Desa Kajen Kecamatan Margoyoso, berjarak sekitar 18 kilo meter ke arah utara dari Kota Pati, Jawa tengah. Desa yang biasa disebut “Desa Pesantren” Ini merupakan Desa yang telah banyak berjasa menyumbangkan putra-putri terbaiknya terhadap Bangsa, Negara dan Agama. Hal itu dirasa tidak berlebihan, dimana desa tersebut mengajarkan berbagai literatur ilmu-ilmu agama Islam serta umum hasil karya ulama-ulama, lembaga pendidikan formal (madrasah ) maupun lembaga pendidikan Non Formal (Pesantren) yang kelahirannya telah dibidani oleh ulama-ulama kharismatik yang berhaibah tinggi dihadapan para umatnya, telah mampu menjadikan tampilan wujud desa ini menjadi sangat kontras bila dibandingkan dengan desa-desa lain di Kabupaten Pati. Bahkan tak ayal Kesa Kajen praktis menjadi kiblat refrensi dan rujukan dari berbagai penyelesaian Keagamaan.
Potret KH.Abdullah Zen Salam
Kebesaran kajen ini tak lepas dari sosok Waliyullah Syaikh Ahmad Mutamakkin, sosok ulama sufi yang hidup pada Abad 16-17 M (1695-1740).3 yang konon adalah salah satu penyebar pertama agama Islam di tanah Kajen dan sekitarnya. KH Abdullah Zen Salam adalah keturunan ke tujuh dari pihak ayah sampai kepada Syaikh Mutamakkin. Silsilahnya adalah KH.Abdullah Zen Salam bin KH Abdussalam bin KH Abdullah bin Nyai Muntirah binti KH Bunyamin bin Nyai Toyyibah binti KH.Muhammad Hendro bin KH Ahmad Mutammakin. Yang jika ditarik garis keturunan menunjukkan beliau, Syaikh Abdullah Zen Salam, masih mempunyai garis darah sampai pada Nabiyullah Muhammad SAW yang tepatnya keturunan ke 35.
Perjalanan Pendidikan KH Abdullah Zen Salam
Ada beberapa versi yang menjelaskan perjalanan pendidikan KH.Abdullah Zen Salam, salah satunya bahwa sejak kecil Mbah Dullah telah terbiasa hidup mandiri dan terpisah dari keluarganya, belum genap tujuh tahun beliau ikut pamannya dari pihak Ibu di Jepara yaitu Kyai Sholihin untuk belajar mengaji Al-qur’an Binnadhor. Saat usianya mencapai tujuh tahun, beliau melanjutkan pendidikan di Kajen, tepatnya di Perguruan Islam mathali’ul falah dimana Abahnya sendiri KH. Abdussalam sebagai mudir (kepala sekolah) waktu itu. Setelah lulus dari Mathole’ beliau diantar kakaknya KH.Mahfudz ke Madura untuk menghafal Al qur’an di bawah asuhan Kyai Mohammad Sa’id dan kemudian melanjutkan ke pesantren Tebu Ireng, Jombang dibawah asuhan KH.Hasyim Asy’ari. Versi lain mengatakan bahwa setelah beliau mengaji Al qur’an binnadhor di Jepara, beliau melanjutkan ke Sampang Madura baru kemudian kembali ke Kajen untuk tholabul ilmi di Perguruan Islam Matholi’ul Falah. Setelah itu baru diantar kakaknya ke Tebu Ireng.
Di Tebu Ireng beliau seangkatan dengan teman-teman sesama dari Kajen antara lain KH. DuriNawawi, KH. Ni’am Tamyis dan KH.Abdul Hadi. Diantara dua yang terakhir usia beliau termasuk yang paling muda, namun demikian justru beliaulah yang sering membantu mencarikan tambahan bekal bila kedua teman tersebut kehabisan bekal. Sebenarnya pendidikan beliau di Tebu ireng belum rampung, namun ditarik pulang oleh abahnya , KH. Abdussalam, yang kemudian dinikahkan dengan Nyai Aisyah. Awal pernikahan beliau bertempat tinggal di Bugel – Jepara, tepatnya di kediaman Mertua beliau KH.Ismail. Selang beberapa waktu beliau ditimbali pulang oleh KH.Abdussalam ke Kajen. Meskipun secara formal pendidikan beliau sudah berakhir, namun secara Informal beliau masih aktif belajar pada beberapa pihak, termasuk pada KH. Muhammadun Kajen pada tahun 1956/1957. Sepulang dari Kudus, yaitu setelah mengaji Qiro’ah Sab’ah dengan KH. Arwani Kudus. Beliau mengajar di Perguruan Islam Matholi’ul Falah dan sebagai Pengasuh di Pesantren Matholi’ul Huda (PUSAT)
KH. Abdullah Zen Salam yang akrab disapa dengan Mbah Dullah ini dilahirkan di Kajen Margoyoso Pati dengan nama Abdullah. Namun ketika kanak-kanak nama beliau ditambahi Zen, menjadi Abdullah Zen, untuk membedakan beliau dengan beberapa anak sebaya yang kebetulan bernama sama, yaitu Abdullah dan Salam diambil dari nama Romo beliau menjadi Abdullah Zain Salam. Belum jelas tentang tahun, tanggal dan bulan lahir beliau. Menurut KH.Ma’munMuzayyin, menantu Mbah Dullah istri dari nyai Hanifah, berdasarkan informasi dari ayahnya KH Muzayyin, Mbah Dullah lahir pada 1917. Sementara masih menurut KH Muzayyin, Mbah Dullah sendiri secara langsung pernah mengatakan, bahwa beliau dilahirkan pada tahun 1920. Dipihak lain, ada sumber yang mengatakan, bahwa beliau dilahirkan berkisar antara tahun 1910-1915.
KH.Abdullah Zen Salam adalah salah satu putra KH. Abdussalam. KH.Abdussalam ini beristri empat orang. Dari istri pertama dikaruniai dua orang anak yakni:
1.Nyai Aisyah
2.KH Mahfudh (yang wafat dan dimakamkan di Ambarawa).
Sementara KH.Abdullah Zain Salam sendiri adalah putra pertama dari istri ke dua KH. Abdussalam yaitu
Nyai Sumrah, yang jumlah seluruhnya empat bersaudara.
Nyai Sumrah, yang jumlah seluruhnya empat bersaudara.
1.KH Abdullah Zen Salam Kajen
2.KH Ali Mukhtar Kajen
3.seorang putri yang meninggal pada usia empat tahun.
4.Nyai Saudah Jepara.
Manajemen Pendidikan Ala KH Abdullah Zen Salam
KH Abdullah Zen Salam dikenal dengan prinsipnya yang tegas, baik posisinya sebagai imam di keluarganya maupun sebagai sosok figur di sekolah dan masyarakat. Ada sebuah kisah, konon pernah terjadi ketika tahun 1945, ibu Hj.Sholihah Mukhtar, salah satu lulusan pertama Banat PIM di panggil KH.Abdullah Zen Salam untuk mengajar di Mathole’, saat itu pemerintah menganjurkan untuk para pengajar agama formal di Indonesia melakukan ujian guru agama di Kabupaten lain. Mendengar hal itu ibu Hj. Sholichah Mukhtar dan para guru-guru Mathole’berinisiatif untuk mengikuti ujian guru tersebut, saat ibu Sholichah dan beberapa teman guru meminta izin kepada Mbah Dullah, dengan tegas beliau melarang, dan ngendikan bahwa “Kalau mengajar harus dengan ikhlas, jangan mencari untung keduniaan dengan ilmu”.
Akhirnya ibu Hj.Sholihah dan beberapa teman yang ikut sowan pun menanggalkan niatan mereka untuk mengikuti ujian guru Agama. Namun, ternyata ada beberapa dari para guru yang tetap mengikuti ujian agama tanpa seizin KH.Abdullah Zen Salam yang saat itu memiliki posisi sebagai pimpinan di sekolah Matholi’ul Falah. Sekembalinya mereka dari ujian, Mbah Dullah (begitu beliau biasa dipanggil), marah dan mencabut hak para guru yang ikut ujian tersebut sebagai pengajar di mathole’ walaupun ada beberapa dari guru tersebut yang tergolong masih kerabatnya sendiri.
Ada juga kisah tentang beliau ini, Matholi’ul Falah adalah sebuah Perguruan Islam yang mengajarkan 75% Ilmu Agama dan selebihnya Ilmu Umum. Mempunyai motto “I’dadu Al-Insan Al-Sholih Wa Al–Akrom” untuk menjadi kholifah di muka bumi. KH.Abdullah Zen Salam adalah figur muru’ah dan wira’i yang menjaga benar harga diri dan ngerekso dari perkara-perkara syubhat. Konon cerita, suatu saat Mathole’ mendapat surat intruksi dari pemerintah agar para murid mengikuti ujian yang dikoordinir oleh negara, mendapati hal tersebut Mbah Dullah dengan tenang tidak memperdulikan intruksi tersebut dan berinisiatif lebih baik menutup sekolah dari pada Madrasah yang beliau pimpin di usik oleh pihak pemerintah. Hingga dulu, konon sempat Madrasah Mathole’ vakum beberapa saat karena
mempertahankan prinsip. Namun, akhirnya Madrasah Mathali’ul Falah kembali bangkit dengan semangat baru yaitu Perguruan Islam Matholi’ul Falah (PIM) yang Menggunakan basis pesantren.
mempertahankan prinsip. Namun, akhirnya Madrasah Mathali’ul Falah kembali bangkit dengan semangat baru yaitu Perguruan Islam Matholi’ul Falah (PIM) yang Menggunakan basis pesantren.
Beliau, KH.Abdullah Zen Salam, sangat menjaga dan berhati-hati dalam membangun kurikulum yang beliau terapkan. Suatu ketika KH Ahmad Nafi’ Abdillah, putra KH Abdullah Zen Salam pernah ngendikan di kelas 2 Aliyah PIM banat saat mengajar Ilmu Tasawwuf. Beliau berpesan bahwa, “Berniatlah yang ikhlas dalam menuntut ilmu, jangan berharap pamrih atas jerih payah dalam mencari ilmu, jangan melakukan sesuatu karena ingin dipuji, untuk meraih kekuasaan atau kesenangan dunia semata. Hubbu Al dunya ro’su kulli khothiah, cinta dunia adalah kunci segala keburukan. Dan kelak ketika kamu sudah sukses lulus dari PIM jangan segan-segan mengamalkan ilmu yang telah di dapatkan di madrasah, jangan sampai apa yang kamu dapat berhenti di kamu. ”Al ‘ilmu bila ‘amalin kasyajari bila tsamarin”. Ingatlah ketika kamu sudah menjadi orang yang berilmu sesungguhnya ilmu yang kamu dapat adalah milik Allah dan ilmu yang kamu dapat adalah sedikit adanya” .
Ucapan
Beliau ini seperti mengamini pesan Mbah Dullah. Dimana Man ‘Amila ‘Imuhu, Al‘ilmahullahu ma lam ya’lam . Disebuah peribahasa disebutkan bahwa suatu qoum dapat dibilang sukses dilihat dari keilmuannya. Juga pernah pada tahun 1978 Mbah Dullah berpesan di dalam pidatonya di hadapan para siswa Banin PIM yang dikhususkan teruntuk para siswa kelas tiga Aliyah (mustakhrijin ), bahwa “niat sekolah dan mengamalkan ilmu untuk mengejar kebahagiaan akhiran semata, jika akhirat sudah di dapat insya Allah keperluan dunia akan mudah. Nawaitu tholabul’ilmi libtighoi mardhotillah, berniat mencari ilmu Allah demi menggapai ridho Allah. man kaana yuriidu harfa al akhiroh, fazidlahum biharfi, waman kaana yuridu harfa Al dunya, nu’tihi minhaa wamaa lahu fii al akhiroh min al shidh”, barang siapa yang mencari keuntungan akhirot maka Allah akan menambah keuntungan tersebut, namun barang siapa yang mencari keuntungan dunia semata maka Allah tidak akan memberinya keuntungan di akhirat dan hanya sedikit keuntungannya di dunia. Ayat pendek tersebut dibaca berulang-ulang oleh beliau. Dan yang ayat tersebut dijabarkan dalam sebuah kalimat mantra yang menjadi landasan atau motto Perguruan Islam Matholi’ul Falah, I’daadu Al- Insan Al-sholih wa Al-akrom.
KH.Abdullah Zen Salam, Kiai Sufi
KH Abdullah Zen Salam adalah sosok seorang figur yang karakternya patut untuk diteladani, amalan ibadah beliau mencakup seluruh amaliyah keseharian yang selalu beliau jaga dan istiqomahkan, tidak ada kata “nganggur”. Dalam kamus hidup beliau. Konon semasa hidup KH Abdullah Zen Salam selalu disibukkan dengan jadwal ketat yang memang adalah amaliah keseharian beliau, mulai dari bangun tidur sampai dengan jadwal beliau hendak tidur lagi selalu beliau niatkan Lillahi Ta’ala dalam semua jenis kegiatan. Perilaku, akhlaq, tindakan sampai dawuh beliau adalah hikmah yang menjadi uswah teladan bagi orang- orang di sekitarnya. Beberapa bidang pengajaran yang beliau aktif terjun di dalamnya adalah sebagai Pengasuh di pesantren Tahafudz untuk para siswa PIM dan guru Thoriqoh, salah satu staf pengajar di PIM, koordinator Masjid Kajen, Pengampu pengajian kitab kuning mingguan pada hari Rabu dan Kamis di ndalem beliau dan lapangan Margoyoso juga banyak aktivitas lain yang beliau turut gawe di dalamnya.
Di samping karakter Mbah Dullah yang tak membiarkan amalannya menjadi kesia-siaan dalam ibadah, beliau adalah sosok fleksibel di mata masyarakat. Mbah Dullah yang dipandang sebagai sosok Sufi, ahli Fikih dan Tasawuf ini juga paham akan permasalahan selain keilmuan. Di nilai seperti itu karena konon, dulu saat masyarakat yang datang dari berbagai kelas sosial dan mata pencaharian yang tidak sama, datang pada beliau untuk sowan dan mengutarakan permasalahan, beliau pasti paham dan memberikan solusi dengan tepat.
Ada cerita, sekitar tahun 1975, ada salah satu dari para hadirin yang ikut pengaosan malem sowan pada beliau dan meminta restu untuk nyalon sebagai Lurah di Blora, oleh Mbah Dullah dijawab dengan tenang “ Kowe nduwe duet seket juta? Umpomo nduwe yo monggo nyalonno”. Kata-kata Mbah Dullah yang sedikit ini bisa diambil hikmah, bahwa pada tahun tersebut, sosok Mbah Dullah yang tidak pernah terjun langsung dalam dunia politik dan dilihat dari perekonomian masyarakat yang baru hidup beliau sudah paham akan Metode Money Politic (politik uang) yang pada zaman itu seorang ahli politik pun belum dirasa sampai pada pemikiran seperti itu namun Mbah Dullah sudah paham benar.
Dan dari cerita lain, ada seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai DPR yang sowan dan minta restu
kepada Mbah Dullah, oleh Mbah Dullah dijawab dengan tegas bahwa jika seseorang menginginkan posisi
sebagai Wakil Rakyat maka dia harus mampu berkepribadian seperti Dzul Yaddain dan jangan sampai mempunyai sifat Dzul Wajhain. Dalam sebuah kisah di dalam kitab Al Hadits Bulughul Marom, Dzul Yaddain adalah seorang sahabat Nabi, suatu ketika Nabi tengah menjalankan ibadah sholat Dhuhur namun anehnya sholat yang beliau lakukan hanya dua rakaat, mendapati pemandangan tersebut
para sahabat yang lain hanya melihat dan berhusnudzon bahwa mungkin saja Nabi mendapat wahyu yang menjadikan sholatnya hanya dua rakaat atau mungkin Nabi sedang mengkosor sholatnya. Namun tidak dengan Dzul Yaddain, setelah Nabi salam dia menanyakan perihal apa Nabi melakukan sholat dhuhur dua rokaat, ternyata Nabi lupa bahwa sholatnya belum genap empat rakaat. Setelah sadar akan kesalahan itu beliau pun sholat kembali dua rakaat. (Pelajaran dari Dzul Yaddain adalah jangan segan menegur pemimpin yang salah atau mungkin lupa bahwa dia melakukan sesuatu yang keliru). Tegas akan sesuatu yang haq dan Batil meski seorang yang salah itu mempunyai posisi yang lebih tinggi derajatnya di atas kita.
kepada Mbah Dullah, oleh Mbah Dullah dijawab dengan tegas bahwa jika seseorang menginginkan posisi
sebagai Wakil Rakyat maka dia harus mampu berkepribadian seperti Dzul Yaddain dan jangan sampai mempunyai sifat Dzul Wajhain. Dalam sebuah kisah di dalam kitab Al Hadits Bulughul Marom, Dzul Yaddain adalah seorang sahabat Nabi, suatu ketika Nabi tengah menjalankan ibadah sholat Dhuhur namun anehnya sholat yang beliau lakukan hanya dua rakaat, mendapati pemandangan tersebut
para sahabat yang lain hanya melihat dan berhusnudzon bahwa mungkin saja Nabi mendapat wahyu yang menjadikan sholatnya hanya dua rakaat atau mungkin Nabi sedang mengkosor sholatnya. Namun tidak dengan Dzul Yaddain, setelah Nabi salam dia menanyakan perihal apa Nabi melakukan sholat dhuhur dua rokaat, ternyata Nabi lupa bahwa sholatnya belum genap empat rakaat. Setelah sadar akan kesalahan itu beliau pun sholat kembali dua rakaat. (Pelajaran dari Dzul Yaddain adalah jangan segan menegur pemimpin yang salah atau mungkin lupa bahwa dia melakukan sesuatu yang keliru). Tegas akan sesuatu yang haq dan Batil meski seorang yang salah itu mempunyai posisi yang lebih tinggi derajatnya di atas kita.
Dan jangan sampai mempunyai sifat Dzul Wajhain, Dzul Wajhain di sini bermakna seorang yang mempunyai dua wajah, paradoks, atau biasa disebut juga munafik. Haram hukumnya menjadi orang yang bersifat seperti ini di mana pun posisi dia berada.
KH. Abdullah Zen Salam, Organisator Sukses
Figur organisator sukses, beliau KH.Abdullah Zen Salam adalah seorang manager yang hebat dari masanya hingga ketiadaannya. Sosok karismatik, berwawasan dan pendidik yang patut diteladani. Dulu pada zamannya Mbah Dullah adalah orang yang tidak senang merepotkan orang lain, beliau lebih suka melakukan sendiri semuanya dan turun langsung dalam semua kegiatan.
Contohnya organisasi sebagai staf pengajar di PIM, pondok pesantren dan Masjid Kajen, beliau mengkoordinir semuanya dengan rapi dan baik. Di Masjid Kajen beliau yang mengatur, mulai khotib sholat Jum’at, badal imam sholat, bilal, hingga mu’adzin. Menstruktur pengajar dan kegiatan murid di PIM mendidik dan memilih kader sebagai pengurus di pesantren. Di dalam keluarga pun Mbah Dullah adalah sosok kepala keluarga yang sukses mengantarkan putra putri beliau menjadi manusia yang sholih dan akrom. Dengan gaya mengajar tegas dan disiplin, beliau mendidik mereka sesuai bidang pribadi masing-masing dengan catatan Al-Quran adalah fokus pertama yang harus diutamakan. Setelah dirasa mampu akhirnya Mbah Dullah mengatur manajemen pesantren ke tangan para putra beliau dimana beliau masih mengomando dari belakang.
KH Abdullah Zen Salam dikaruniai sembilan orang anak yang dua meninggal saat masih kecil yakni :
1. Ibu Nyai Hj.Munawwaroh , menikah dengan KH.M.Busro Abdul Latif, menetap di Purwodadi. Pengasuh pondok Pesantren Nurul Hidayah. Dikaruniai 4 orang anak.
2. Laki- laki, meninggal saat masih kecil
3. Ahmad Nafi’ Abdillah, menikah dengan Nyai Hj.Mahmudah Nafi’. Menetap di Kajen. Pengasuh pondok PMH PUSAT dan sekarang menjadi Direktur Perguruan Islam Mathaliul Falah. Dikarunia 8 orang anak.
4. Ibu Nyai Hj.Hanifah Menikah Dengan KH.Ma’munMuzayyin. Menetap di Kajen, Pengasuh PP.Al.HikmahDan Madrasah Perguruan Islam Al-Hikmah(PRIMA). Dikarunia 11 orang anak.
5. Ahmad Minan Abdullah menikah dengan Nyai Hj.Maftukhah Minan, menetap di Kajen, pengasuh PP.Nurul Quran. Dikaruniai 5 orang anak.
6. Nyai Hj.Ishmah menikah dengan KH.Ulin Nuha Arwani, menetap di Kudus, pengasuh yayasan Arwaniyah-Yanbu’a. Dikaruniai 2 orang anak namun meninggal semua saat masih kecil.
7. Zaki Fuad, menikah dengan Nyai Hj.Robiatul Adawiyah, menetap di Kajen, pegasuh PP.Al-Kautsar dan
SMK Cordofa. Dikaruniai 9 orang anak.
SMK Cordofa. Dikaruniai 9 orang anak.
8. Nyai Hj.Shofwatin Nikmah, menikah dengan KH.Abdullah Ubaid, menetap di Tegal, pengasuhPP.Darul Quran. Dikaruniai 7 orang anak, 1 meninggal.
9. Perempuan, meninggal saat masih Kecil
Banyak pondok pesantren yang vakum sementara setelah Romo Kiyainya meninggal dunia karena Gusnya (putra Kiyai) belum mampu menggantikan posisi Abahnya sebagai Pengasuh Pondok, namun KH.Abdullah Zen Salam telah membuktikan bahwa metode pendidikan yang beliau terapkan telah berhasil, terbukti setelah wafatnya beliau, para putra beliau telah siap tampil menggantikan posisi beliau. Metode pendidikan ini kiranya diajarkan secara turun temurun hingga sekarang.
Figur Yang Dihormati
Terhormat, adalah kata yang lazim bila disandingkan dengan KH.Abdullah Zen Salam, berbagai sifat dan akhlaq mulia yang beliau contohkan telah membangun pribadi yang layak untuk menyebutnya sebagai seorang yang terhormat. Konon pada tahun 1999 KH.Abdurrahmah Wachid yang biasa disapa Gus Dur saat itu baru resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, selang beberapa hari kurang lebih belum ada satu minggu beliau sudah menyempatkan diri untuk sowan ke kediaman KH.Abdullah Zen salam untuk silaturrahmi dan meminta restu dari beliau. Pernah ditulis dalam beberapa buah buku biografi KH. Abdurrahman Wachid bahwa beliau adalah salah seorang Waliyullah yang karismatik dan ma’rifat, tertulis juga dalam sebuah buku tentang beliau, bahwa ada tiga orang Kiyai di Indonesia yang sangat beliau hormati dan segani yang juga tergolong Waliyullah, nama–nama beliau sama, yaitu menggunakan nama panggilan Abdullah. Yaitu KH. Abdullah Abbas Cirebon, KH. Abdullah Fakih Jawa Timur Dan KH.Abdullah Zen Salam Jawa Tengah.
Ada sebuah cerita dari ibu Hj. Sholichah Muchtar, bahwa pernah pada tahun 1970 beliau sowan kekediaman KH. Hamid di Pasuruan. Oleh beliau, Ibu Sholichah ditanya alamat, setelah Ibu Sholihah menjawab bahwa beliau berangkat dari Kajen, KH. Hamid bercerita, di tanah Jawa banyak terdapat kiyai karismatik namun hanya tinggal dua Waliyullah yang sekarang masih ada yaitu KH. Muhammadun dan KH.Abdullah Zen Salam yang berada di tanah Kajen Pati.
Wallahu a’lam lidzati wa dzati ghairihi.
Akhir Hayat KH.Abdullah Zen Salam
Sejak seminggu sebelum wafatnya Mbah Dullah tepatnya pada hari Ahad 4 November 2001 kesehatan KH.Abdullah Zen Salam mendapatkan masalah yang cukup serius, pada hari Senin tanggal 5 November dengan tertatih beliau memaksakan diri pagi-pagi sekali untuk berziarah ke pesarean kakek buyutnya sekaligus guru rohaninya yaituKH.Ahmad Mutamakkin. Sepertinya beliau sudah sangat menyadari bahwa waktunya sudah akan tiba. Dokter Muhtadi adalah dokter yang sudah puluhan tahun menangani kesehatan beliau. Sebagai Dokter pribadi, meminta Mbah Dullah untuk dirawat di RSI (Sunan Kudus) setelah melihat detak jantung beliau yang tampak cepat dan tidak stabil. Meski awalnya Mbah Dullah menolak saat yang meminta adalah putra dan kerabat beliau, namun akhirnya beliau mau menuruti ketika yang menyarankan adalah seorang dokter. Saat hendak dibawa ke RS Kudus, beliau sempat berpamitan dengan istrinya, Nyai Aisyah.
Pada 1 November 2001 beliau memaksa untuk pulang dari rumah sakit, waktu itu dokter menghendaki agar beliau mau dirawat sampai kondisi kesehatannya relatif membaik namun kepada cucunya Muhammah Ainun Na’im, KH. Abdullah Zan Salam malah menegaskan “Buat apa lama-lama disini, saya mau pulang sekarang, saya ini mau meninggal”. Memang, sudah lebih setahun terakhir beliau acap kali berkata bahwa beliau sudah tidak punya apa-apa lagi kecuali ini, katanya sambil menunjuk jam tangan yang digunakan beliau. Waktu itu tidak ada yang berfikiran bahwa yang beliau maksud adalah yang beliau miliki tinggal waktu menunggu jemputan ajal.
Pagi itu keinginan beliau untuk pulang tidak bisa dicegah lagi dan beliau akhirnya memang benar-benar pulang ke rumahnya di Kajen. Bahkan tampaknya bukan ingin pulang ke rumah, tapi sekaligus pulang ke kamarnya sendiri. Ini tampak ketika keluarganya menyiapkan kamar khusus di rumahnya yang dimaksud untuk mempermudah perawatan, beliau menolak dan terus memaksa untuk ditempatkan dikamarnya sendiri. Kehendak beliau pun dituruti, beliau ditempatkan di kamarnya sendiri yang sangat sederhana, tempat yang menjadi saksi pengabdian beliau dan juga sebagai saksi bisu kepergian beliau.
Setelah semalaman kondisi kesehatannya tampak tidak stabil, sehabis Subuh, beliau tampak tertidur nyenyak. Kondisi ini berlangsung sampai ajal menjemputnya pada pukul 14.33 WIB. Terlihat kondisi beliau
sedemikian tenang dan damai ketika berangkat menuju Kekasih Agungnya. Hari itu Ahad 11 Nopember 2001 M yang bertepatan dengan 25 Sya’ban 1422 H, KH. Abdullah Zen Salam Kajen wafat. Semesta tertunduk menghormati keberangkatan sang permata.
sedemikian tenang dan damai ketika berangkat menuju Kekasih Agungnya. Hari itu Ahad 11 Nopember 2001 M yang bertepatan dengan 25 Sya’ban 1422 H, KH. Abdullah Zen Salam Kajen wafat. Semesta tertunduk menghormati keberangkatan sang permata.
Lahu Al-Faatihah
Sumber : Kaysha Robah An-Naufal
Pangapunten ,nyuwun sewu .saya mau meminta izin untuk mengambil beberapa informasi terkait dengan postingan ini untuk bahan menulis 🙏🏻
BalasHapus