Home »
Ulama Nusantara
» Kitab Faforit Yang Dibaca Pangeran Diponegoro
Kitab Faforit Yang Dibaca Pangeran Diponegoro
Written By Guruku Kyai Bukan Mbah Google on Selasa, 11 April 2017 | 09.03
Awalnya, saya mengira kitab TOPAH alias Tuhfah yang menjadi salah satu kitab favorit Pangeran Diponegoro adalah kitab Tuhfatul Muhtaj-nya Imam Ibnu Hajar al-Haitami, atau mungkin Tuhfat at-Thullab-nya Imam Zakariya al-Anshari, bisa jadi juga Tuhfat al-Habib-nya Imam al-Bujairimi.
Sebab, sejak muda sang pangeran telah banyak melalap kitab-kitab fiqh melalui para ulama yang sering berdiskusi di balairung kediaman buyutnya, Ratu Ageng, di Tegalrejo.
Melalui tradisi keilmuan yang dicanangkan oleh buyut putrinya tersebut, Diponegoro juga mempelajari Muharrar-nya Imam ar-Rafi'i dan Lubab al-Fiqh-nya Al-Mahamili. Namun favoritnya tetap Taqrib-nya Abu Syuja al-Isfahani dan Fath al-Wahhab-nya Imam Zakariya al-Anshari.
Taqrib menjadi pegangan Diponegoro saat berperang dan hingga kini disimpan di rumah penangkapan Diponegoro di Magelang (selain al-Qur'an dan serban), sedangkan Fath al-Wahhab menjadi kitab yang rutin dikaji oleh Kiai Mojo di hadapan para ulama saat bergerilya.
Namun, melihat sekilas penjelasan Peter Carey dalam buku "Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)", kemungkinan besar Tohfah tersebut adalah Tuhfat al-Mursalah ila Ruh an-Nabi karya Syaikh Muhammad bin Fadhlullah a-Burhanpuri. Kitab ini menjelaskan falsafah sufisme tentang ajaran "martabat tujuh" yang klop dengan pemikiran manusia Jawa manakala merenungkan Allah, dunia dan kedudukan manusia.
Sebagai penganut Tarekat Syattariah, Diponegoro mempelajari kitab ini dari guru tarekatnya, kemungkinan melalui jalur Syarif Hasan Munadi alias Tuan Sarif Samparwedi, seorang Arab yang menjadi komandan resimen kawal pribadi Barjumungah.
Dalam "Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf", KH. A. Aziz Masyhuri memang menyebut Karang Saparwadi (apakah sama dengan Samparwedi? Wallahu A'lam), sebagai salah satu titik pusat penyebaran Tarekat Syattariyah di Jawa Barat yang dari silsilah ini banyak menurunkan murid di Jawa Tengah pula. Jalur sanad ini berasal dari Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, murid Syaikh Abdurrauf Assinkili.
Alternatif lain, Pangeran Diponegoro mendapatkan silsilah tarekat ini melalui jalur Kiai Taptojani, deklarator Perang Jawa yang juga berlatarbelakang Tarekat Syattariyah. Peter Carey menyebutnya berasal dari Sumatera. Jika benar demikian, ada kemungkinan Kiai Taptojani mewarisi matarantai Syattariyah melalui jalur Syekh Burhanuddin Ulakan, Sumatera Barat. Baik Syekh Burhanuddin Ulakan maupun Syekh Abdul Muhyi Pamijahan keduanya adalah murid mufassir Syaikh Abdurrauf Assinkili, Aceh. Nama terakhir ini yang menyebarkan ajaran Syattariyah di Nusantara setelah berguru kepada Imam Al-Qusyasyi dan al-Kurani, dua tokoh kunci Syattariyah di Haramain.
Dari jalur inilah bisa dilacak bagaimana sebuah kitab karya ulama India, Syaikh Fadlullah Burhanpuri, bisa dipelajari oleh seorang pangeran di Jawa dan menjadi salah satu kitab favoritnya.
Jika banyak orang melihat bahwa tradisi santri Diponegoro dipengaruhi oleh koneksi para ulama pathok nagari maupun para tentara haji di korps Suranatan, saya justru melihat titik terang berada di tangan buyut puterinya, Ratu Ageng, yang mengasuh Raden Mas Mustahar, nama kecil sang pangeran sejak usia tujuh tahun.
Ratu Ageng, istri Hamengkubuwono I, adalah perempuan tangguh yang mendampingi suaminya manakala bergerilya dalam Perang Giyanti. Dia juga terkenal memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan karena merupakan cucu Ki Ageng Sulaiman Bekel Jamus, sekaligus memiliki jiwa militer karena dalam darahnya mengalir gen Sultan Abdul Qahir, Bima. Di bawah komando Ratu Ageng, korps Prajurit Estri yang terdiri dari para pendekar perempuan, mengalami kemajuan.
Di tangan Ratu Ageng, yang mahir membaca naskah berbahasa Jawa dan beraksara Pegon, Diponegoro diseret ke dalam keasyikan dunia pengetahuan fiqh sekaligus tasawuf. Buyut puterinya membuatkan sebuah balairung luas di samping tempat tinggalnya khusus bagi para ulama untuk berdiskusi beragam tema, dari fiqh hingga tatanegara. Sehingga ketika Ratu Ageng yang salehah itu mangkat pada 17 Oktober 1803, Raden Mas Mustahar alias Ontowiryo alias Diponegoro, sudah mewarisi karakteristik seorang bangsawan santri yang menjadi petarung di masa depannya.
WAllahu A'lam bisshawab
By : Ust Rijal Mumazziq (tim ahli Turats Ulama Nusantara)
kategori:
Ulama Nusantara
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !