Menyikapi Ajakan kembali kepada Al - Qur'an dan Sunnah - JIHAD ILMIAH
Headlines News :
Home » » Menyikapi Ajakan kembali kepada Al - Qur'an dan Sunnah

Menyikapi Ajakan kembali kepada Al - Qur'an dan Sunnah

Written By Guruku Kyai Bukan Mbah Google on Selasa, 11 April 2017 | 09.19


 ~ Mengaji di masjid yang jama’ahnya relatif “heterogen”, saya biasanya menyampaikan beberapa pendapat ulama, dengan dalil-dalil mereka secara singkat. Tujuannya, agar kita bisa saling menghormati “perbedaan berdasar dalil” yang terjadi di tengah umat, apalagi jama’ah satu masjid.

Masjid tempat sejuk mencari ketenangan dan keberkahan, bukan ruang panas untuk menyatakan “pendapat saya yang paling benar”. Kita berhak mengikuti suatu madzhab, tapi tidak berhak memaksa orang lain untuk mengikuti madzhab dan pendapat kita. Tentu, selagi semua berdasarkan dalil normatif.

Namun, di tengah menyampaikan pendapat para ulama, ada saja yang masih menganggap:
• “Itu kan omongan orang”.
•“Harusnya Anda langsung mengambil dari al-Qur’an dan Sunnah!”

Seperti pagi itu, saat menyampaikan kuliah subuh rutin di salah satu masjid di kota Malang. Materi yang saya sampaikan adalah fikih, salah satu disiplin ilmu yang penuh dengan khilaf ulama. Saat saya sampaikan beberapa pendapat itu, tiba-tiba ada jama’ah putri mengajukan interupsi. “Ustadz, seharusnya Anda langsung merujuk pada al-Qur’an dan Hadits. Jangan kata orang, kata orang!”

Pernyataan semacam ini sekilas benar dan luhur. Namun sangat tidak elok bila tujuannya untuk mempertentangkan pendapat (baca: hasil ijtihad) ulama dengan al-Qur’an dan Sunnah. Orang awam diteror dengan al-Qur’an, diteror dengan Rasulullah: “Itu kan kata kiaimu, bukan kata Allah dan Rasulullah!”

Saya mengajak pengaju interupsi itu menalar secara mendasar logikanya untuk kembali pada Qur’an Hadits. “Baik bu, kita sepakat untuk merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah. Tapi kalau misalnya ada dua hadits, yang satu shahih, yang satu dha’if, ibu pilih hadits yang mana?”

“Jelas yang shahih,” jawab beliau.

“Lalu, siapa yang mengatakan hadits ini shahih, hasan, atau dha’if? Al-Qur’an, Rasulullah, apa ulama, yang menurut ibu ‘kata orang’ itu?”

Beliau tidak menjawab.

Saya tidak bermaksud “mensekak” beliau. Tapi memang “kembali pada al-Qur’an dan Sunnah” adalah tugas para ulama mujtahid, bukan orang awam seperti kita ini.

Kita memiliki banyak keterbatasan untuk langsung mengambil kesimpulan hukum dari suatu dalil (istinbath al-ahkam).

Nyatanya, status suatu hadits itu shahih, hasan, atau dha’if pun, adalah produk ijtihad ulama (orang), bukan kata al-Qur’an dan Sunnah. Maka, merujuk ijtihad ulama, bukan berarti meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah.

Wallahu a’lam.

Oleh: Ustadz Faris Khoirul Anam, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PCNU Kota Malang
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Kenalin Saya

Foto saya
GURUKU KYAI BUKAN MBAH GOOGLE Belajarlah agama kepada guru yang sanad keilmuannya sampai kepada Rasulullah. Belajar langsung dengan bertatap muka kepada guru fadhilahnya sangat agung. Dikatakan bahwa duduk di majelis ilmu sesaat lebih utama daripada shalat 1000 rakaat. Namun jika hal itu tidak memungkinkan karena kesibukan yang lain, maka jangan pernah biarkan waktu luang tanpa belajar agama, untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun tetap harus di bawah pantauan atau bimbingan orang yang ahli. HATI-HATI DENGAN GOOGLE Jika anda suka bertanya hukum kepada mbah google, pesan kami, hati-hati karena sudah banyak orang yang tersesat akibat tidak bisa membedakan antara yang salaf dengan yang salafi. Oleh karena itu untuk membantu mereka kaum awam, kami meluncurkan situs www.islamuna.info sebagai pengganti dari google dalam mencari informasi Islam. Mulai sekarang jika akan bertanya hukum atau info keislamna, tinggalkan google, beralihlah kepada Islamuna.info Googlenya Aswaja.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. JIHAD ILMIAH - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template