Bulan November 1945, di berbagai daerah bergejolak perang melawan tentara Sekutu, yang mencoba untuk kembali menjajah Indonesia. Perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan terjadi di Surabaya, Jakarta, Semarang dan daerah lainnya. Pekik “Merdeka” dan kumandang “Allahu Akbar” menggema, membangkitkan semangat para pejuang.
Hingga suatu malam, 20 November 1945, tentara Sekutu mulai menduduki Magelang. Kota Magelang dalam keadaan mencekam. Sementara itu, para pejuang telah bersiap untuk menghadapi pertempuran.
Hal tersebut dikisahkan secara detil oleh salah satu pelaku sejarah, KH Saifuddin Zuhri, yang merupakan konsul dari Nahdlatul Ulama Kedu sekaligus pemimpin Hizbullah: “Kami anak-anak Hizbullah-Sabilillah, membuat pertahanan di belakang Masjid Jamik Kuman Magelang. Jarak antara masjid dengan markas sekutu yang menggunakan gedung Seminari Katolik tidak lebih dari 300 meter. Malam itu sepi sekali, walaupun belum jam 10, radio pemberontakan, antara kedengaran dan sayup-sayup pidato menggelora dari Bung Tomo memberi instruksi, membakar semangat, dan sesekali diselingi oleh seruan Allahu-Akbar berkali-kali.”
Ratusan kiai, malam itu berunding mengenai penyerbuan ke markas Sekutu. Dari hasil pertemuan rahasia itu, telah direncanakan penyerangan akan dilakukan dengan berbagai cara, ada yang ditugasi untuk mengitari markas musuh dengan suatu gerakan batin, ada pula para kiai yang melakukan gerakan mujahadah dengan diiringi Hizbul Bahar dan Hizbur Rifa’i.
Acara Riyadlah Ruhaniyah itu dilaksanakan pada 21 November 1945 oleh KH. Saifuddin Zuhri di rumah kediaman komandan Hizbullah Magelang, Suroso. Acara ini dihadiri 200-300 Ulama dan kyai. Empat kyai terkemuka yakni KH. Dalhar (Pesantren Watucongol), KH. Siradj (Payaman), KH. Alwi (Wonosobo), dan KH. Mandhur (Temanggung) diplot sebagai motor dari penggalangan gerakan moral itu.
Dalam acara yang diselenggarakan pada menjelang dini hari itu dihadiri komandan Resimen dan batalion TKR Magelang, Letkol. Sarbini dan Mayor Ahmad Yani. Selain untuk menyelenggarakan acara doa, acara ini juga sebagai tempat untuk menyatukan visi dari badan perjuangan Hizbullah dan Sabilillah dengan kesatuan TKR di Megelang. KH. Dalhar dalam acara ini bermunajat atau mengakhiri doanya dengan Hizb an-Nashar yang isinya memohon kepada Allah SWT. Agar diberi kemenangan dalam menghadapi musuh.
Kira-kira pukul 04.00 menjelang subuh, para pejuang telah bersiap bertempur. Namun, sayang markas musuh ternyata telah kosong, mundur ke Ambarawa. Sudah kepalang tanggung, pagi harinya para pejuang mengejar musuh ke Ambarawa.
Dan terjadilah apa yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Palagan Ambarawa. Di mana para pejuang dari Hizbullah-Sabilillah bersama TKR yang dipimpin Jendral Soedirman, berhasil menyerbu pasukan Sekutu dan memukul mundur musuh.
Namun, beberapa minggu setelah pertempuran pertama, pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, pertempuran kembali berkobar di Ambarawa. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit. Pasukan pejuang kita menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh benar-benar terkurung.
Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya diputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang. Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa.
Sumber : Ajie Najmuddin, Mahbib
Disarikan dari buku : KH Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang Dari Pesantren. 1974 dan Zainul Milal: Laskar Ulama-Santri
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !