Home »
Ulama Nusantara
» MANAQIB Syeikh Utsman El Ishaqi.
MANAQIB Syeikh Utsman El Ishaqi.
Written By Guruku Kyai Bukan Mbah Google on Jumat, 21 April 2017 | 09.26
Dalam kitab al-Lu’lu’ wa al-Marjan karya KH. Abdul Goffar menuliskan: “Manaqib ini (Manaqib Kyai Utsman) dikumpulkan dari pengakuan dan pernyataan para habaib serta para ulama yang mengenal Hadratus Syaikh baik secara lahir maupun secara batin. Diantaranya pengakuan dan pernyataan tersebut berasal dari al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang Jakarta, al-Habib Ali bin Husain bin Muhammad al-Atthas Bungur Besar Jakarta, al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfaqih Malang, al-Habib Abdullah al-Haddad, al-Habib Zain al-Jufri, Kyai Hamid Karang Binangun Lamongan, Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Nyai Khadijah dan lain lain.
Juga dari Hadhratus Syaikh Muhammad Utsman sendiri sebagai Tahadduts bi an-Ni’mah berdasar firman Allah Swt.: واما بنعمة ربك فحدث . Juga untuk menjaga jangan sampai ada orang yang mengingkari atau menentangnya atau mencelanya.
Juga terhadap masyayikh yang lain, menyebut manaqib sendiri semacam ini pernah dilakukan oleh ulama terdahulu untuk memperkenalkan hal ihwal mereka kepada orang lain agar ditiru, seperti Syaikh Abdul Ghafir al-Farisi, Syaikh al-Asfahaniy, Syaikh Yaqut al-Hamawy, Syaikh Abu ar-Rabi’ al-Maliki, Syaikh Shafiyuddin al-Manshur serta Syaikh Jalaluddin as-Suyuthiy.
Imam as-Suyuthiy umpamanya telah menyebutkan manaqibnya sendiri dalam kitab-kitab thabaqat yaitu Thabaqat al-Fuqaha’, Thabaqat al-Muhadditsin, Thabaqat al-Mufassirin, Thabaqat an-Nuhat, Thabaqat ash-Shufiyah dan Thabaqat al-Muqrin.
Imam as-Suyuthiy mengatakan: “Saya menyebutkan manaqibku sendiri hanyalah mengikuti perbuatan orang-orang salaf yang shaleh, dan untuk memperkenalkan hal ihwal saya dalam bidang ilmu agar orang lain menirunya, juga untuk Tahadduts bi an-Ni’mah.”
Adapun manaqib Hadhratus Syaikh yang terperinci dan mendetail ada di dalam kitab “Syifa’ al-Qulub li Qaul al-Mahbub” yang disusun oleh KH. Abdullah Faqih Suci Gresik. Dan kemudian disusun kembali ke dalam bahasa Arab secara sistematis dan praktis dalam kitab “Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Maniqib asy-Syaikh Muhammad Utsman Ra.”
Nasab dan Kelahiran Hadhratus Syaikh KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi
Menurut nasab yang sudah tersusun rapi di dalam keluarga, Hadhratus Syaikh KH. Utsman al-Ishaqi adalah seorang sayyid dan seorang habib. Sebab beliau dari jalur ibu adalah keturunan Maulana Muhammad Ainul Yaqin atau yang biasa disebut sebagai Sunan Giri bin Maulana Ishaq al-Husaini. Sedangkan ayah beliau adalah keturunan Sunan Gunung Jati yang juga bermarga al-Husaini. Dengan demikian Hadhratus Syaikh KH. M. Utsman al-Ishaqi adalah anak cucu Rasulullah Saw. dengan urutan yang ke-37.
Nasab beliau adalah Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadhlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim al-Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin al-Akbar al-Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad al-Muhajir – Isa an-Naqib ar-Rumi – Muhammad an-Naqib – Ali al-Uraidli – Ja’far ash-Shadiq – Muhammad al-Baqir – Ali Zainal Abidin – Husain – Ali bin Abi Thalib/Fathimah binti Rasulullah Saw.
Hadhratus Syaikh KH. M. Utsman al-Ishaqi dilahirkan di Jatipurwo Surabaya pada hari Rabu bulan Jumadil Akhir tahun 1334 H. setelah beliau bertapa dalam rahim sang ibunda selama 16 bulan. Dan selama di dalam rahim ibunya beliau sering bersin, dalam bahasa Arab disebut al-Atthas.
Keistimewaannya Nampak Sejak Kecil
Semenjak kecil keistimewaan dan kekeramatan beliau sudah nampak tatkala Utsman kecil sudah bisa berjalan. Beliau selalu tidak ada di rumah setelah Maghrib, dan baru pulang setelah jam 11 malam dengan badan yang penuh berlumuran lumpur. Kejadian itu menjadi pertanyaan sendiri oleh keluarga. Setelah diselidiki, ternyata beliau berada di sungai didekap oleh seekor Buaya Putih.
Setiap malamnya Utsman kecil selalu tidur di surau (langgar) bersama sang kakek, Kyai Abdullah. Selain kakeknya, tak ada seorangpun yang berani mendampingi Utsman kecil tidur. Karena dari kedua mata Utsman memancarkan sinar yang terang seakan menembus Iangit bagaikan lampu sorot.
Sejak beliau berumur 4 tahun setiap pagi pada jam 3.00 waktu Istiwa’, beliau keluar rumah menuju Masjid Jami’ Ampel Surabaya dengan diantar oleh kakak perempuan beliau yang bernama Nyai Khadijah untuk membaca Tarhim (panggilan shalat Fajar) sampai datang waktu Shubuh di menara Masjid.
“Setiap kali beliau sampai di pintu gerbang Ampel, beliau selalu disambut banyak anak-anak kecil yang memakai kopyah berwarna putih-putih. Sesampainya di masjid anak-anak kecil tersebut hilang entah ke mana dan baru muncul kembali sewaktu beliau hendak pulang dari masjid pada jam 7.00 pagi untuk mengantarkan beliau ke pintu gerbang. Dan setelah itu mereka menghilang kembali.” Ungkap Nyai Khadijah dan Kyai Anwar.
Ketika beliau berumur 6 atau 7 tahun, pada suatu malam nampak sang rembulan atau bintang-gemintang turun dari langit seraya memancarkan sinarnya menuju Utsman kecil, dan mengitari beliau dari segala arah.
Di umur 7 tahun, beliau sudah mengkhatamkan al-Quran sebanyak 3 kali di bawah asuhan sang kakek, Kyai Abdullah. Kemudian di suia itu beliau dikhitan (sunat). Setelah itu barulah beliau berpindah mengaji kepada Kyai Adro’i Nyamplungan.
Semenjak mengaji kepada Kyai Adro’i, setiap beliau pulang dari Ampel, diteruskan menuju ke Nyamplungan untuk mengaji al-Quran. Setelah itu beliau menuju ke Madrasah Tashwirul Afkar di Gubbah untuk mengaji ilmu agama. Dan baru pulang setelah jam 10.00 pagi. Seharinya beliau hanya mendapatkan sangu (uang saku) sebesar 5 Sen yang berlobang tengahnya yang beliau tempelkan di kancing baju.
Pernah selama 4 tahun, Utsman kecil tidak memakan makanan kecuali hanya daun-daunan dan buah-buahan. Pada waktu itu beliau menentukan untuk kebutuhan belanjanya hanya 1/2 Sen perhari. Beliau mengatakan: “Pada waktu saya masih kecil, suatu hari saya bernafsu sekali ingin makan. Maka sayapun makan sekenyang-kenyangnya. Tetapi sebagai dendanya saya harus mengkhatamkan al-Quran sekali duduk.”
Dan beliau juga menceritakan: “Pada suatu hari saya menangisi diri saya sendiri, karena ketika saya shalat teringat layang-layang, padahal saya sudah berumur 12 tahun. Berarti 3 tahun lagi saya sudah baligh dan mukallaf, bagaimana kalau saya masih ingat pada layang-layang pada waktu sholat?!”
Menginjak Usia Dewasa Dilaluinya dengan Mengembara Mendalami Ilmu Agama
Ahmad Asrori, putra sekaligus pengganti KH. Utsman sepeninggalnya, mengatakan bahwa ayah beliau pernah mengatakan: “Ketika saya menginjak umur 13 tahun, mata saya melihat Ka’bah di Makkah secara sadar dan nyata. Maka mata sayapun saya usap berkali-kali, tetapi tetap saja yang nampak hanyalah Ka’bah di Makkah. Kemudian saya berpikir, mungkin mata saya sudah rusak. Saya pun akhirnya minta dibelikan kaca mata khusus untuk melihat. Akan tetapi hasilnya tetap sama, Ka’bah di Makkah tetap nampak di pelupuk mata saya.”
“Itulah awal kasyaf yang dialami oleh Hadhratus Syaikh, dan sejak itu kata Hadhratus Syaikh: “Saya melihat orang dengan segala kepribadiannya, ada yang menyerupai srigala, ada yang seperti truwelu, ada yang seperti babi, seperti ayam, kucing dan lain sebagainya menurut pembawaan nafsunya masing-masing. Tetapi saya tidak berani berkata terus terang, sebab itu adalah rahasia seseorang.” Ujar KH. Ahmad Asrori bin Utsman al-Ishaqi.
Pada suatu hari Hadhratus Syaikh sampai larut malam tidak pulang dari madrasah seperti biasanya pada jam 10.00 pagi, sehingga orang-orang tua mengkhawatirkan keadaannya. Maka imam Raudhah Kyai Nur, atas izin orang tua beliau, berangkat mencari Kyai Utsman, dan oleh karena diberitakan bahwa Hadhratus Syaikh berada di pondok Kyai Khozin Panji, maka Kyai Nur pun berangkat ke sana. Tetapi sesampai Kyai Nur di Siwalan Panji, Hadhratus Syaikh sudah pindah ke pondok Kyai Munir Jambu Madura. Setelah orang tua beliau mendengar kabar yang demikian itu, beliau mengatakan: “Tidak usah mencari Utsman, yang penting dia sehat.”
Setelah beberapa lama tinggal di pondok, beliau sakit keras, maka terpaksa beliau pulang ke rumah. Setelah berobat beliau akhirnya sembuh kembali. Kemudian Hadhratus Syaikh dipondokkan ke Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng.
Selanjutnya beliau dipondokkan ke Kyai Romli Peterongan Jombang. Pada waktu itu Hadhratus Syaikh benar-benar terikat, beliau mengatakan: “Sewaktu saya dikirim oleh orang tua saya ke pondok, sarung saya hanya satu lembar. Apabila najis maka saya memakai tikar sebagai gantinya untuk shalat. Dan selama saya di pondok, saya tidak pernah pulang ke rumah kecuali badan saya sudah kurus benar. Sebab apabila saya pulang dan badan saya gemuk, saya dimarahi oleh orang tua dan nenek. Pernah pada suatu hari saya pulang badan saya gemuk, spontan nenek saya mengatakan: “Kalau kamu tinggal di pondok hanya untuk makan dan minum, lebih baik tinggal di rumah saja!”
Suatu hari saat kepulangan Hadhratus Syaikh dari pondok, beliau menyaksikan adanya hubungan-hubungan khusus yang diselenggarakan oleh tujuh orang pemuda dan tujuh orang pemudi setiap hari di samping musholla depan rumah beliau.
Melihat hal yang tidak senonoh itu, akhirnya beliau adukan kepada Kyai Romli dengan mengatakan: “Kyai, saya melihat ada mutiara di dalam air yang keruh dan najis, apakah saya harus mengentasnya (menyelamatkanya)?”
Kyai Romli menjawab: “Entaslah wahai Utsman! Dengan syarat hatimu tidak berpaling kepadanya. Kalau hatimu berpaling kepadanya, maka kamu tidak akan berjumpa denganku besok di Mahsyar.”
Maka beliaupun mengumpulkan pemuda dan pemudi yang berjumlah 14 orang itu di rumah beliau setiap malam. Beliau ikuti pembicaraan-pembicaraan mereka yang intim itu sambil beliau masuki urusan keagamaan mereka. Dan beliau peringatkan kepada mereka akan siksa Allah Swt. Sampai akhirnya mereka pun bertaubat dengan taubat nasuha..
Kyai Utsman pernah diadukan oleh seorang ulama kepada Kyai Romli karena beliau diketahui telah mengadu ayam. Mendengar pengaduan itu Kyai Romli menjawab: “Saya tidak berani melarangnya dan Kyai tidak usah menirunya mengadu ayam.”
Awal Mula Diangkat Sebagai Mursyid Thariqat
Kawan dekat Hadhratus Syaikh yang bernama KH. Hasyim Bawean pernah bercerita: “Hadhratus Syaikh dibaiat oleh Kyai Romli pada hari Rabu tanggal 16 Sya’ban tahun 1361 H/1941 M. Setelah beliau dibaiat selama satu minggu beliau menyusun silsilah Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah atas perintah Kyai Romli yang diberi nama Tsamrat al-Fikriyyah.”
Hadhratus Syaikh mengatakan: “Saya dibaiat oleh Kyai Romli atas permintaan Kyai Romli sendiri. Pada waktu itu saya dimasukkan ke kamar Kyai dan didudukkan di atas Burdah yang putih bersih di atas tempat tidur Kyai dan dipinjami Tasbih. Padahal waktu itu kaki saya berlumpur karena hujan. Karena sudah menjadi tradisi, setiap kali saya masuk ke rumah Kyai, kaki saya pasti telanjang tanpa alas kaki. Dengan demikian sebelum saya jadi Murid saya adalah Murad dan sebelum saya menjadi Thalib saya adalah Mathlub.”
Dalam kesempatan lain Hadhratus Syaikh mengatakan akan menghadiri majelis khusus atau wirid khataman selama 4 tahun. “Saya terus menerus berjalan kaki memakai klompen dari Surabaya ke Paterongan. Barulah kadang-kadang saya naik kendaraan setelah ketahuan Kyai Hasyim Asy’ari di Mojoagung dan beliau mengatakan: “Jangan jalan kaki terus-menerus Utsman!”
Selanjutnya Kyai Hasyim Bawean mengatakan: “Sewaktu terjadi Perang Dunia II tahun 1942 M Hadhratus Syaikh sekeluarga pindah sementara ke Peterongan. Kalau siang hari berada di dalam pondok. Pada suatu hari, yakni hari Selasa, beliau disuruh menghadap Kyai Romli pada jam 2.00 malam untuk diangkat menjadi mursyid Thariqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Hadhratus Syaikh waktu itu mengatakan: “Tidak kuat Kyai.” Tetapi Kyai Romli tetap melaksanakan perintah Allah, kemudian mengusapkan tangannya di atas kepala Kyai Utsman. Seketika itu pula Hadhratus Syaikh jatuh pingsan tak sadarkan diri dan langsung jadzab.”
Selama satu minggu Hadhratus Syaikh mengalami jadzab, beliau tidak makan, tidak minum, tidak tidur, tidak buang air besar maupun kecil dan tidak shalat. Wajah beliau cantik sekali bagaikan bulan purnama. Tak seorang pun yang berani melihat wajah beliau yang cantik itu.
Setelah Hadhratus Syaikh mengalami jadzab satu minggu, beliau berkata kepada Kyai Hasyim Bawean: “Nanti malam akan datang tamu-tamu banyak sekali tidak perlu suguhan makanan atau minuman.” Maka pada jam 8.00 kurang sepuluh menit malam Hadhratus Syaikh sudah siap menerima para tamu di kamar, dan menghadap ke pintu. Tidak lama kemudian beliau mengucapkan: “Wa’alaikumussalam, Wa’alaikumussalam”, selama kurang lebih lima menit dan nampak seakan-akan Hadhratus Syaikh menjabat tangan orang-orang sambil menundukkan kepala.
Kemudian beliau mengatakan: “Mulai hari ini saya ditetapkan sebagai mursyid langsung oleh Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Ra. dan Nabiyullah Khidhir As. serta oleh sejumlah masyayikh Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dan sejak sekarang saya diizinkan untuk membaiat”, sambil menyerahkan sepucuk kertas kepada Kyai Hasyim Bawean.
Kemudian Hadhratus Syaikh menghadap ke barat sekali lagi dan mengucapkan: “Na’am, na’am.” Tepat pada jam 8.00 lebih 5 menit malam itu, Hadhratus Syaikh berdiri menuju ke pintu. Setelah diam sejenak, beliau mengucapkan: “Wa’alaikumussalam, wa’alaikumussalam.”
Kemudian oleh Kyai Hasyim, Hadhratus Syaikh disuruh mandi setelah satu minggu tidak mandi. Dan ketika itulah Kyai Hasyim cepat-cepat pergi ke Kyai Romli untuk mengantarkan sepucuk kertas tadi. Setelah menerima kertas itu, Kyai Romli spontan menemuinya di luar rumah seraya mengatakan: “Ada apa? Ada apa? Ada apa?”
Ketika Kyai Romli membaca sepucuk kertas itu spontan Kyai mengatakan dengan bahasa Madura yang maksudnya: “Alhamdulillah sekarang saya punya anak yang bisa menggantikan saya (sampai 3 kali).”
Orang tua Kyai Utsman juga pernah menyatakan kepada salah seorang habib bahwa Hadhratus Syaikh telah mendapatkan ijazah dari Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Ra., untuk berdakwah dan diangkat sebagai khalifahnya tanpa perantara. Pernyataan ini disampaikan pada tahun 1947 M.
Takluknya Sang Pengadu Ayam Kawa’an di Hadapan Kyai Utsman
Pada waktu Kyai Utsman tinggal di Rejoso, ada seorang tukang adu ayam kawa’an yang sangat populer di Jombang bernama Wak Sud. Dia memiliki jago-jago yang khusus untuk diadu. Hadhratus Syaikh tertarik untuk menundukkan orang ini melalui adu ayam. Maka beliau membawa ayam ke Wak Sud dengan maksud untuk mengajak bertanding adu ayam.
Atas ajakan Kyai Utsman itu Wak Sud menjawab: “Apabila jagomu menang melawan jagoku maka semua kekayaanku adalah milikmu. Sebaliknya apabila jagomu kalah saya tidak menuntut apa-apa darimu.”
Maka Hadhratus Syaikh menjawab: “Apabila jagomu menang kemudian kau ambil kekayaanku, memang saya tidak mempunyai sesuatu yang patut disebut. Dan apabila sebaliknya jagoku yang menang maka saya sama sekali tidak butuh kepada kekayaanmu. Pokoknya begini, apabila jagoku menang kamu harus tunduk dan patuh di bawah perintahku.” Akhirnya Wak Sud menyetujui tawaran itu.
Dengan kuasaan Allah Swt., menanglah Hadhratus Syaikh dalam pertandingan itu sekalipun jago miliknya kurus kecil dan lemah sekali. Berbeda jauh dengan jago kepunyaan Wak Sud yang kekar dan gagah itu. Alhasil Wak Sud pun harus menerima kesepakatan bersama setelah kekalahannya. Kini ia tunduk dan patuh pada Hadhratus Syaikh KH. Utsman.
Maka saat Kyai Romli melihat Wak Sud melakukan shalat, Kyai Romli memegang pundak Kyai Utsman dari belakang seraya mengatakan dengan nada heran: “Apa yang kamu lakukan terhadap Wak Sud wahai Utsman, sehingga dia mendatangi shalat Jum’at. Padahal saya tidak mampu menundukkannya?”
Pindahnya dari Jombang ke Ngawi dan Berpulang ke Surabaya
Di Peterongan, Hadhratus Syaikh tinggal di Desa Ngelunggih tidak jauh dari Rejoso atas saran Kyai Romli dengan maksud agar beliau menjadi imam di Ngelunggih. Akibatnya murid-murid Kyai Romli banyak yang pindah ke Ngelunggih untuk mendapatkan barokah dari Kyai Utsman serta ilmu dari beliau. Akhirnya Hadhratus Syaikh disuruh pindah oleh Kyai Romli ke salah satu desa dekat Gunung Lawu di Ngawi.
Ketika Hadhratus Syaikh sampai di lereng Gunung Lawu, sangu (bekal) beliau tinggal Rp. 1.70 (satu rupiah tujuh puluh sen) tidak cukup untuk membeli beras 1 liter sekalipun. Maka untuk mendapatkan rizki, beliau setiap harinya mengunjungi pesarean (ziarah kubur) yang paling dikenal oleh orang di desa itu. Karena beliau cinta dan hobi melakukan ziarah kubur, akhirnya atas kemurahan Allah Swt. beliau sekeluarga mendapatkan rizki yang tidak diduga-duga sebelumnya.
Diantara orang kampung ada yang mengundang beliau untuk mengikuti tahlilan, adapula yang minta barokah doa, ada yang meminta fatwa, sampai akhirnya Hadhratus Syaikh menjadi populer di desa itu dan kemudian menjadi imam di desa itu.
Di desa barunya itu, suatu hari beliau bermimpi berjumpa dengan gurunya, Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari Tebu Ireng, berpamitan kepada beliau dengan mengatakan: “Saya duluan Utsman.” Mimpinya tersebut ternyata sebuah isyarat akan berpulangnya sang guru ke rahmatullah. Karena esok harinya beliau mendengar berita bahwa Kyai Hasyim Asy’ari meninggal dunia.
Menjelang meletusnya Madiun Effer (peristiwa Madiun pada tahun 1948 M) Kyai Utsman berkali-kali menerima surat serta saran agar beliau pulang saja ke Surabaya karena situasi yang tidak aman lagi di daerah itu.
Mendengar kabar pulangnya Hadhratus Syaikh KH. Utsman ini, sebagian besar penduduk di lereng Gunung Lawu itu keberatan ditinggalkan oleh beliau. Karena mereka masih amat memerlukan doa, ilmu serta barokah dari beliau. Bahkan ada warga yang berjanji memberikan 20 hektar kebun kepada Hadhratus Syaikh agar beliau sudi tetap tinggal di desa itu. Tetapi setelah beliau melakukan istikharah akhirnya beliau menetapkan kembali ke Surabaya.
Hubungan Erat Guru dan Murid
Ketika Hadhratus Syaikh menjadi santri di pondok Rejoso, beliau masih muda belia. Masa itu beliau sering dijumpai oleh Nabi Khidhir As. sehingga beliau laporkan kepada Kyai Romly dan dijawab oleh Kyai: “Mengapa tidak kau minta datang kemari wahai Utsman.”
Hadhratus Syaikh sejak kecil sampai akan pulang ke rahmatullah selalu istiqamah dalam segala perilaku, perbuatan serta ucapan yang beliau tiru dari Rasulullah Saw. Tak pernah terlihat beliau hadats dan semua menyaksikan bahwa keseluruhan waktunya hanyalah untuk mnemgabdi kepada Allah Swt. Maka pantaslah kalau beliau dipilih oleh Kyai Romly sebagai Khalifahnya. Dalam hubungan ini Kyai Romly pernah bermimpi bahwa di Surabaya terdapat sebuah pabrik besar yang terus menerus berproduksi di bawah pimpinan Hadhratus Syaikh KH. Muhammad Utsman. Itulah Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang beliau asuh.
Sebelumnya Kyai Romly sering menampakkan dan melahirkan ridhanya kepada Kyai Utsman, sampai beliau mengatakan: “Alangkah besar ridha saya kepadamu wahai Utsman.” Dan Hadhratus Syaikh meminta pendapat tentang Khalifah Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Ra. Kyai Romly tersenyum-senyum sambil melihat dan menunjuk pada Kyai Utsmn. Sebaliknya Kyai Utsman kepada Kyai Romly juga fanatik dan sering merindukannya apabila berpisah agak lama.
Pada suatu hari putra beliau yang bernama Abu Luqmanul Hakim sewaktu masih kecil jatuh dan terbentur pada tepi meja di rumahnya sehingga dari kepalanya mengalir darah yang banyak sekali yang cukup mengkhawatirkan keluarga beliau. Maka oleh keluarga beliau supaya beliau mengantarkan putranya ke rumah sakit Karang Tembok dan kalau tidak berhasil terus ke Simpang. Padahal Hadhratus Syaikh ketika itu akan pergi ke Rejoso karena sangat rindu kepada Kyai Romly, maka beliau berkata dalam hatinya: “Saya harus pergi ke Rejoso. Tentang nasib anak saya, saya pasrahkan kepada Allah.”
Ketika beliau berjumpa dengan Kyai Romly di Rejoso, sang guru mengatakan: “Anakmu tidak apa-apa.” Dan benar kata Kyai Romly bahwa anaknya, Abu Luqmanul Hakim, dalam keadaan sehat wal afiyat, bahkan sedang memakan nasi goreng sekembalinya Kyai Utsman dari Rejoso berkat ketaatan serta kecintaan beliau kepada gurunya, Kyai Romly Tamim.
Juga pada suatu hari ketika akan menyelenggarakan walimah di rumah setelah Maghrib, beliau terlebih dahulu meminta izin kepada Kyai Romly. Sesampainya di Rejoso tepat pada waktu shalat Dzuhur, sesudah shalat berjamaah di masjid, Kyai Romly mengatakan kepadanya: “Sekiranya kamu tinggal di pondok seperti yang lalu, maka malam ini saya ajak memenuhi undangan Manaqiban di Jombang.”
Maka Kyai Utsman menjadi bimbang, antara mendampingi gurunya memenuhi undangan Manaqiban di Jombang dan pulang ke rumah untuk mengharapkan tamu-tamu yang beliau undang ke rumah beliau pada malam itu juga. Akhirnya beliau memantapkan pendiriannya memilih mendampingi sang guru seraya berkata dalam hati: “Saya pasrah kepada Allah. Toh nasi-nasi yang telah masak di rumah ada orang-orang yang memakannya, sedangkan menyertai guru adalah lebih utama.”
Ketika Kyai Romly mengetahui beliau masih ada di masjid setelah shalat Ashar, berkatalah beliau kepadanya: “Murid yang terdekat kepada gurunya adalah murid yang tahu akan rahasia-rahasia gurunya.”
Penggagas Majelis Manaqib
Kegemaran Hadhratus Syaikh adalah berziarah kepada wali-wali Allah baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia, dan beliau mengenal mereka secara dekat. Bukan hanya nama-nama mereka bahkan nasab mereka dan hubungan mereka satu sama lain. Sampai-sampai beliau hidup-hidupkan dan beliau semarakkan peringatan hari wafat mereka, terutama wafatnya Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Ra. Sehingga hampir tiada hari yang lewat di kota maupun desa terutama di Jawa Timur, kecuali di situ terdapat majelis manaqib.
Dalam hal ini Hadhratus Syaikh mentafsirkan qalbun salim dalam ayat: يوم لاينفع مال ولابنون الا من اتى الله بقلب سليم, sebagai hati yang selamat dari penyakit batin dan penuh rasa cinta kepada Allah, RasulNya, dan para wali-waliNya. Sebab, kata beliau, tanpa wali-wali kita tidak mungkin dapat mengabdi kepada Allah Swt. dengan benar. Maka banyak-banyaklah tawassul kepada Auliya’, insya Allah hati kita akan menjadi khusu’.
Yang mula pertama kali menyelenggarakan manaqiban adalah Hadhratus Syaikh dan kemudian direstui oleh Kyai Romly dengan menyatakan: “Baik Man, teruskan Man!”
Mula-mula yang hadir pada majelis manaqiban di Jatipurwo selama 4 tahun hanyalah 7 orang, 3 orang diantaranya pada musim panas udzur (tidak mampu hadir) karena mengidap penyakit paru-paru.
Pada suatu hari di tengah-tengah Hadhratus Syaikh memimpin istighatsah, datanglah orang yang tidak dikenal secara tiba-tiba dan langsung menelantangkan beliau dan melingkarkan pedangnya pada leher beliau yang terlentang di bawah itu. Peristiwa yang tragis ini diceritakan kepada Kyai Romly, dan beliau hanya menjawab: “Teruskan apa yang telah kamu amalkan, orang tersebut tidak berani menancapkan pedangnya pada lehermu, bahkan dalam waktu dekat ini tidak akan berpisah denganmu sejengkalpun.” Dan kenyataannya seperti apa yang dinyatakan oleh Kyai Romly.
Tentang keutamaan menaqiban ini, Hadhratus Syaikh mengatakan: “Tidak ada ibadah kepada Allah di muka bumi ini yang lebih utama daripada mencintai wali-wali Allah.”
Beliau juga mengatakan: “Mencintai para wali termasuk ketaatan yang terbesar. Dan mereka yang menghadiri majelis manaqib adalah orang-orang yang cinta kepada mereka dan mencintai mereka adalah bukti akan adanya rasa cinta kepada Allah Swt.”
Hidupnya Dilimpahi Kecintaan kepada Auliya’ (Wali-wali Allah)
Berkah cintanya kepada para Auliya’ maka beliau pun sangat dicintai oleh para habaib dan para ulama, diantaranya adalah al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang, al-Habib Ali bin Husain bin Muhammad al-Atthas Bungur, al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf Gresik. Hadhratus Syaikh sering berziarah kepada mereka dan menghadiri haul mereka.
Pada suatu hari Hadhratus Syaikh bermaksud untuk sowan kepada al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf di Gresik. Beliau berjalan kaki dari Surabaya ke Gresik di tengah-tengah hujan lebat ditambah suara petir dan guruh yang saling sambar menyambar di tengah malam yang gelap gulita ditambah angin kencang yang dapat menerbangkan atap rumah. Sehingga sesampainya di Gresik waktu sudah larut malam dan dalam keadaan basah kuyup. Dengan mata batin al-Habib Abu Bakar yang tajam sehingga tahu akan ada kunjungan dari Kyai Utsman, nampak pintu rumahnya masih terbuka lebar-lebar dan penjaga pintu masih berdiri.
Ketika Hadhratus Syaikh melewati pintu pagar, penjaga pintu mengatakan bahwa sejak tadi sore Habib menunggu kedatangan Kyai Utsman dengan penuh kegelisahan dan kekhawatiran. Ketika beliau menghadap al-Habib Abu Bakar Assegaf, semua jamaahnya yang mengelilingi habib semua ta’dzim kepada beliau dan mengelu-elukan kehadiran beliau.
Akhirnya al-Habib Abu Bakar bertanya tentang apa yang beliau minta kepada Allah dengan perantara Habib, yang kemudian dijawab oleh Hadhratus Syaikh KH. Muhammad Utsman Nadil al-Ishaqi: “Minta husnul khatimah.” Al-Habib Abu Bakar termenung lama memikirkan betapa luhurnya permohonan Kyai Utsman.
Sebelumnya, Hadhratus Syaikh sudah mempunyai hubungan khusus dengan al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang Jakarta, seperti pernyataan Habib Hasyim bin Sholeh bin Abdurrahman al-Habsyi bahwa: “Hadhratus Syaikh Muhammad Utsman telah mendapatkan futuh melalui al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi pada suatu hari Kamis tahun 1964.”
Dan pernyataan Kyai Hasyim Bawean bahwa dia pernah mengantarkan Hadhratus Syaikh KH. Utsman ke al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi di Jakarta. Al-Habib Ali menjabat tangan Hadhratus Syaikh seraya mengatakan: “Kunci Quthb saya serahkan kepadamu wahai Syaikh Utsman.”
Dan pernyataan putra al-Habib Ali sendiri yaitu al-Habib Muhammad bin Ali bin Abdurrahman al-Habsyi pada waktu memberikan sambutan atas wafatnya Hadhratus Syaikh yang ke-40 hari: “Setiap kali Hadhratus Syaikh menemui kesulitan apa saja beliau selalu pergi ke Jakarta untuk menjumpai al-Habib Ali al-Habsyi untuk kemudian dapat herhubungan dengan Rasulullah Saw. Akan tetapi karena jarak Jakarta-Surabaya begitu jauh maka akhirnya al-Hahib Ali al-Habsyi menyuruh menjumpai al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf di Gresik saja, yang sama-sama Wali Quthb.”
Selanjutnya al-Habib Muhammad bin Ali al-Habsyi menyatakan dalam sambutannya bahwa Hadhratus Syaikh akhirnya berhubungan langsung sendiri dengan Rasulullah Saw. tanpa perantara sewaktu mengalami kesulitan.
Ketinggian Derajatnya Dinyatakan oleh Para Wali
Hadhratus Syaikh juga sangat dekat dengan al-Habib Ali bin Husain bin Muhammad al-Atthas Bungur Besar Jakarta. Sehingga sewaktu al-Habib Ali al-Atthas membaca Khushushiyyah Wakalimatul Akha’ Syaikh Utsman yang disusun oleh al-Habib Hasan al-Jufri Bangil, beliau menangis terisak-isak, kemudian beliau gantungkan di atas pintu rumah seraya mengatan: “Saya letakkan nadzaman ini di sini agar saya dapat melihat Syaikh Utsman setiap saat.”
Kemudian beliau mendoakan Hadhratus Syaikh semoga panjang umur, “kalau tidak (kata habib Ali al-Atthas) siapakah yang menggantikan kedudukannya?” Demikian pernyataan menantu Hadhratus Syaikh, Abu Lu’lu’, sekembalinya dari Jakarta.
Dan al-Habib Ali bin Husain bin Muhammad al-Atthas pernah menyatakan: “Sesungguhnya Syaikh Utsman tiada duanya pada masa sekarang.”
Dan pada waktu Hadhratus Syaikh berziarah ke sana, di hadapan para hadirin al-habib Ali al-Atthas menyatakan: “Wahai Syaikh Utsman engkau dari keluarga Nabi. Kekhalifahan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di tanganmu wahai Utsman.”
Dan dalam kesempatan lain beliau menyatakan: “Saya mendengar dengan kedua telinga saya, paman saya Ali bin Abdurrahman al-Habsyi mengatakan: “Sungguh Utsman di Mahsyar nanti sangat dekat dengan Nabi Muhammad Saw.”
Al-Habib Ali al-Habsyi, al-Habib Ahmad bin Khalid al-Hamid, al-Habib Umar al-Aydrus dan lain-lainnya, menyatakan bahwa Hadhratus Syaikh KH. Utsman al-Ishaqi adalah tergolong Ahlul Bait Rasulullah Saw.
Habib Ahmad bin Hamid al-Habsyi pernah bertanya pada al-Habib Salim bin Jindan: “Apa yang menyebabkan para habaib senang pada Kyai Utsman?”
Al-Habib Salim bin Jindan menjawab: “Syaikh Utsman termasuk keluarga Rasulullah Saw. Darahnya adalah darah saya ini, maka ciumlah tangannya apabila kau bertemu dengannya. Walaupun banyak orang mendengkinya, toh dia tidak pernah susah akibat didengki orang. Mereka yang mendengkinya hanyalah rumput-rumput, sedangkan Syaikh Utsman adalah pohon besar yang rindang.”
Ketika KH. Ahmad Asrori, salah satu putra Syaikh Utsman, masih kecil, pernah diajak oleh pengasuhnya yang bernama Abdul Hakim Bawean untuk berkunjung ke al-Habib Ali bin Muhummad bin Alwi ash-Shadiq al-Habsyi cucunya al-Habib Syaikh Bafaqih Boto Putih Surabaya bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Dalam kesempatan itu al-Habib Ali mengatakan kepadanya: “Jangan kau risaukan haliyah (keadaan) orang tuamu. Beliau bagaikan matahari, apabila sangat dekat dengan kita manusia banyak yang tidak tahan karena saking panasnya. Tetapi ketika jauh dari kita sinarnya akan membahagiakan kita semua. Demikianlah keadaan orang tuammu Syaikh Utsman Ra. Seorang Kyai belum dinamakan Kyai sempurna sebelum ia diingkari oleh orang-orang yang dekat kepadanya dan sebaliknya dia dicintai oleh orang-orang yang jauh dari padanya.”
Tentang hubungan Kyai Utsman dengan Kyai Hamid Pasuruan, Hadhratus Syaikh pernah bercerita setelah walimatul haul al-Habib Syaikh Bafagih Boto Putih Surabaya: “Saya keluar ke teras cungkup didampingi oleh Kyai Abdul Hamid Pasuruan duduk di tangga cungkup. Pada waktu itu Kyai Abdul Hamid bercerita: “Tadi sebelum ke sini saya tidur di rumah salah seorang teman di Surabaya. Ketika saya bangun, di hadapan saya terlihat foto Hadhratus Syaikh Muhammad Utsman. Oleh karena saya tahu bahwa yang meletakkan adalah Agus Mas’ud Kedung Cangkring Sidoarjo, maka saya bertanya kepadanya tentang maksudnya. Jawabannya hanya Wallahu A’lam.”
Lanjut Kyai Utsman berkata: “Saya pun diam mendengar cerita itu karera menyangkut masalah maqam (martabat).” Tiba-tiba Kyai Hamid menjawab sendiri: “Untuk kepentingan hubungan di Mahsyar nanti.”
Itulah sebabnya, maka dalam suatu walimah Kyai Abdul Hamid Pasuruan mengharap kepada Hadhratus Syaikh agar ada hubungan yang dekat antara keduanya di Mahsyar nanti. Dan Hadhratus Syaikh menjawab: “Kyai nanti bersama kami di sisi Allah Yang Maha Kuasa.”
Dan pada walimah yang lalu ada orang meminta barokah doa kepada Kyai Hamid, sedangkan di sisi beliau adalah Hadhratus Syaikh KH.Utsman. Akhirnya Kyai Hamid memegang lutut Hadhratus Syaikh Utsman dengan tangan kiri dan berdoa untuk orang yang meminta doa tadi dengan tangan kanan.
Kyai Asfahani putra Kyai Abdullah Faqih yang mengaji di pondok Kyai Hamid Pasuruan mengatakan pada suatu ketika: “Kami duduk bersama-sama Kyai Hamid di ruang tamu, tiba-tiba Kyai Hamid mengatakan kepada kami: “Di Pasuruan ini hanya ada kayu gaharu, alangkah nikmatnya kalau ada pohonnya Asfahani!” Tiba-tiba Hadhratus Syaikh Muhammad Utsman datang bertamu ke ruang tamu dan spontan Kyai Hamid merangkulnya dan mergatakan: “Apa ini pohon gaharunya!”
Inilah sebagian kecil yang nampak tentang kedudukan Hadhratus Syaikh Utsman Nadil Ishaqi Ra.
Ketika Haul Akbar Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Ra. tahun 1389 H, dalam sambutannya al-Habib Muhammad bin Ali bin Abdurrahman al-Habsyi menceritakan tentang perjalanan orang tuanya ke tanah suci dan bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Ra. yang menyatakan pada al-Habib Ali: “Khalifah saya adalah Utsman Surabaya.”
Beberapa Karamah Hadhratus Syaikh KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi
Diantara kekeramatan Hadhratus Syaikh Utsman yang lain adalah kisah yang diceritakan oleh Kyai Muhammad Faqih Langitan yang berkata bahwa Kyai Maimoen Sarang diceritakan oleh ayahnya, Kyai Zubair, Bahwa al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfaqih bermimpi jumpa dengan Rasulullah Saw. yang sedang menemui 2 orang lelaki. Dan Rasulullah menyatakan kepadanya: “Keluargaku banyak tersebar di tanah Jawa. Diantaranya adalah dua orang ini yaitu Romly dan Utsman.”
Kyai Faqih Amin Praban Surabaya, seorang ulama yang pernah menjadi guru sekaligus kawan Kyai Utsman, beliau mengatakan: “Pada suatu hari saya berkunjung kepada Kyai Utsman, dan dia meminta saya untuk menjadi muridnya di bawah naungan Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah setelah bertukar pikiran tentang thariqat sampai jam 2 malam. Saya kalah dan mau menyerah kepada ajakannya dengan syarat tiga burung perkutut yang di dalam sangkar masing-masing berkicau secara berturut-turut dengan komandonya. Setelah dikomandoinya, tiba-tiba tiga ekor burung itu berkicau berturut-turut dengan izin Allah. Maka terasalah dalam diri saya akan kebesaran Hadhratus Syaikh, dan sejak itu saya memakai bahasa Jawa halus (kromo) sebagai ganti bahasa Jawa kasar (ngoko). Tiga bulan kemudian saya minta dibaiat.”
Diantara kekeramatan beliau yang lain adalah tatkala salah satu muridnya hendak menghadap Hadhratus Syaikh, muridnya itu berkata dalam hati: “Mengapa jauh-jauh kulangkahkan kakiku ke pondok anu. Kemudian ke perguruan tinggi anu, sampai akhirnya ke luar negeri untuk mencari kebenaran dan keyakinan. Padahal di Surabaya sini terdapat seorang mursyid yang membimbing saya menempuh jalan akhirat dengan selamat.”
Maka ketika santri itu duduk di ruang tamu, keluarlah Hadhratus Syaikh dari dalam sambil meletakkan tangan kanannya di atas dada muridnya tersebut seraya mengatakan: “Diantara guru saya juga ada yang bukan dari jam’iyyah kita. Tetapi Alhamdulillah saya belum pernah mengingkarinya sama sekali.” Maka sang murid itu pun merasa malu seraya menundukkan kepalanya.
Pada tanggal 11 Syawal tahun 1392 H, Hadhratus Syaikh menjamu para tamu yang menghadiri majelis manaqib di pondok Jatipurwo. Beliau mengatakan kepada salah satu santrinya: “Wahai Abdul Ghoffar, ketika kau tinggal di Mesir apakah kau pernah ketemu dengan Syaikh Hasan Ridhwan seorang wali di Mesir yang dimintai barokah oleh orang Islam Mesir?”
“Ya, kami pernah menjumpainya pada suatu hari dalam rangka kuliah umum tasawuf oleh Ir. Abdul Halim Mahmud yang dihadiri oleh para sufi di balai pertemuan al-Azhar.” Jawab muridnya tersebut.
Kemudian Hadhratus Syaikh berkata kepada para hadirin: “Ketika salah seorang Habib Ampel berkunjung ke Mesir, dia menjumpai Syaikh Hasan Ridhwan. Dia ditanya tentang negerinya. Ketika ia menjawab dari Ampel Indonesia, maka Syaikh Hasan Ridhwan mengatakan: “Jadi rumahmu dekat dengan Syaikh Utsman al-Ishaqi?” Habib menjawab: “Ya.” Lalu Syaikh Hasan Ridhwan mengatakan kepadanya: “Apabila kamu sampai di rumah, berkunjunglah ke Syaikh Utsman, dan sampaikanlah salamku kepadanya. Ketahuilah bahwa saya sering berkunjung ke rumahnya.”
Diantara kekeramatan beliau yang lain, pada suatu hari di bulan Maulud, Hadhratus Syaikh pergi ke Jakarta naik kereta api untuk menghadiri acara Maulid Nabi Muhammad Saw. dan haulnya al-Habib Ali al-Habsyi di Kwitang Jakarta. Ketika kereta api berada di antara Cirebon-Jakarta, karcis Kyai Utsman diperiksa oleh Polisi KA dengan ketat sekali, termasuk kartu tanda pengenal beliau yang akhirnya polisi memaksanya untuk menemuinya di restorasi. Haln itu sampai menimbulkan kemarahan beliau, maka seketika itu pula datanglah hal beliau dan mengatakan: “Perbuatan ini menunda sampainya kereta api di Jakarta!”
Spontan kereta api itu berhenti tanpa sebab yang nyata. Anehnya semua hubungan interlokal maupun bukan interlokal terputus sama sekali dengan stasiun. Saat itu di belakang gerbong Kyai Utsman terdapat al-Habib Abdul Hadi bin Abdullah al-Haddar dari Banyuwangi. Maka setelah kereta api macet selama 1 jam, dia mengirim utusan ke Hadhratus Syaikh seraya mengatakan: “Jam berapa sekarang! Pergilah ke Kyai Utsman, dan mintalah barokah Fatihah kepadanya agar kita tidak terlambat.”
Akhirnya setelah beliau membaca al-Fatihah barulah beliau sadar akan diri beliau, dan spontan kereta api berjalan kembali seusai pembacaan al-Fatihah, demikian pula hubungan yang menyangkut perkerataapian sambung kembali.
Kyai Masduri Ngroto pernah menceritakan tentang sejarah masuknya Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Ngroto dan sekitarnya sebagai berikut:
“Sejak tahun 1936/1937 M banyak guru-guru thariqat yang berusaha memasukkan thariqat ke Ngroto. Bahkan ada kyai yang sampai kawin di Ngroto kemudian terpaksa firaq (pisah) karena tidak berhasil memasukkan Thariqat. Pada bulan Muharram tahun 1964 M Hadhratus Syaikh Utsman datang ke Ngroto bersama Kyai Muslih bertepatan dengan Haulnya Kyai Sirojuddin. Itulah mula pertama beliau datang ke Ngroto. Kemudian untuk kedua kalinya beliau datang pada tahun 1966 M. Saya dipanggil ke rumah paman, dan Hadhratus Syaikh menangis dan saya dirangkul seraya mengatakan: “Sabarlah!” Sejak sekarang Masduri menjadi Kyai di desa sini maka doakanlah semoga panjang umur.
Sepulangnya Hadhratus Syaikh Utsman, selang 15 hari kemudian paman saya meninggal, dan atas saran beliau saya kirim surat kepada beliau tentang wafatnya sang paman. Dan saya mendapatkan balasan agar saya datang ke Surabaya. Di Surabaya saya dibaiat dan diberi ijazah manaqib secara muthlaq. Setelah itu banyak para ikhwan yang menjadi murid Hadhratus Syaikh, maka smenjak itu tersebarlah thariqat di Ngroto.
Pada suatu hari di bulan Muharram Hadhratus Syaikh pergi ke Ngroto menghadiri acara haul, tetapi kendaraan beliau terhalang lumpur di Kemiri 4 km dari Ngroto. Kalau mobil beliau diarahkan ke Ngroto mogok, tapi kalau diarahkan ke Surabaya mobil beliau bisa berjalan. Maka Hadhratus Syaikh menetapkan untuk kembali ke Surabaya. Yang menolong mengentas mobil beliau dari lumpur adalah masyarakat Kemiri, maka Hadhratus Syaikh mengatakan: “Saya tidak dapat membalas sama sekali. Hanya saya doakan mudah-mudahan masyarakat di sini selamat semua.”
Maka barokah doa beliau setiap kampung dari Kemiri sampai Ngroto pasti ada manaqiban dan ada murid-murid beliau, diantaranya desa Tembelingan yang asalnya tidak ada yang shalat bahkan tidak ada masjid dan mushalla. Tetapi berkat dilewati oleh Hadhratus Syaikh, Islam tersebar di Tembelingan dan sekitarnya. Masjid, mushalla serta pemuka-pemuka agama mulai bermunculan serta sebagian kaum musimin di situ sudah menjadi murid beliau, sehingga Kyai Muslih Mranggen mengatakan: “Masuknya Hadhratus Syaikh ke Ngroto sudah pas karena masyarakat Ngroto adalah masyarakat Madura, cocok dengan kata-kata Syaikh Utsman: “Ngroto adalah bau Madura.” Dan Hadhratus Syaikh pernah mengatakan: “Saya bermimpi di sebelah timur Semarang ada cahaya. Apakah ada waliyyullah di sana?” Ternyata benar itulah Kyai Sirojuddin.”
Selanjutnya Kyai Masduri mengatakan: “Sekembalinya saya dari Surabaya, pada suatu hari saya sakit mata. Walaupun sudah berobat tetap tidak sembuh kecuali di hari Kamis dan Jum’at saja. Maka pada suatu malam Jum’at saya membaca al-Fatihah kemudian membaca silsilah, maka malam itu juga saya bermimpi berjumpa dengan Hadhratus Syaikh, beliau menanyakan kepada saya: “Apakah matamu sakit? Apakah yang sakit sebelah kanan?” Maka mataku diobati oleh Hadhratus Syaikh dengan jari-jemarinya dan ternyata Alhamdulillah sembuh betul-betul. Maka esok harinya hari Sabtu saya pergi ke Surabaya untuk menjumpai beliau. Beliau bertanya: “Apakah matamu sudah sembuh?” Saya menjawab: “Ya.” Kemudian beliau menyatakan: “Ya saya obati dari sini.”
Selanjutnya Kyai Masduri menceritakan lagi: “Pada suatu hari sewaktu saya berkunjung ke Hadhratus Syaikh saya disuruh ke Ampel seraya mengatakan: “Pergilah ke Ampel, saya rindu Agus Mas’ud.” Sesampai saya di Lawang Agung saya bertemu dengan Agus Mas’ud, cepat-cepat turun dan minta gendong saya.
Pernah Hadhratus Syaikh bercerita kepada Kyai Masduri: “Pada suatu hari Jum’at ada orang hendak menunaikan shalat Jum’at di masjid Ampel. Kemudian saya panggil, saya ajak shalat Jum’at di Baitul Ma’mur. Setelah kita melangkah tiga langkah kita sudah sampai di Baitul Ma’mur. Ini boleh kau ceritakan setelah saya meninggal.”
Kyai Masduri melanjutkan ceritanya: “Saya bermimpi shalat di mushalla yang penuh dengan orang-orang yang sedang shalat. Karena mereka shalat semuanya, maka saya mengingkarinya dan Hadhratus Syaikh yang iktu menjadi makmum tidak tahu siapa yang menjadi imam. Beliau mengatakan kepada saya: “Mereka adalah wali-wali Allah.” Dan saya bermimpi berjumpa dengan Nabi Khidir As. Beliau mengajak saya ke tepi sungai. Di sana ada mushalla yang bersinar terang, tahu-tahu di situ ada Hadhratus Syaikh dan kita bertiga menjadi makmum tetapi saya tidak tahu siapa imamnya.”
Al-Habib Abdullah bin Umar al-Haddar pernah mengatakan kepada Kyai Abdul Ghoffar: “Pada suatu hari Kamis di bulan Syawal al-Habib Abdul Hadi bin Abdullah al-Haddar ingin berjumpa dengan Hadhratus Syaikh Utsman sesudah masuk waktu shalat Ashar. Tetapi sesampai di pondok Jatipurwo beliau tidak menjumpai Hadhratus Syaikh. Setelah lama menunggu di pondok dan waktu sudah menjelang Maghrib maka al-Habib Abdul Hadi pun cepat-cepat meninggalkan pondok untuk menuju ke Ketapang karena setelah shalat Maghrib ada acara pembacaan Burdah di Ketapang.
Ketika sampai di Karang Tembok becak beliau berpapasan dengan mobil Hadhratus Syaikh, maka beliau pun kembali lagi ke pondok Jatipurwo untuk menemui Hadhratus Syaikh. Sesampai di pondok, Hadhratus Syaikh sedang mengimami shalat Ashar dalam waktu Ashar yang paling akhir. Namun setelah Ashar sempat membaca semua wirid seperti biasanya sampai tuntas, kemudian Hadhratus Syaikh menjumpai al-Habib Abdul Hadi bersama saya di ruang tamu. Di ruang tamu al-Habib Abdul Hadi membaca “Allahu Hu Iiy. Allahu Hu liy Fani’mal Wali”.
Setelah dijamu secukupnya al-Habib Abdul Hadi mohon pamit kepada Hadhratus Syaikh untuk pergi ke Ketapang. Dalam hatinya berkata bahwa waktu telah berlalu untuk mengikuti pembacaan Burdah di Ketapang, tetapi kenyataannya tidak demikian. Kami sampai di Ketapang orang-orang masih melakukan shalat Maghrib.”
Sopir pribadi Hadhratus Syaikh pernah bercerita: “Pada suatu hari sepulangnya Hadhratus Syaikh dari Rejoso, mobil diistirahatkan di Jombang agar kami makan minum dulu. Sedangkan Hadhratus Syaikh menunggu di salah satu rumah dekat warung tersebut. Seusai makan minum kami menyatakan kepada Hadhratus Syaikh bahwa bensin telah habis. Beliaupun terkejut dan menanyakan mengapa tidak bilang dari tadi sebelum semua uang yang ada di tangan beliau diserahkan ke pondok Rejoso dan beliau menanyakan sisa uang kami. Kami menjawab hanya tinggal beberapa puluh rupiah saja. Secara spontan beliau menegaskan: “Kalau memang demikian baiklah isilah tangki mobil itu dengan air teh tanpa gula semampu uang yang ada padamu!”
Kami pun percaya sepenuhnya kepada beliau dan membeli teh tawar beberapa ceret dari warung dan langsung kami isikan ke tangki mobil. Setelah itu kami melapor untuk pulang ke Surabaya. Beliau bertanya: “Sudah kau isi bensin?” Kami menjawab bahwa mobil sudah diisi sesuai dengan perintah Hadhratus Syaikh. Selanjutnya beliau mengatakan: “Baiklah, mari pulang ke Surabaya. Teh-teh juga bisa menjadi bensin.” Akhirnya betul, mobil berjalan terus sampai ke Surabaya memakai bahan bakar teh.”
Sopir Hadhratus Syaikh yang terakhir yaitu Abdus Syakur juga mengalami peristiwa serupa yaitu dalam perjalanan antara Pasuruan-Probolinggo. Mobil Hadhratus Syaikh kehabisan bensin di tengah malam dan dia disuruh mencari warung untuk mendapatkan teh satu gelas. Setelah didapatkan, teh itu didoakan oleh Hadhratus Syaikh dan mengatakan: “Sudahlah isilah dengan teh, sama saja.” Akhirnya bensin teh tadi habis pas saat mobil sampai di Probolinggo persis di garasi mobil.
Cerita semacam ini terjadi pula pada waktu Hadhratus Syaikh pulang dari Ngroto Semarang, di tengah perjalanan yang jauh dari keramaian. Pir mobil putus, tinggal satu pir saja. Dan oli mobil juga habis kering sama sekali. Ini terjadi di sekitar Caruban menuju Surabaya. Dan Hadhratus Syaikh menyuruh supirnya mencari teh untuk menggantikan oli yang sudah habis. Setelah diisi dengan teh mobilpun dapat distater dengan hanya satu pir saja, dapat berjalan terus sampai di Surabaya dengan selamat biidznillah.
Hadhratus Syaikh pernah menceritakan pengalaman beliau sewaktu ke Singapura. Melihat banyaknya orang-orang yang menjemput beliau di Airport, ketua security yang seorang wanita berusaha ingin menyelamatkan beliau dari intervio para inteljen yang lain. Maka dia pura-pura mengaku sebagai orang tuanya yang ada di Pontianak. Dan langsung digandeng dari Airport menuju mobil dan diantar sekalian menuju ke tempat tujuan.
Besoknya dia kembali lagi membawa 2 handuk mandi Hadhratus Syaikh, tetapi setelah satu hari dipakai mandi dia minta kembali. Demikian pula handuk yang satu lagi dan menyatakan bahwa handuk itu untuk dia pakai mandi sehari-hari. Sedang yang satu lagi untuk dia pakai kain kafan sewaktu ia meninggal nanti. Dan seketika itu dia minta dibaiat oleh Hadhratus Syaikh sebagai murid Thariqat Qodriyah wa Naqsyabandiyah. Sejak itu Hadhratus Syaikh selalu dikawal oleh ketua security perempuan itu pulang pergi ke Singapura. Beliau mengatakan: “Inilah berkat saya tidak pernah menyakitkan hati ibu saya selama hidup beliau.”
Silsilah Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah
Berikut ini adalah silsilah Thariqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Romo KH. Utsman al-Ishaqi:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Muhammad Utsman bin Nadiy al-Ishaqi bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abi Ishamuddin Muhammad Romliy at-Tamimiy bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Kholil Rejoso bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Hasbullaah Madura bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Ahmad Khothib as-Sambasi bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Syamsuddin bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Murod bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abdul Fattah bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Kamaluddin bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Utsman bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abdurrahim bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abu Bakar bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Yahya bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Chisamuddin bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Waliyuddin bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Nuruddin bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Zainuddin bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Syarofuddin bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Syamsuddin bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Muhammad al-Hataki bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abdul Aziz bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abdul Qodir al-Jailani bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abu Sa’id al-Mubarrok bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abu Hasan Ali al-Hakari bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abul Faraj ath-Thurthusiy bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abdul Wahid at-Tamimi bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abu Bakar as-Sibliy bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abul Qosim Junaid al-Baghdadi bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Sari as-Siqthi bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Ma’ruf al-Karkhi bertalqin dan berbai’at dari :
Al-‘Arif Billaah Imam Abul Hasan Ali Ridha bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Imam Musa al-Kadzim bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Imam Ja’far ash-Shodiq bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Imam Muhammad al-Baqir bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Imam Ali Zainal Abidin bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Sayyidina Husain Ra. bertalqin dan berbai’at dari:
Al-‘Arif Billaah Sayyidina Ali Kw. bertalqin dan berbai’at dari:
Sayyidil Mursalin wa Habibi Robbil ‘Alamin, Rasul Alloh kepada sekalian makhluk, Sayyidina Muhammad Saw.bertalqin dan berbai’at dari:
Sayyidina Jibril As. bertalqin dan berbai’at dari:
Alloh Swt.
Wallohu A’lam
kategori:
Ulama Nusantara
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !