan kerajaan Majapahit. Dengan semangat para Adipati yang beragama Hindu berangkat ke Demak bertujuan memanggil paksa Raden Patah. Namun setelah di Demak, para Adipati tersebut ditemui oleh Sayyid Jumadil Kubro dan Maulana Maghribi. Setelah para Adipati menyampaikan tujuannya memanggil paksa Raden Patah, dengan nada keras Sayyid Jumadil Kubro dan Maulana Maghribi mengusir para Adipati yang punya niat buruk itu. Sehingga terjadilah pertempuran yang akhirnya para Adipati mundur kembali ke Mojopahit. Setelah itu, Sayyid Jumadil Kubro dan Maulana Maghribi beserta para santri berangkat ke Majapahit, tujuannya memerangi para Adipati yang masih beragama Hindu itu. Setibanya di Majapahit terjadilah peperangan yang sangat dahsyat sehingga banyak Adipati yang gugur. Namun sudah menjadi niat Sayyid Jumadil Kubro ingin mati syahid, maka saat itu juga Sayyid Jumadil Kubro dan Maulana Maghribi juga gugur di medan peperangan. Dan tempat terjadinya peperangan di desa Troloyo pada tanggal 15 Muharram 857 H. kedua orang tersebut menjadi anggota Wali Songo selama 61 tahun (enam puluh satu) tahun. Adapun Sayyid Jumadil Kubro dimakamkan di desa Troloyo, dan beliau wafat berusia 116 tahun. Sedangkan Maulana Maghribi oleh para santrinya dimakamkan di Jatianom Klaten Jawa Tengah (di pesantrennya). Setelah peperangan sudah reda, Wali Songo mengadakan rapat yang ketiga kalinya bertempat di Ampel perlu mengangkat anggota baru untuk menggantikan anggota yang sudah wafat.

Sirna Hilang Kertaning Bumi

Wafatnya Sayyid Jumadil Kubro dan Maulana Maghribi (1465 M) bukanlah suatu kemenangan bagi kerajaan Majapahit, malah membuat malapetaka. Apakah yang terjadi? Prabu Kertabumi semakin beringas dan menuduh beberapa Adipati dengan tuduhan munafik, karena banyaknya Adipati dan Tumenggung yang gugur. Atas tuduhan sang Raja tersebut banyak Adipati yang menentang tuduhannya, sehingga terjadi perselisihan dan sebagian ada yang memisahkan diri dari wilayah kerajaan Majapahit. Setelah itu sang raja bersama-sama Adipati yang masih mengikuti kerajaan Majapahit mengadakan rapat mendadak, karena ada kabar sebagian Adipati ada yang mau menyerang kerajaan Majapahit yang di dukung oleh Kerajaan Kediri. Dengan adanya kabar tersebut Prabu Kertabumi sangat kebingungan. Di saat itulah Tumenggung Satim Singomoyo mulai berani mengajukan seruan pada Kertabumi yang intinya Prabu Kertabumi diajak masuk agama Islam dan kerajaan disatukan dengan Wali Songo agar kerajaan lebih kuat. Namun usulannya ditolak oleh Prabu Kertabumi. Pada tahun 1478 M pasukan perang dari Keling Kediri yang dipimpin Girindra Wardana yang jumlahnya ribuan dengan mendadak langsung melingkari kerajaan Majapahit. Sedangkan Prabu Girindra Wardana langsung masuk menemui Prabu Kertabumi. Prabu Kertabumi tidak mengadakan perlawanan tapi langsung membuat surat penyerahan kerajaan Majapahit kepada Girindra Wardana. Setelah Prabu Kertabumi membuat surat penyerahan, beliau pergi ke lereng Gunung Lawu.

Gugurnya Sunan Ngudung

Pada tahun 1481 M Girindra Wardana menyerang Sunan Giri, karena khawatir akan berdirinya kerajaan Islam di Jawa Timur. Namun usahanya gagal karena mengalami kekalahan, meskipun mengalami kekalahan, usahanya pantang mundur, beliau masih punya rencana ingin menyerang Wali Songo dengan cara sangat licik yang intinya orang Islam Majapahit bisa berperang melawan Wali Songo. Raden Patah membuat keputusan untuk mencabut surat penyerahan kerajaan Majapahit dari Girindra Wardana yang ditandatangani Prabu Kertabumi. Dikirimlah utusan ke Majapahit, namun oleh Prabu Girindra Wardana ditolak dengan cara kasar hingga menyulut peperangan. Karena Raden Patah merasa punya hak waris kerajaan Majapahit, maka Raden Patah menugaskan Sunan Ngudung sebagai senopati Demak untuk memimpin perang melawan Majapahit. Terjadilah peperangan yang sangat hebat. Perang antara Demak dan Majapahit berlangsung hingga hampir dua tahun. Di akhir peperangan itulah Sunan Ngudung gugur melawan pasukan perang Majapahit. Pasukan Demak hampir mengalami kekalahan. Sunan Kalijaga bersiasat, dengan cara sembunyi-sembunyi menemui pemimpin perang Majapahit, yang ternyata pemimpin perang adalah Raden Husen adik kandung Raden Patah. Setelah mengadakan pertemuan barulah Raden Husen mengerti kalau orang Islam Majapahit diadu oleh Girindra Wardana untuk melawan Wali Songo. Atas hasil musyawarah Raden Husen dengan Sunan kalijaga membawa hasil yang sangat memuaskan. Pasukan perang yang dipimpin Raden Husen bergabung dengan pasukan Demak berbalik arah sama-sama menyerang pasukan Majapahit. Raja Girindra Wardana merasa terdesak dan melarikan diri. Keterangan sejarah babad tanah Jawa, setelah Raden Patah berhasil merebut kerajaan Majapahit dari kekuasaan Prabu Girindra Wardana, Raden Patah beserta Sunan Kalijaga langsung ke Sunan Giri perlu melaporkan atas kemenangannya. Setelah kedua anggota Wali Songo itu tiba menghadap Sunan Giri, selain melaporkan keberhasilannya merebut kerajaan Majapahit juga mengadakan musyawarah tentang kelanjutan kerajaan Majapahit. Sunan Kalijaga membuat usulan : Sebaiknya bangunan Istana Kerajaan dibongkar dan diboyong ke Demak sekaligus pusaka-pusaka yang ada sebagai bukti kalau raden Patah adalah hak waris kerajaan Majapahit. Sunan Giri sebagai mufti Wali Songo menerima usulan Sunan Kalijaga. Maka kemudian diputuskan "Bangunan istana dan semua pusaka kerajaan Majapahit di boyong ke Demak”.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Kenalin Saya

Foto saya
GURUKU KYAI BUKAN MBAH GOOGLE Belajarlah agama kepada guru yang sanad keilmuannya sampai kepada Rasulullah. Belajar langsung dengan bertatap muka kepada guru fadhilahnya sangat agung. Dikatakan bahwa duduk di majelis ilmu sesaat lebih utama daripada shalat 1000 rakaat. Namun jika hal itu tidak memungkinkan karena kesibukan yang lain, maka jangan pernah biarkan waktu luang tanpa belajar agama, untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun tetap harus di bawah pantauan atau bimbingan orang yang ahli. HATI-HATI DENGAN GOOGLE Jika anda suka bertanya hukum kepada mbah google, pesan kami, hati-hati karena sudah banyak orang yang tersesat akibat tidak bisa membedakan antara yang salaf dengan yang salafi. Oleh karena itu untuk membantu mereka kaum awam, kami meluncurkan situs www.islamuna.info sebagai pengganti dari google dalam mencari informasi Islam. Mulai sekarang jika akan bertanya hukum atau info keislamna, tinggalkan google, beralihlah kepada Islamuna.info Googlenya Aswaja.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. JIHAD ILMIAH - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template